Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fira Masita

In This Situation, Masihkah Bajaj Punya Tempat di Tengah Kota?

Sejarah | 2025-04-16 15:27:17
Gambar Bajaj, Sumber: Wikibuku

Oleh: Fira Masita, Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

“Naik Bajaj lewatnya, lewat jalan kampung muter sana muter sini, bikin orang bingung”

Sepenggal lirik sederhana dari lagu anak-anak yang dipopulerkan oleh Agus Gobang tahun 1989 ini seolah membawa kita ke masa di mana Bajaj menjadi bagian dari keseharian, bukan sekedar alat transportasi tetapi ciri khas kota.

Kendaraan unik dengan roda ganjil ini diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Namun, tahukah anda, Bajaj sebenarnya bukanlah nama asli dari kendaraan ini? Bajaj merupakan nama produsen otomotif dari India yang membawa kendaraan ini sampai ke Indonesia yaitu PT Bajaj Auto. Benar, Bajaj bukan nama transportasinya tetapi merk dari perusahaannya.

Kendaraan yang mirip dengan Bajaj tersebar di beberapa negara seperti Tuktuk di Thailand. Kedua kendaraan ini sama-sama memiliki roda tiga dan di fungsikan sebagai transportasi umum. Perbedaannya terletak pada jenis mesin yang dipakai. Mesin Tuktuk lebih menyerupai sepeda motor, sedangkan Bajaj lebih kearah vespa yang cukup berisik.

Walaupun Bajaj bukan berasal dari Indonesia, tetapi Bajaj sudah menjadi ikon transportasi di Indonesia, terutama di ibu kota Jakarta. Selain di Jakarta, bajaj juga dapat ditemui Banjarmasin, Pekanbaru dan beberapa ibu kota kabupaten di Indonesia. Bentuknya yang mungil memungkinkan Bajaj untuk bermanuver di gang-gang sempit yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan roda empat.

Pada masa itu, Bajaj dianggap sebagai solusi praktis untuk kebutuhan transportasi yang cepat, murah, dan fleksibel, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah hingga menengah. Keberadaan Bajaj sebenarnya menggantikan kendaraan sebelumnya yaitu angkutan oplet yang berkembang di Jakarta.

Namun kini, Bajaj kerap dianggap ‘pengganggu lalu lintas’. Suara bisingnya, asap knalpotnya, dan gaya mengemudinya yang lincah kadang dianggap terlalu ekstrem, membuat Bajaj tidak lagi sejalan dengan wajah kota Jakarta yang ingin tertib dan ramah lingkungan.

Kota Jakarta telah membatasi perizinan operasional Bajaj oranye bermesin dua tak dengan Bajaj biru yang bertenaga gas, dan sebagian lainnya mulai beralih ke Bajaj listrik. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Jakarta untuk penataan ruang kota. Bajaj yang berwarna oranye cukup menjadi polusi mata ketika melihat tata ruang kota Jakarta.

Terlebih lagi, Bajaj menjadi sasaran empuk dalam ketidaknyamanan, polusi, dan kekacauan lalu lintas. Citra ini memang tidak bisa sepenuhnya dibantah. Keberadaan Bajaj mulai dianggap sebagai salah satu penyebab masalah transportasi kota. Karena ukurannya yang kecil dan jumlahnya yang sangat banyak.

Pemerintah DKI Jakarta sendiri sudah mengambil langkah untuk mengurangi jumlah Bajaj berbahan bakar bensin yang tidak ramah lingkungan. Sejak tahun 2005, Bajaj lama berwarna oranya perlahan-lahan digantikan oleh Bajaj berbahan bakar gas (BBG) yang lebih ramah lingkungan

Seperti trend pada aplikasi X yang menyebutkan “In this situation”, saya jadi berpikir di situasi sekarang masih relevankah Bajaj?” Apakah kendaraan legendaris ini hanya tinggal kenangan, atau masih punya peran di tengah kota dan di tengah perubahan zaman? Haruskah kita membiarkan Bajaj tetap eksis hanya karena ia bagian dari sejarah transportasi yang cukup panjang? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai bermunculan ketika saya melihat eksistensi Bajaj sudah sangat meredup saat ini.

