Opini

Opini : Diam

Ilustrasi Opini Diam. Foto : needpix

Dr Encep Saepudin, SE, MSi

Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Diam adalah emas menjadi peribahasa yang melekat kuat dalam keseharian. Diam identik dengan kewibawaan dan keluasan ilmu. Masa, sih? Hemmm...

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bagaimana mungkin tukar pikiran akan terjadi kalau dalam forum peserta diam? Atau, mungkin mereka saling berkomunikasi dengan sensor telepati atau kartu chip yang tertanam dalam otaknya.

Lawan kata peribahasa itu adalah tong kosong nyaring bunyinya. Tong kosong identik dengan banyak omong tapi kosong isinya. Benarkah?

Kini dunia terbagi dalam dua kehidupan, yaitu nyata dan maya. Dunia nyata adalah dunia keseharian yang bisa diraba dan dirasa, sedangkan dunia maya adalah kehidupan dalam data internet dalam lorong serat kabel optik.

Dalam dunia nyata, silent majority menjadi fenomena yang perlu perhatian khusus. Apa pun yang terjadi di depan mata direspon dengan diam.

Korupsi marak, diam. Geliat Pilpres, diam.

Melihat kejahatan, diam. Melihat kebaikan, juga diam. Tentunya kagak diam sama sekali, masih ada sedikit aksi.

Sedikit lisan. Sedikit juga tulisan. Diam lebih dominan.

Banyak diam pertanda pelemahan modal sosial. Melemahnya berefek pada pelambatan perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi.

Diam bisa juga pertanda individu inferior. Ketimpangan sosial menyebabkan munculnya sifat inferior tersebut. Ini kalau dalam dunia nyata.

Sebaliknya dalam dunia maya, ternyata warga negeri ini paling cerewet dan narsis. We Are Social juga melaporkan per Januari 2023, rerata orang Indonesia menggunakan intenet selama 7 jam 42 menit dalam sehari. Rerata penggunaan media sosial selama 3 jam 18 menit per hari.

So, wajar saja kondisi ini menempatkannya paling cerewet di medsos. Amat sangat, termasuk yang menulis diam ini. Sssttt....

Perilaku ini sebenarnya sudah Allah SWT ingatkan dalam firman-nya pada QS Al-Hujurat : 12, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

Rasulullah Muhammad SAW kagak pernah diam dalam lisan dan gerakan tubuh. Sebab perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau adalah hadits.

Perawi hadits di antaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasai, Imam Abi Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam Turmudzi. Imam Bukhari mencatat 7.275 hadits dengan pengulangan dan 4.000 hadits tanpa pengulangan

Rasulullah Muhammad Saw menjadi nabi dan rasul selama 22 tahun, yang setara 8.030 hari. Artinya, Rasulullah Muhammad Saw membahas satu topik masalah setiap harinya.

Selayaknya bersuara lebih baik daripada diam. Seperti yang dilakukan Socrates yang bersuara lantang, lugas, dan berani menghadapi intimidasi. Dia menyebut sikap ini dengan parrhesia.

Imam Syafi'i selalu membahas isu aktual di masanya. Namun beliau memilih diam saat didebat kaum jahil.

Diam lebih baik daripada berdebat dengan orang jahil bin nyinyir. Sepakat? (*)

Berita Terkait

Image

Opini : Pahlawan

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image