Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salsabiil Firdaus

Gaya Kepemimpinan di Era Digital, Cinta atau Citra?

Politik | 2025-05-08 22:51:32
Gambar: Foto Salsabiil Firdaus (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)

Era digital telah mengubah lanskap kepemimpinan secara fundamental. Informasi yang bergerak cepat, partisipasi publik yang semakin luas melalui media sosial, dan tuntutan akan transparansi menciptakan tantangan sekaligus peluang baru bagi para pemimpin. Di tengah dinamika ini, muncul berbagai gaya kepemimpinan yang beradaptasi dengan zaman. Salah satu gaya yang kerap menjadi sorotan adalah yang terkesan "one man show", di mana seorang pemimpin terlihat dominan dan kurang menonjolkan aspek kolaborasi, sehingga kurangnya kolaborasi dalam membangun konsensus dan mencapai tujuan bersama, terutama di era digital yang menuntut partisipasi aktif dari berbagai pihak.

Kritik Terhadap Gaya Kepemimpinan "One Man Show"

Gaya kepemimpinan yang terkesan "one man show" telah menjadi sorotan dan mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Salah satu kritik datang dari seorang pakar dari Universitas Parahyangan (Unpar). Selain itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (DPW PKS) Jawa Barat, Haru Suandharu, juga menyampaikan kritik serupa. Kritik tersebut umumnya menyoroti kurangnya kolaborasi dalam gaya kepemimpinan ini. Kesan dominasi tunggal dalam pengambilan keputusan dinilai berbahaya. Gaya "one man show" juga dianggap mengabaikan kinerja tim atau anak buah. Politik pencitraan yang berlebihan pada pemimpin tunggal justru dapat membuat potensi tim tidak terlihat. Keputusan yang diambil secara sepihak tanpa diskusi juga menjadi poin kritik. Haru Suandharu menegaskan bahwa gaya "one man show" merupakan sebuah bahaya.

Pakar Unpar yang mengkritik gaya kepemimpinan ini melihat adanya potensi negatif. Dalam era digital yang serba terkoneksi, kolaborasi menjadi kunci penting untuk mencapai kesuksesan. Dengan kurangnya kolaborasi, potensi ide-ide segar dari berbagai pihak bisa terabaikan. Haru Suandharu dari PKS Jabar menekankan bahwa kepemimpinan yang baik seharusnya mendorong partisipasi dan kerja sama. Ketika seorang pemimpin terlalu menonjolkan diri sendiri, akan muncul kesan bahwa hanya dia yang bekerja, padahal ada tim besar di belakangnya. Ini bisa menurunkan motivasi anggota tim dan membuat mereka merasa tidak dihargai. Kritikan terhadap gaya "one man show" juga berkaitan dengan proses pengambilan keputusan. Keputusan yang dibuat secara tunggal cenderung kurang matang karena tidak melibatkan sudut pandang yang beragam. Diskusi dan musyawarah dibutuhkan untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan dampak dari sebuah kebijakan. Oleh karena itu, pandangan bahwa gaya kepemimpinan ini berbahaya muncul karena berpotensi merugikan organisasi atau daerah yang dipimpin dalam jangka panjang.

Dampak Negatif Kurangnya Kolaborasi

Kurangnya kolaborasi dalam gaya kepemimpinan "one man show" berdampak negatif pada berbagai aspek. Salah satu dampak signifikan adalah terhadap kinerja tim. Ketika pemimpin terlalu dominan dan tidak melibatkan tim dalam proses, kinerja anak buah seolah terabaikan. Motivasi mereka bisa menurun karena merasa tidak memiliki kontribusi yang berarti. Padahal, dalam organisasi modern, kinerja tim yang solid adalah kunci keberhasilan. Setiap anggota tim memiliki potensi dan ide yang berharga, yang seharusnya didorong untuk muncul melalui kolaborasi. Ketika pemimpin terlalu menonjolkan diri, fokus publik cenderung hanya pada pemimpin, sementara kerja keras tim di balik layar kurang terlihat. Ini bisa menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam apresiasi.

