Opini

Gagasan Mengerikan Greater Israel, dari Madinah Hingga Lebanon

Sejarah berdirinya negara Israel tidak lepas dari runtuhnya Kekaisaran Turki Ottoman atau Turki Usmani. Foto : republika

Putri, Mahasiswa Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Ambisi Isarel yang diam-diam akan mewujudkan Israel Raya atau Greater Israel telah memicu kemarahan negara-negara Arab. Greater Israel adalah visi Israel yang mencakup wilayah yang dianggap signifikan secara historis bagi orang-orang Yahudi di luar perbatasannya saat ini.

Mereka menyebutnya sebagai konsep tanah yang dijanjikan Tuhan untuk Avraham dalam kitab Torah. Konsep tersebut yang menjadi dasar gagasan Theodor Herzil, seorang bapak politik gerakan zionisme modern yang pada tahun 1898 membuat sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa Tanah yang dijanjikan Tuhan tersebut adalah sepenuhnya hak milik orang-orang Yahudi. Dia juga mengungkapkan bahwa negara Yahudi yang ideal harus mempunyai wilayah yang membentang dari anak-anak sunga di Mesir sampai sungai Eufrat di Suriah dan Irak, atau dengan kata lain wilayah yang saat ini mencakup Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Madinah di Arab Saudi, seluruh Yordania, dan wilayah Palestina yang saat ini telah diduduki Israel.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Herzil juga menyebutkan pernah melakukan diskusi dengan Pangeran Hohenlqheschillingsfurst, kanselir Jerman yang menjabat pada tahun 1894 -1900. Pada diskusi tersebut Herzil ditanya mengenai seberapa besar kebutuhan wilayah negara Yahudi, yang kemudian dijawab bahwa wilayah yang dibutuhkannya adalah sebanyak imigran yang datang. Ini artinya semakin banyak imigran maka wilayah yang dibutuhkan semakin luas. Itulah yang menjadi dasar mengapa Israel tidak memiliki batas wilayah yang jelas serta terus menerus melakukan aneksasi negara lain.

Berawal dari Kekalahan Turki Usmani

Sejarah berdirinya negara Israel tidak lepas dari runtuhnya Kekaisaran Turki Ottoman atau Turki Usmani atas kekalahannya pada Perang Dunia I yang pecah pada tahun 1914-1918.

Perang Dunia I melibatkan dua kubu aliansi, yakni Triple Alliance yang digawangi oleh Jerman, Austria-Hongaria, Turki Usmani dan Bulgaria, melawan Triple Entente yang dimotori Inggris, Perancis, Rusia, dan Italia. Saat itu Turki Usmani memilih menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Turki Usmani berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.

Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang melihat peluang mendepak Turki Usmani dari kawasan Timur Tengah dengan cara bergabung dan memihak Inggris dan sekutunya. Singkat cerita, pada 1918, terjadi “Serangan Seratus Hari” yang diluncurkan kubu Triple Entente yang menjadi kubu Inggris. Garis pertahanan Jerman di Front Barat mendapatkan serangan hebat. Jerman pun akhirnya menyerah. Pernyataan mengakui kekalahan ini akhirnya diikuti oleh negara-negara lain yang tergabung di Triple Alliance termasuk Turki Usmani.

Jatuhnya Palestina ke Inggris

Seiring kekalahan Turki Usmani, Inggris dan Perancis telah menandatangani perjanjian Sykes-Picot (1917) yang isinya adalah membagi wilayah-wilayah milik Turki Usmani, sehingga mereka mendapatkan provinsi Levantine (kini Irak utara, Israel, Lebanon, Suriah, Palestina, dan Yordania).

Gerilya diplomatik terus dilakukan kelompok Zionis. Presiden organisasi Zionis di Inggris Chaim Weizmann yang kelak akan menjadi presiden pertama Israel membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour. Balfour kemudian menerima gagasan Zionis untuk menciptakan negeri untuk orang Yahudi di Palestina dengan membuat pernyataan yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour" pada 2 November 1917. Deklarasi ini menyebut bahwa Inggris mendukung pendirian tanah air nasional bangsa Yahudi di Palestina. Ini menjadi awal dari aneksasi atau pengambilan paksa tanah Palestina yang dilakukan oleh Israel sampai hari ini.