Lalu, bagaimana dengan solusinya?

Mungkin kita bisa mengambil jalan tengahnya, daripada menghapus Bajaj, kenapa tidak melakukan pendekatan modernisasi menyeluruh? Di era gempuran teknologi yang pesat saat ini, apakah pemerintah kesulitan untuk melakukan modernisasi secara menyeluruh?

Bajaj listrik adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Tapi inovasi ini masih minim, baik dari segi produksi maupun insentif bagi para pengemudi. Justru saat ini saya tidak jarang menjumpai Bajaj yang sudah di modifikasi digunakan untuk berjualan. Bahkan di platform Facebook, Bajaj yang sudah di modifikasi menjadi peluang bisnis dan diperjual belikan di platform tersebut.

Bukankah pemerintah bisa menggandeng swasta untuk meng-upgrade kendaraan ini tanpa membebani mereka yang memiliki Bajaj secara finansial? Di sisi lain, dengan upaya seperti ini bukankah akan mengurangi jumlah pengangguran di ibu kota?

Sebenarnya apabila pemerintah dapat mengusahakan perbaikan, Bajaj akan tetap eksis walaupun peminatnya sudah tidak sebanyak dahulu karena tergantikan dengan transportasi lain yang lebih modern. Sebagai transportasi yang menjadi ikon, bukankah lebih baik apabila Bajaj bisa diposisikan sebagai transportasi khusus untuk rute-rute wisata atau kawasan tertentu? Selain menjadi ciri khas, Bajaj akan tetap dikenal terutama pada kalangan gen z yang mungkin sudah jarang melihat keberadaan kendaraan ini. Dengan begitu, Bajaj bisa tetap hidup dalam fungsi yang lebih terarah dan mendukung wajah baru kota sesuai dengan tata ruang kota.

Bajaj RE, Sumber: Maxride.net

Seperti yang terjadi di Makassar, Gowa, dan Maros, awalnya Bajaj tipe RE dimanfaatkan sebagai layanan transportasi online yang dikenal dengan Maxride. Sejak Desember 2024, Maxride sudah berhasil merambah ke cabang kedua yaitu di Medan. Ini semua berawal ketika PT Max Auto Indonesia yang menjadi anak perusahaan distributor Bajaj Auto mendirikan kantor pusatnya yang berada di Makassar.

PT Max Auto Indonesia juga menargetkan akan mengekspanti lebih luas di Indonesia seperti Kendari, Sulawesi Tenggara, Pekanbaru, Riau, Palu, Sulawesi Tengah, Palembang, Sumatera Selatan, Balikpapan, Samarinda, dan Jayapura

Apakah memungkinkan jika Maxride ini diadopsi dan dikembangkan di Jakarta? Menurut saya, Bajaj masih memiliki ruang di tengah kota. Pernyataan bahwa Bajaj membuat polusi udara dan polusi mata tidak lagi relevan karena setelah pembaruan ke Bajaj biru, Bajaj bukan lagi menjadi satu-satunya penyebab polusi udara. Tetapi semua kendaraan pasti mengeluarkan asap yang menyebabkan polusi udara. Terlebih lagi, body Bajaj yang mungil memungkinkan untuk masuk ke gang-gang sempit, dan juga Bajaj merupakan satu diantara sedikit kendaraan yang dapat menurunkan penumpangnya di tempat tujuan seperti depan kantor, depan rumah, depan rumah makan.

Bukankah sangat disayangkan apabila Bajaj tidak lagi memiliki ruang di tengah kota? Upaya dari pemerintah dan pemilik Bajaj yang memiliki satu kesatuan akan menghasilkan kerjamasama yang berkelanjutan untuk nasib Bajaj kedepannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image