Selain itu, kurangnya kolaborasi juga berdampak pada kualitas kebijakan yang dihasilkan. Keputusan yang diambil secara sepihak tanpa diskusi cenderung kurang komprehensif dan rentan terhadap bias. Keterlibatan berbagai pihak, baik dari internal organisasi maupun pemangku kepentingan eksternal, sangat penting untuk mendapatkan pandangan yang beragam dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Diskusi memungkinkan identifikasi potensi masalah dan solusi yang lebih baik. Ketika pemimpin bertindak sendiri, risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan menjadi lebih tinggi. Gaya "one man show" juga bisa menciptakan lingkungan kerja yang kurang partisipatif. Anggota tim mungkin merasa enggan untuk menyampaikan ide atau kritik karena merasa suara mereka tidak akan didengar. Ini menghambat inovasi dan pertumbuhan organisasi. Dalam jangka panjang, kurangnya kolaborasi dapat merusak kepercayaan dalam tim dan menghambat pembangunan hubungan yang sehat antar anggota. Kolaborasi sejatinya memperkuat tim, meningkatkan efisiensi, dan menghasilkan solusi yang lebih kreatif.

Politik Pencitraan dan Pengabaian Kinerja Tim

Aspek lain yang dikritik dari gaya kepemimpinan "one man show" adalah politik pencitraan yang berlebihan. Fokus yang terlalu besar pada citra pribadi pemimpin berpotensi mengabaikan kinerja dan peran penting tim atau anak buah. Di era digital, di mana akses terhadap informasi dan platform publikasi begitu mudah, seorang pemimpin memiliki peluang besar untuk membangun citra diri di mata publik. Namun, penekanan yang berlebihan pada citra tanpa dibarengi dengan pengakuan terhadap kontribusi tim dapat merugikan. Tim adalah tulang punggung organisasi, dan kinerja mereka adalah faktor krusial dalam mencapai tujuan. Ketika semua sorotan hanya tertuju pada pemimpin, kerja keras dan dedikasi anggota tim menjadi kurang terlihat.

Hal ini menciptakan ketidakseimbangan yang tidak sehat. Anggota tim mungkin merasa tidak dihargai atau tidak diakui atas kontribusi mereka. Suasana seperti ini dapat menurunkan moral dan motivasi kerja. Padahal, pembangunan tim yang kuat membutuhkan apresiasi dan pengakuan terhadap setiap individu yang berkontribusi. Politik pencitraan yang mengesankan bahwa semua keberhasilan berasal dari pemimpin tunggal juga dapat memberikan gambaran yang tidak realistis kepada publik. Keberhasilan sebuah organisasi atau pemerintahan adalah hasil kerja kolektif, bukan hanya upaya satu orang. Penting bagi seorang pemimpin untuk mengakui dan menyoroti peran serta kontribusi timnya. Dengan demikian, publik akan memiliki gambaran yang lebih akurat tentang bagaimana sebuah organisasi bekerja dan siapa saja yang terlibat dalam mewujudkan tujuan bersama. Menciptakan keseimbangan antara menonjolkan diri sebagai pemimpin dan memberikan apresiasi yang layak kepada tim adalah tantangan yang harus dihadapi oleh para pemimpin di era digital.

Bahaya Gaya Kepemimpinan "One Man Show" Menurut Pakar

Gaya kepemimpinan "one man show" dinilai berbahaya oleh beberapa pihak. Pakar Unpar dan Ketua Umum DPW PKS Jawa Barat, Haru Suandharu, sama-sama menegaskan potensi bahaya dari gaya kepemimpinan semacam ini. Bahaya tersebut terletak pada beberapa aspek kunci. Pertama, pengambilan keputusan yang terpusat pada satu orang cenderung kurang melibatkan masukan dari berbagai pihak, sehingga berpotensi menghasilkan keputusan yang kurang optimal atau bahkan merugikan. Dalam konteks pembangunan atau pemerintahan, keputusan yang salah dapat berdampak luas dan merugikan masyarakat. Keterlibatan tim dan pemangku kepentingan lain sangat penting untuk memastikan bahwa semua aspek telah dipertimbangkan sebelum keputusan final diambil.

Kedua, gaya "one man show" dapat menciptakan ketergantungan yang berlebihan pada satu individu. Jika pemimpin tersebut absen atau tidak mampu menjalankan perannya, maka seluruh sistem atau organisasi dapat terhenti atau berjalan tidak efektif. Kepemimpinan yang baik seharusnya membangun sistem dan tim yang kuat yang tidak bergantung hanya pada satu orang. Regenerasi kepemimpinan dan pengembangan potensi anggota tim menjadi sulit dilakukan dalam suasana "one man show".

