Edmund Husserl : Fenomenologi Abuse Verbal Dalam Game Online
Djudjur Luciana Radjagukguk, S.Sos., M,Si
Kepala Progam Studi Ilmu Komunikasi (Dosen) Universitas Nasional
Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Pasca Universitas Sahid
Maraknya game online yang dibarengi dengan abuse verbal (menggunakan kata-kata kasar, menghina, atau menyerang pemain lain melalui fitur komunikasi dalam game) saat ini, merupakan fenomena yang cukup meresahkan orang tua. Hal ini merupakan fenomena yang sulit dihindari, sebab bentuk permainan ini , sebagai salah satu bentuk hiburan digital, menghadirkan pengalaman interaktif yang memungkinkan pemain berkomunikasi secara langsung melalui fitur seperti chat teks, chat suara, atau fitur lain yang tersedia di dalam platform. Namun, dalam praktiknya, interaksi ini tidak selalu positif. abuse verbal, atau kekerasan verbal, sering kali terjadi dalam konteks game online.
Meskipun permainan ini memberikan dampak positif sebagai sarana dalam tumbuh kembang anak misalnya dapat menjadikan game edukatif atau sebuah strategi dapat membantu anak mengembangkan keterampilan seperti pemecahan masalah, koordinasi tangan-mata, dan kemampuan berpikir kritis. Bahkan orang tua yang terlibat dalam aktivitas bermain game bersama anak dapat menggunakan momen ini untuk membangun hubungan yang lebih erat serta menjadikannya alternatif hiburan.
Kasus abuse verbal mengenai game online akan dilihat dari sisi pendekatan kritis Edmund Husserl, terutama dengan menggunakan metode fenomenologi untuk memahami pengalaman para pelaku dan korban dalam interaksi ini. Husserl tidak secara spesifik membahas fenomena modern seperti game online, tetapi prinsip-prinsip fenomenologi yang dikembangkan dapat diterapkan dalam analisis game online.
Fenomenologi merupakan salah satu metode filsafat yang keberadaannya tidak terlepas dari sosok Edmund Husserl. Edmund Husserl adalah filsuf berkebangsaan Jerman yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk mendesain dan merancang fenomenologi sebagai suatu disiplin ketat dalam ilmu filsafat. Husserl beranggapan bahwa filsafat memerlukan metode khas yang mencirikan usaha sungguh-sungguh layaknya sebuah metode keilmuan.
Husserl menghendaki fenomenologi sebagai metode filsafat yang rigorus, apodiktis (tidak tergoyahkan) dan absolut. Fenomenologi menurut Edmund Husserl merupakan suatu analisis deskripsi serta introspeksi tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman – pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual, serta inderawi. (Siswanto : 1998).
Fenomenologi, yang dikembangkan filsuf seperti Edmund Husserl dan para cendekiawan setelahnya, menawarkan pendekatan yang unik dan berwawasan luas untuk memahami dunia kehidupan, berfokus pada perspektif orang pertama dan struktur kesadaran. Fenomenologi menyediakan kerangka kerja metodologis untuk mengeksplorasi kekayaan dan kompleksitas pengalaman manusia dalam dunia kehidupan.
Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intensional. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.
Inti gagasan fenomenologi seperti yang dirintis oleh Edmund Husserl dan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf setelahnya, seperti Martin Heidegger, Maurice Merleau-Ponty, dan Alfred Schutz. Fenomenologi memberikan kerangka metodologis untuk memahami pengalaman manusia dari sudut pandang individu (perspektif orang pertama) dan hubungan antara kesadaran, makna, serta tindakan.
Husserl mengembangkan fenomenologi sebagai metode untuk memahami struktur kesadaran dan pengalaman manusia. Ia menekankan pentingnya intensionalitas, yaitu hubungan antara kesadaran dan objek yang disadari. Menurut Husserl, individu adalah pemberi makna melalui proses pemaknaan subjektif, yang membentuk pengalaman dunia kehidupan (lifeworld). Proses reduksi fenomenologis, seperti epoché (penangguhan prasangka), digunakan untuk fokus pada pengalaman murni, tanpa pengaruh asumsi eksternal. (Husserl, E ;1913).
Pendekatan Husserl memungkinkan untuk menggali lebih dalam tentang abuse verbal dalam game online dengan melihatnya sebagai fenomena kesadaran. Fokus pada pengalaman langsung, intensionalitas, dan inter-subjektivitas membantu kita memahami bagaimana fenomena ini muncul, dirasakan, dan dimaknai dalam konteks budaya virtual. Hal ini membuka peluang untuk solusi yang lebih manusiawi, seperti meningkatkan kesadaran komunitas game terhadap dampak emosional dari komunikasi mereka. Pendekatan yang sangat berfokus pada pengalaman subjektif individu. Pendekatan ini memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana pemain memaknai fenomena abuse verbal dalam game online, dengan menyoroti hubungan antara kesadaran (consciousness) dan pengalaman langsung (lived experience).
