
Jual Beli Jabatan Setelah Pilkada: Ketika Kursi Jadi Komoditas, Rakyat yang Jadi Korban
Politik | 2025-04-14 20:21:30
Pilkada sering kali dipromosikan sebagai pesta demokrasi, ajang di mana rakyat menentukan pemimpin yang akan membawa perubahan. Namun, bagi sebagian orang, pesta ini tak lebih dari peluang bisnis. Salah satu praktik busuk yang kerap muncul setelah pilkada adalah jual beli jabatan—sebuah "tradisi" lama yang terus berulang meski jelas-jelas melanggar hukum dan etika. Ironisnya, praktik ini sering dianggap hal biasa dalam dunia birokrasi lokal, seolah menjadi bagian dari mekanisme tak tertulis dalam sistem pemerintahan.
Bagi kita, anak muda, isu ini mungkin terdengar jauh, seolah hanya menyangkut elite politik dan aparatur sipil negara. Tapi kenyataannya, dampaknya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Pelayanan publik yang lambat, pendidikan yang tidak merata, hingga sulitnya lapangan kerja, semua bisa jadi akibat dari rusaknya sistem akibat jabatan yang diperjualbelikan. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami mengapa jual beli jabatan ini sangat berbahaya dan mengapa kita, generasi muda, harus peduli.
Secara sederhana, jual beli jabatan adalah ketika seseorang memberikan imbalan—baik uang, dukungan politik, atau kedekatan personal—demi mendapatkan posisi tertentu di pemerintahan. Fenomena ini marak terjadi setelah kepala daerah terpilih, saat mereka punya kuasa untuk menyusun ulang struktur birokrasi. Maka dimulailah proses transaksional: siapa yang berjasa, siapa yang menyetor, siapa yang dekat, mereka semua berpeluang dapat kursi. Padahal, kursi itu bukan milik individu, tapi amanah dari rakyat.
Masalahnya, praktik ini sudah dianggap "tradisi." Namun, justru di sinilah bahayanya. Ketika kebusukan dianggap normal, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu. Salah satu dampak paling nyata adalah buruknya pelayanan publik. Bayangkan kita datang ke kantor pemerintah, tapi yang melayani tidak profesional, tidak paham tugasnya, dan bekerja tanpa empati. Ini bukan semata karena individu yang malas, tapi karena sistem yang memungkinkan orang tak kompeten naik jabatan demi balas budi.
Dampak lainnya adalah suburnya budaya korupsi. Mereka yang membeli jabatan pasti ingin mengembalikan "modal" mereka. Jalan pintasnya? Korupsi. Anggaran dimark-up, proyek fiktif dibuat, dan pungutan liar dijalankan. Lebih parah lagi, praktik ini melahirkan rantai korupsi berlapis: atasan korupsi, bawahan pun ikut. Maka, korupsi tak lagi jadi kejahatan individu, melainkan gaya hidup birokrasi.
Yang paling menyedihkan, para pegawai muda yang kompeten dan idealis akhirnya tersingkir. Mereka kalah karena tak punya koneksi atau uang. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi harapan untuk perbaikan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun drastis. Masyarakat, terutama anak muda, menjadi apatis. Mereka menganggap semua pejabat sama saja: tidak peduli, tidak jujur, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Dan semua ini tak lepas dari biaya politik yang makin tak masuk akal. Calon kepala daerah harus merogoh kocek dalam-dalam untuk kampanye. Setelah terpilih, mereka "menagih" kembali modalnya melalui jabatan-jabatan strategis. Jabatan dijual, uang kembali, lalu sistem rusak. Siklus ini berputar tanpa henti, dan yang menanggung biayanya adalah kita—rakyat. Proyek mangkrak, pelayanan buruk, dan dana publik hilang tanpa bekas.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Jangan pernah berpikir bahwa ini bukan urusan kita. Justru kita, anak muda, adalah generasi yang akan paling lama hidup di bawah sistem ini. Maka, kita harus mulai peduli. Mulailah dengan melek isu-isu publik. Jangan cuma update soal selebritas atau tren media sosial. Ikuti juga akun-akun yang membahas soal politik, birokrasi, dan antikorupsi. Saat pemilu tiba, pilih pemimpin dengan rekam jejak yang bersih. Jangan cuma karena viral atau punya gimmick lucu.
Berani bersuara juga penting. Kalau melihat ketidakadilan atau korupsi, jangan diam. Gunakan media sosial, komunitas, atau bahkan jalur hukum bila perlu. Dukung juga reformasi birokrasi. Desak pemerintah agar proses pengangkatan jabatan dilakukan secara transparan dan berbasis kompetensi, bukan kedekatan.
Karena pada akhirnya, jual beli jabatan bukan sekadar isu elite. Ini soal masa depan kita semua. Kalau kita diam, kita turut membiarkan kebusukan jadi budaya. Tapi kalau kita peduli dan bergerak, kita bisa menjadi generasi yang memutus rantai kecurangan ini. Demokrasi bukan cuma soal nyoblos di bilik suara, tapi tentang memastikan kekuasaan dijalankan untuk rakyat. Jabatan bukan komoditas, tapi amanah. Dan amanah itu hanya bisa dijaga oleh sistem yang bersih—dengan rakyat yang peduli, terutama anak mudanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.