Opini

Empat Pulau, Luka yang Masih Menganga

Warga lokal dan Belanda sendang berbincang di depan sebuah gedung di Aceh. Foto : KITLV

Oleh: Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

Di ujung paling barat Indonesia, empat pulau kecil—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—baru saja menjadi pusat sengketa panas. Pulau-pulau tak berpenghuni ini, yang selama ini nyaris tak dikenal, tiba-tiba memicu ketegangan antara Aceh dan Sumatera Utara. Bagi sebagian orang, persoalan ini mungkin tampak seperti urusan birokrasi biasa. Namun bagi masyarakat Aceh, persoalannya jauh lebih dalam. Ini bukan sekadar soal wilayah—ini menyangkut martabat dan sejarah panjang peminggiran yang belum kunjung usai.

Aceh bukanlah provinsi biasa. Sejak lama, ia menjadi simbol perlawanan dan perjuangan. Pada masa kolonial, Belanda tidak memperlakukan Aceh sebagai satu kesatuan setelah mengklaim telah “menaklukkan” Kesultanan Aceh pada awal abad ke-20, seperti yang dilaporkan oleh De Telegraaf pada tahun 1939. Sebaliknya, wilayah ini dipetakan ulang menjadi lebih dari seratus unit otonom kecil—yang disebut “landschappen”—masing-masing langsung di bawah kontrol kolonial, tanpa keterhubungan satu sama lain. Ini bukan kebetulan. Ini adalah strategi pecah belah yang disengaja, untuk melemahkan kohesi politik Aceh dan meredam pusat perlawanan anti-kolonial yang paling keras kepala.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Maka ketika Kementerian Dalam Negeri Indonesia nyaris memindahkan keempat pulau itu dari Aceh ke Sumatera Utara, banyak warga Aceh merasa luka lama itu terbuka kembali. Rasa sakitnya bukan hanya soal hukum—tapi juga emosional dan historis. Di Aceh, bahkan sebidang tanah terkecil pun menyimpan beban ingatan, perlawanan, dan pengorbanan.

Surat kabar era kolonial seperti Bataviaasch Nieuwsblad (1887), Deli Courant (1898), dan De Sumatra Post (1903) dengan jelas menunjukkan bahwa integritas wilayah Aceh telah lama menjadi ruang tarik-ulur kekuasaan. Bahkan pada tahun 1896, De Noord Brabanter mencatat bahwa Belanda sempat mempertimbangkan untuk menyerahkan sebagian wilayah Aceh kepada suku Batak guna menciptakan “sekutu lokal.” Ini adalah siasat kolonial yang cerdik—bukan soal kekuatan militer, melainkan politik pecah belah.

Dengan latar seperti itu, sengketa keempat pulau hari ini bukanlah sekadar miskomunikasi birokratis. Ini adalah gema dari pola lama—kekuasaan yang dipaksakan dari pusat, dan rakyat daerah yang dipaksa menerima keputusan tanpa mempertimbangkan sejarah mereka. Karena itu, keputusan Presiden Prabowo (17 Juni 2025) yang menetapkan bahwa keempat pulau tetap berada dalam yurisdiksi Aceh, bukanlah sekadar keputusan administratif. Itu adalah bentuk pengakuan atas kesalahan masa lalu, dan upaya untuk memperbaikinya.

Namun pengakuan ini harus dilanjutkan dengan pelajaran penting bahwa batas wilayah tidak bisa dilihat semata sebagai garis di peta GPS atau angka dalam basis data geospasial. Wilayah adalah ingatan—dibentuk oleh sejarah, identitas, dan pengalaman hidup. Jika pemerintah pusat sungguh ingin membangun bangsa yang adil dan inklusif, maka ia harus menyadari bahwa pemerintahan bukan hanya soal angka dan bagan—tapi juga soal rasa memiliki dan pengakuan terhadap identitas.

Kita juga diingatkan bahwa sentralisme yang berlebihan—yang bahkan sudah dikritik sejak masa kolonial oleh Deli Courant—hanya akan membuat daerah merasa asing di negeri sendiri. Aceh, dengan sejarah politiknya yang khas, harus dilibatkan sebagai mitra setara dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut identitas dan wilayahnya.

Karena pada akhirnya, membangun Indonesia yang adil bukanlah soal menggambar garis yang rapi, tapi tentang menghormati kisah-kisah yang terkandung dalam garis-garis itu.(*)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image