Menguji Kepemimpinan

Hamka Hendra Noer
Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Kepemimpinan adalah komponen esensial dalam demokrasi. Lebih dari sekadar mengatur dan memerintah, pemimpin berfungsi sebagai panutan moral yang mencerminkan nilai keadilan, kejujuran, serta keberpihakan pada kepentingan publik. Di era informasi yang semakin terbuka, masyarakat kian kritis dalam menilai sosok pemimpin, tidak semata dari retorika kampanye, tetapi dari keselarasan antara ucapan dan tindakan.
Integritas telah menjadi standar moral yang diharapkan dari setiap pemimpin. Ia meliputi kejujuran, transparansi, dan keteguhan dalam prinsip, terlebih saat godaan kekuasaan menjerat. Namun dalam praktiknya, banyak pemimpin justru terjerumus pada hipokrisi politik—membangun citra etis di depan publik, sembari membuat kompromi nilai di belakang layar demi mempertahankan kekuasaan.
Tulisan ini menguji soal etis kepemimpinan yang merefleksikan dua kutub yang kontras—berintegritas dan hipokrit—dengan menelaah dinamika aktual di tingkat nasional maupun global. Tujuannya, mendorong kesadaran publik akan pentingnya integritas sebagai fondasi utama dalam membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Kepemimpinan berintegritas
Kepemimpinan berintegritas menjadi fondasi utama demokrasi substansial. Integritas tidak hanya menyangkut kejujuran pribadi, tetapi juga kesetiaan terhadap nilai dan keberanian moral menghadapi tekanan kekuasaan. Pemimpin berintegritas tidak mudah terbuai oleh godaan kekayaan, jabatan, maupun popularitas yang dangkal.
Dalam teori kepemimpinan, Burns (1978) menyebut pemimpin transformasional sebagai sosok yang tidak sekadar memimpin, tetapi mampu mengangkat nilai-nilai publik ke arah yang lebih bermakna. Pemimpin sejati berfungsi sebagai kompas moral di tengah turbulensi politik dan ekonomi.
Namun, tantangan bagi pemimpin berintegritas tidak kecil. Mereka sering dicap tidak fleksibel karena enggan berkompromi terhadap praktik transaksional. Tak jarang pula mereka disingkirkan dari arena kekuasaan. Tetapi, sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang berpegang pada integritas meninggalkan warisan moral yang langgeng.
Sosok Jacinda Ardern Perdana Menteri Selandia Baru 2017-2023, menjadi simbol kepemimpinan semacam ini. Menurut Wilson (2023), ia tak hanya merespons tragedi Christchurch (2019)—serangan teror di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, yang menewaskan 51 orang—dengan empati dan tindakan nyata. Tetapi, mengejutkan publik, mundur secara sukarela ketika merasa tidak lagi optimal memimpin. Ardern adalah gestur moral kepemimpinan perempuan yang langka dalam panggung politik global saat ini.
Di Indonesia, mengutip Mietzner (2015), figur seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah tampil sebagai simbol reformasi birokrasi dan transparansi anggaran di DKI Jakarta. Meski gaya komunikasinya kerap kontroversial, Langkahnya memerangi korupsi menunjukkan komitmen nyata pada pelayanan publik yang bersih.
Sayangnya, data Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023 menunjukkan stagnasi di skor 34 dari 100. Ini menandakan lemahnya budaya integritas dalam pemerintahan. Tanpa kepemimpinan bermoral, birokrasi hanya menjadi alat kekuasaan yang hampa-makna.
Di tengah gelombang populisme, oligarki, dan politik identitas, hanya pemimpin berintegritas yang mampu membangun kembali kepercayaan rakyat dan memulihkan legitimasi negara. Kepemimpinan seperti ini bukan idealisme kosong, melainkan kebutuhan yang mendesak.
Kepemimpinan hipokrit
Berbanding terbalik, kepemimpinan hipokrit berkembang dengan membungkus penyimpangan kekuasaan dalam retorika-kebajikan. Para pemimpin ini gemar menggaungkan etika di ruang publik, namun justru mengabaikannya dalam praktik kekuasaan sehari-hari.
Mounk (2018) menyebut fenomena ini sebagai bentuk illiberal democracy—dimana proses elektoral dijalankan, tetapi prinsip demokrasi seperti kebebasan sipil dan akuntabilitas dirusak dari dalam. Pemimpin hipokrit sering tampil sebagai “wakil rakyat sejati”, namun saat berkuasa justru mengekang kritik dan memperlemah institusi.
Warburton (2024) memberikan contoh nyata dapat dilihat dalam periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sosok yang dulu dipuji karena kesederhanaannya, kini dikritik karena membiarkan politik dinasti menguat. Keterlibatan putranya dalam Pilpres 2024 melalui celah hukum Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai titik balik kemunduran integritas institusional.
Kondisi serupa terjadi di Amerika Serikat. Levitsky & Ziblatt (2018), menyoroti pada periode pertama Presiden Donald Trump, dengan slogan “Make America Great Again,” memanfaatkan simbol nasionalisme dan religiusitas untuk membangun basis politik. Namun, pemerintahannya juga menandai kemunduran dalam norma-norma demokrasi dan penyebaran disinformasi. Trump,—dari dulu hingga sekarang—sering menyebarkan narasi konspiratif, dan mengabaikan tanggung jawab moral seorang pemimpin terhadap kebenaran dan keadilan.
Model kepemimpinan semacam ini, sering tumbuh subur dalam sistem demokrasi prosedural yang dangkal. Ketika kemenangan elektoral dijadikan satu-satunya tolok ukur, nilai-nilai substantif kepemimpinan seperti tanggung jawab dan transparansi terabaikan. Akibatnya, rakyat mudah terjebak dalam simbolisme-kosong.
Dampaknya, bukan hanya pada kualitas kebijakan, tapi juga pada partisipasi politik. Hipokrisi yang terus-menerus, justru memicu kekecewaan dan apatisme. Ruang kosong kepercayaan ini kerap diisi oleh figur otoriter yang menjanjikan stabilitas semu.
Laporan Edelman Trust Barometer (2024) mencatat bahwa 58% responden global menilai pemimpin mereka lebih sering “menyesatkan daripada memimpin”. Ini mencerminkan krisis kepercayaan publik yang sudah pada tahap kritis.
Untuk itu, masyarakat harus aktif menuntut akuntabilitas, transparansi, dan rekam jejak nyata dari para pemimpin. Tidak cukup hanya mengandalkan prosedur-elektoral. Publik perlu mengawasi dan mengingatkan agar kekuasaan tidak disalahgunakan.
Demokrasi tidak bisa diserahkan hanya pada sistem. Ia membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya. Dalam kondisi krisis kepercayaan, pilihan antara integritas dan hipokrisi bukan lagi soal etika pribadi, tetapi juga arah masa depan demokrasi itu sendiri.
Kepemimpinan hipokrit hanya akan memperpanjang siklus korupsi, memperdalam apatisme, dan memperlemah daya tahan institusi. Sebaliknya, kepemimpinan berintegritas, meski tak selalu populer secara elektoral, mampu membangun masa depan politik yang lebih bersih dan adil.
Rakyat harus menjadi garda terdepan dalam mengawal kepemimpinan. Publik yang kritis, sadar rekam jejak, dan berani menolak politik pencitraan adalah benteng terakhir bagi demokrasi yang bermakna. Dalam demokrasi sejati, suara rakyat tak cukup hanya memilih, tapi juga mengoreksi dan menjaga arah kepemimpinan.(*)