Intensionalitas: Hubungan Kesadaran dan Objek Pengalaman. Intensionalitas dalam abuse verbal, Seorang pemain yang menerima abuse verbal mungkin: Menghubungkan pengalaman tersebut dengan masa lalu: Misalnya, mengingat pengalaman serupa di luar game, yang dapat memperkuat dampak emosionalnya. Melihatnya sebagai bagian dari budaya game; pemain mungkin memaknai abuse verbal sebagai aspek kompetitif yang biasa terjadi.
Epoché: Penangguhan Prasangka. Penerapan dalam abuse verbal, menghindari prasangka bahwa abuse verbal "hanya bagian dari permainan”." Setelah itu, menggali bagaimana pemain benar-benar merasa, tanpa menilai apakah respons mereka "benar" atau "salah." Kemudian mengidentifikasi makna yang muncul secara murni dari pengalaman pemain.
Pengalaman Dunia Kehidupan (Lifeworld). Dunia kehidupan pemain adalah realitas virtual di dalam game, di mana interaksi sosial sering kali berbeda dari kehidupan nyata. Abuse verbal adalah salah satu elemen dalam lifeworld pemain yang memengaruhi persepsi mereka terhadap komunitas game dan identitas mereka sebagai pemain. Maka dampak abuse verbal pada lifeworld, pemain merasa bahwa abuse verbal "mengotori" dunia virtual mereka, mengubahnya dari ruang hiburan menjadi ruang yang penuh tekanan Atau sebaliknya, pemain yang telah terbiasa dengan abuse verbal mungkin memandangnya sebagai elemen yang tidak dapat dihindari dalam lifeworld mereka.
Reduksi Fenomenologis: Memahami Esensi Abuse Verbal. Dalam konteks abuse verbal: Peneliti akan mengeksplorasi bagaimana pengalaman abuse verbal "terasa" bagi pemain, tanpa memandangnya sebagai benar atau salah. Selain itu esensi dari abuse verbal mungkin berupa perasaan terhina, tertekan, atau marah, tergantung pada bagaimana pemain memaknainya. Penerapan dalam game online, seorang pemain mungkin memaknai abuse verbal sebagai "tekanan untuk tampil lebih baik." Reduksi fenomenologis akan membantu memahami perasaan tersebut tanpa melibatkan analisis eksternal seperti psikologi atau sosiologi.
Intensi dan Tindakan: Respons terhadap Abuse Verbal. Fenomenologi Husserl juga menekankan bahwa pengalaman manusia bersifat intensional, artinya pengalaman ini tidak hanya dialami tetapi juga mengarahkan tindakan individu. Dalam konteks abuse verbal: Pemain yang memaknai abuse verbal sebagai ancaman mungkin akan menghindari permainan atau melaporkan pelaku. Kedua, Pemain yang memaknainya sebagai tantangan mungkin akan meningkatkan performa mereka dalam permainan. Dan ketiga, tindakan pemain ini adalah manifestasi langsung dari bagaimana mereka memaknai pengalaman abuse verbal
Hal yang perlu dipahami dalam konteks abuse verbal, bahasa dapat dilihat sebagai medium intentionalitas negatif, di mana pemain menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan frustrasi, amarah, atau dominasi terhadap pemain lain. Konsep penting Husserl yaitu konsep lebenswelt atau dunia kehidupan yang diperkenalkan oleh Husserl bahwa dunia virtual dalam game online adalah ruang sosial dengan norma dan budaya yang seringkali tidak diawasi secara ketat.
Dalam konteks ini, abuse verbal bisa muncul sebagai respons terhadap minimnya kontrol atau regulasi dalam komunikasi antar pemain. Istilah-istilah yang merendahkan menjadi bagian dari "bahasa sehari-hari". Kemudian pesan verbal yang bersifat abuse itu diterima (dalam konteks Husserl isi dari pengalaman ) dan diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap pemain melalui proses mental mereka. Bagi beberapa pemain, pesan ini mungkin dianggap sebagai "sekadar lelucon," tetapi bagi yang lain, kata-kata tersebut bisa memiliki dampak psikologis. Hal ini, membutuhkan studi lanjutan dengan berbagai hal yang untuk wawancara mendalam bahkan observasi partisipatif, dengan fokus pada perspektif orang pertama dari pemain. (*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com.
Baca juga :
Eutanasia : Antara Hak Individu dan Martabat Hidup
Prabowo dan Pemberantasan Korupsi
Tujuh Kampus Swasta yang Masuk 200 Universitas Terbaik di Asia Versi UniRank 2024
Prodi Arsitektur Unand Lakukan Kunjungan Resmi ke UiTM Malaysia
20 PTS Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2024, Pilihan Tahun 2025 | kampusiana.id