
Ketika Fantasi Menjadi Bencana: Mengapa Nafsu Seksual Kini Begitu Menggila?
Curhat | 2025-05-22 07:38:53Tragedi di Balik Dunia Maya

Beberapa hari ini, publik digemparkan dengan terbongkarnya grup Facebook bernama "Fantasi Berdarah" yang berisi konten menyimpang, termasuk kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Bahkan lebih memilukan, pelaku dalam beberapa kasus justru adalah ayah kandung—sosok yang seharusnya menjadi pelindung, bukan pemangsa. Dunia maya kini membuka tabir realita: fantasi seksual sebagian manusia telah keluar dari batas-batas fitrah, berubah menjadi bencana yang merusak jiwa dan menghancurkan keluarga.
Pertanyaannya: mengapa bisa terjadi? Mengapa nafsu seksual manusia zaman sekarang menjadi begitu liar, brutal, bahkan menjijikkan? Bukankah dahulu, sebelum era internet dan media sosial, tidak seburuk ini?
Fakta dan Data yang Menyesakkan
Menurut laporan dari Komnas Perempuan tahun 2023, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun. Yang mengerikan, 44% di antaranya dilakukan oleh orang terdekat korban—ayah, paman, saudara, bahkan guru. Di lingkungan pesantren, sekolah, transportasi umum, hingga rumah tangga, anak-anak tidak lagi merasa aman. Kini, rumah sebagai tempat berlindung pun penuh dengan rasa was-was.
Menurut laporan Komnas Perempuan tahun 2019, terdapat 770 kasus inses dari total 2.341 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Ini menunjukkan bahwa inses merupakan bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami oleh anak perempuan di Indonesia.
Sebuah studi yang menganalisis 137 kasus inses di Indonesia antara tahun 2010–2017 menemukan bahwa 75% korban adalah anak perempuan berusia 10–17 tahun, 77% pelaku adalah ayah kandung atau ayah tiri, dengan rata-rata usia di atas 50 tahun, Sebagian besar kasus berlangsung lebih dari tiga tahun, dan sebagian besar korban berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pendidikan yang terbatas.
Sungguh ini merupakan kenyataan pahit yang sangat menyesakkan dada. Keluarga Indonesia bukan hanya berjuang menghadapi badai ekonomi dan PHK tetapi juga predator di dalam keluarga!
Di saat yang sama, hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa lebih dari 80% remaja Indonesia pernah terpapar konten pornografi secara daring, banyak di antaranya sebelum usia 13 tahun. Ini adalah generasi yang tumbuh dalam lautan gambar, video, dan cerita yang mengumbar syahwat.
Analisa Penyebab: Saat Nafsu Tak Lagi Punya Benteng
Kian maju peradaban manusia, kian canggih teknologi, ternyata ada moral yang harus dikorbankan. Seiring dengan menguatnya nilai – nilai kebebasan. Atas nama hak dan privasi orang bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Mengumbar aurat menjadi normal. Berjoget di depan kamera untuk disajikan pada khalayak dunia maya menjadi keahlian umum dan “tradisi modern”. Agama menjadi nisbi. Bahkan mempertontonkan aurat atas nama self love disebut sebagai bentuk menjaga kesehatan mental. Jika disimpulkan, ada beberapa sebab yang menjadikan fantasi manusia semakin liar tak terkendali.
Pertama, mudahnya akses pornografi. Zaman dahulu, orang butuh usaha besar untuk mengakses konten tak senonoh. Kini, hanya dengan ponsel di tangan, bahkan anak SD pun bisa melihat konten dewasa. Konten-konten ini tak hanya menyuguhkan hubungan seksual, tetapi juga menormalisasi kekerasan, pemaksaan, hingga penyimpangan seperti incest dan sadisme.
Kedua, normalisasi penyimpangan seksual di media. Banyak film, sinetron, dan media sosial menampilkan hubungan di luar nikah, pacaran bebas, dan penyimpangan seksual sebagai sesuatu yang biasa. Hal ini merusak cara pandang masyarakat terhadap seksualitas.
Ketiga, pengaruh gaya hidup Barat yang sekuler dan bebas. Budaya Barat modern sangat menekankan kebebasan individu tanpa batas, termasuk dalam urusan seksualitas. Gaya hidup hedonis dan sekuler yang menjauh dari nilai-nilai agama mendorong masyarakat untuk mengejar kenikmatan tanpa memperhatikan batasan moral dan etika. Ketika budaya ini diimpor dan dikonsumsi tanpa filter di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, maka nilai-nilai fitrah dirusak dan nafsu diberi panggung tanpa kendali.