Migrasi Kaum Yahudi Eropa ke Palestina

Saat terjadinya Holocaust atau peristiwa pembunuhan massal orang-orang Yahudi di Eropa selama Perang Dunia II oleh Nazi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler yang menewaskan 6 juta orang Yahudi di seluruh penjuru Eropa pada tahun 1941-1945, bangsa Yahudi berbondong-bondong mengungsikan diri ke Palestina untuk menyelamatkan diri. Akibatnya para imigran Yahudi yang masuk ke Palestina semakin banyak dan tak terkendali dan mengakibatkan gesekan-gesekan antara imigran Yahudi dengan bangsa Arab yang sudah menetap di Palestina.

Kawasan Palestina itu sebelumnya masih simpang siur dalam batas kuasa Inggris-Prancis dalam perjanjian Sykes-Picot (1916). Maka lewat perjanjian Clemanceau-Lloyd George (1918) Palestina secara resmi dipegang Inggris, sebagai Mandat Britania di Palestina. Pertimbangan Prancis menerima mandat itu juga karena Inggris kerap bertempur dengan Turki Usmani dari selatan melalui Mesir yang merupakan jajahannya. Mandat Inggris dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung sampai tahun 1948. Selama periode itu, Inggris telah memfasilitasi migrasi orang Yahudi. Puncaknya, Israel mendeklarasikan diri sebagai negara pada 1948.

Langkah Israel Mewujudkan Greater Israel

Setelah perang berkepanjangan dengan Hamas sejak serangan 7 Oktober 2023, terkini Israel memfokuskan perang ke Utara tepatnya ke wilayah Libanon. Hal ini memperlihatkan ambisi Israel atas terwujudnya Israel Raya.

Namun menurut TRT world, pihak Israel terus membantah tuduhan tentang gagasan Israel Raya dengan alasan hal itu hanyalah teori konspirasi dengan tujuan propaganda antisemitisme atau kebencian terhadap kaum Yahudi.

Di sisi lain beberapa bukti telah menunjukkan dengan jelas tindakan Israel untuk mewujudkan Greater Israel diantaranya, pertama, artikel yang dimuat The Jerusalem Post pada tanggal 25 September 2024 dengan judul “Is Lebanon part of Israel’s promised territory?” yang makin menunjukkan ambisi Israel untuk juga mencaplok wilayah tersebut.

Kedua, foto yang memperlihatkan seorang prajurit Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dengan lencana peta wilayah Greater Israel pada seragamnya juga telah memicu kemarahan di negara-negara Arab. Seperti yang digambarkan dalam foto lencana peta tersebut mencakup wilayah dari Sungai Nil hingga Sungai Efrat, dari Madinah hingga Lebanon, termasuk wilayah-wilayah dari Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, seluruh Yordania, dan wilayah-wilayah Palestina yang diduduki.

Ketiga, bukti lain adalah adanya sebuah rekaman pada Januari 2024, politisi Israel Avi Lipkin dikutip dari Middle East Monitor menyatakan, “.... Jadi kita memiliki Mediterania di belakang kita, Kurdi di depan kita, Lebanon, yang benar-benar membutuhkan payung perlindungan Israel, dan kemudian kita akan merebut, saya yakin kita akan merebut Makkah, Madinah, dan Gunung Sinai, dan untuk memurnikan tempat-tempat itu."

Semua tindakan serta pernyataan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran yang signifikan dan dapat memperburuk ketegangan di wilayah yang sudah tidak stabil. Ditambah lagi tidak adanya persatuan yang kuat di antara negara-negara Arab yang mengakibatkan dikhawatirkannya negara-negara Arab tersebut semakin tidak berdaya pada kekuatan Israel yang didukung penuh oleh negara-negara Barat. (*)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image