Ketiga, seperti yang telah dibahas sebelumnya, gaya ini dapat mengabaikan kinerja tim dan menciptakan ketidakpuasan di kalangan anggota. Suasana kerja yang tidak kondusif dapat mengurangi produktivitas dan menghambat pencapaian tujuan. Keempat, di era digital yang menuntut transparansi dan partisipasi publik, gaya "one man show" bisa menimbulkan kesan kurang terbuka dan akuntabel. Publik mungkin merasa bahwa keputusan dibuat secara tertutup dan tidak melibatkan mereka. Demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik sejatinya membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat. Oleh karena itu, pandangan bahwa gaya kepemimpinan "one man show" berbahaya muncul dari kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap efektivitas, keberlanjutan, dan legitimasi kepemimpinan itu sendiri.

Pentingnya Kolaborasi di Era Digital

Era digital secara inheren menuntut kolaborasi yang lebih besar dalam kepemimpinan. Akses informasi yang lebih mudah dan cepat, serta kemampuan untuk terhubung dengan banyak orang melalui platform online, membuka peluang baru untuk berkolaborasi. Kolaborasi menjadi kunci dalam menangani isu-isu kompleks yang seringkali membutuhkan berbagai keahlian dan sudut pandang. Tidak ada satu individu pun yang memiliki semua pengetahuan atau kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua masalah. Oleh karena itu, kemampuan seorang pemimpin untuk berkolaborasi dan memanfaatkan potensi tim menjadi sangat penting.

Di era digital, kolaborasi juga memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas. Masyarakat dapat dengan mudah menyampaikan pendapat, kritik, dan saran melalui berbagai platform online. Pemimpin yang terbuka terhadap masukan ini dan bersedia berkolaborasi dengan masyarakat akan membangun kepercayaan dan mendapatkan dukungan yang lebih besar. Gaya kepemimpinan yang kolaboratif juga mendorong inovasi. Dengan melibatkan berbagai pihak, ide-ide segar dan solusi kreatif dapat muncul. Berbagai perspektif dapat digabungkan untuk menghasilkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam menghadapi tantangan. Sebaliknya, gaya "one man show" yang minim kolaborasi akan kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat di era digital. Informasi baru terus bermunculan, dan solusi yang efektif seringkali memerlukan pemahaman dari berbagai sektor dan disiplin ilmu. Oleh karena itu, pemimpin yang ingin berhasil di era digital perlu meninggalkan gaya kepemimpinan yang terpusat pada diri sendiri dan beralih ke pendekatan yang lebih kolaboratif dan inklusif. Mendorong kolaborasi bukan berarti pemimpin kehilangan kontrol, melainkan kemampuan untuk memimpin dengan memanfaatkan kekuatan kolektif.

Kepemimpinan Ideal di Era Digital: Keseimbangan "Cinta" dan "Citra" dengan Kolaborasi

Kepemimpinan yang ideal di era digital membutuhkan keseimbangan antara "cinta" dalam arti dedikasi, kepedulian, dan hubungan yang kuat dengan tim dan masyarakat dan "citra" dalam arti representasi diri yang membangun kepercayaan, namun yang paling krusial adalah elemen kolaborasi. Kritik terhadap gaya "one man show" sejatinya menyoroti aspek kolaborasi yang kurang. Di era digital yang serba terhubung, seorang pemimpin tidak dapat bekerja sendirian. Ia perlu melibatkan tim, pemangku kepentingan, dan bahkan masyarakat luas dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan program. Hal ini bukan hanya soal efektivitas, tetapi juga soal membangun legitimasi dan kepercayaan.

Membangun "cinta" dalam kepemimpinan berarti menciptakan lingkungan kerja yang positif, menghargai kontribusi tim, dan menunjukkan empati terhadap kebutuhan mereka. Membangun "citra" yang positif penting untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik. Namun, kedua hal ini tidak boleh mengorbankan kolaborasi. Seorang pemimpin yang ideal di era digital adalah ia yang mampu memotivasi dan menginspirasi tim, membangun citra diri yang positif melalui transparansi dan akuntabilitas, sekaligus secara aktif mendorong partisipasi dan kerja sama dari berbagai pihak. Mereka memahami bahwa kekuatan sesungguhnya terletak pada kemampuan untuk menyatukan berbagai sumber daya dan keahlian untuk mencapai tujuan bersama. Dengan mengedepankan kolaborasi, pemimpin tidak hanya meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja, tetapi juga menciptakan budaya organisasi atau pemerintahan yang lebih inklusif dan partisipatif. Ini adalah kunci untuk menghadapi kompleksitas dan tantangan yang semakin besar di era digital, serta membangun masa depan yang lebih baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image