Allah Ta’ala berfirman: "Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main (tanpa tujuan), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. Al-Mu’minun: 115)
Islam menolak cara pandang hidup yang mengesampingkan keterikatan terhadap agama. Tanpa panduan wahyu, manusia akan tersesat oleh hawa nafsunya sendiri.
Keempat, nilai – nilai sekulerisme yang mengakar menyebabkan hilangnya rasa malu akibat dari lemahnya iman. Ketika seseorang tidak lagi merasa malu kepada manusia maupun takut kepada Allah, maka nafsu menjadi raja dalam dirinya. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang terdahulu yang masih tersisa adalah: Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR. Bukhari)
Keenam, hancurnya fungsi keluarga, pada akhirnya keluarga gagal menjadi benteng moral. Banyak anak dibesarkan dalam keluarga yang dingin, tanpa kasih sayang dan bimbingan agama. Orang tua sibuk bekerja, anak dibiarkan diasuh gawai. Ayah tidak menjadi teladan, ibu kehilangan kedekatan. Anak – anak diasuh oleh youtube dan tik tok.
Islam Berantas Fantasi Liar
Adalah fitrah manusia memiliki syahwat. Allah menciptakannya sebagai penampakan dari naluri melestarikan jenis. Taqiyyudin An – Nabhani seorang ulama besar kelahiran Palestina menulis dalam bukunya yang berjudul Sistem Pergaulan dalam Islam bahwa manusia dibekali oleh Allah gharizatun nau’ (naluri melestarikan jenis). Ini adalah fitrah. Tujuan Allah menciptakan naluri ini adalah manusia berkembang biak, melestarikan keturunan dan tidak punah.
Pandangan Islam tentang naluri ini adalah tujuannya untuk melestarikan jenis manusia. Bukan semata kenikmatan atau kelezatan dari aktivitas pemenuhan syahwat. Inilah perbedaan mendasar dengan cara pandang Barat yang sekuler. Mereka memfokuskan keberadaan naluri ini pada kesenangan dan kenikmatan. Maka kita melihat masyarakat Barat bisa melampiaskan syahwatnya pada benda apapun, tidak harus sesama manusia, dan tidak harus pada lawan jenis.
Ketika pandangan tentang syahwat ini difokuskan pada tujuannya, yakni melestarikan jenis, lahir seperangkat aturan atau syariat agar tujuan ini tercapai. Islam mendorong pada pernikahan. Pernikahan adalah satu – satunya jalan untuk memuaskan syahwat seksual. Karena tujuannya bukan sekedar kenikmatan. Kenikmatan yang dirasakan adalah sesuatu yang pasti, entah diperhatikan oleh manusia atau tidak.
Islam menjadikan pernikahan sebagai satu – satunya jalan untuk memenuhi syahwat manusia dengan menetapkan bahwa qimah atau tujuan amal yang hendak diraih dari pernikahan adalah terjaganya kehormatan diri. Kehormatan diri akan terjaga dengan tidak melampiaskan syahwat secara liar. Dalam Islam, suami yang menjima’ istrinya adalah sedekah sekaligus amanah. Banyak pahala yang Allah berikan pada pasangan suami – istri yang “sekedar” saling menggenggam tangan. Bahkan hanya antar suami – istri saja Islam menetapkan tidak adanya batasan aurat. Syahwat ini menjadi halal dan berpahala di wilayah privat antar suami – istri.
Islam pun sangat menjaga agar syahwat atau fantasi – fantasi liar ini tidak muncul di tempat – tempat umum, di kehidupan masyarakat. Maka dari itu Islam mewajibkan laki – laki dan perempuan menutup aurat, menundukkan pandangan. Ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan) dan khalwat (berdua – duaan dengan yang bukan mahram) adalah haram dalam Islam. Sehingga jelas, pornografi dalam apapun bentuknya akan dilarang. Dalam hal penjagaan masyarakat ini sangat dibutuhkan kehadiran peran negara untuk mengatur interkasi masyarakatnya sesuai dengan Islam.
Dengan menerapkan syari’at Islam ini, masayarakat akan terjaga. Perempuan terjaga, anak – anak, generasi terjaga. Peradaban menjadi “sehat”. Tidak akan muncul fantasi – fantasi liar dan aneka penyimpangan seksual yang menjijikkan dan merusak. Tidakkah kita rindu kembali pada Islam? []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.