Mengkritisi Gerakan Mahasiswa di Era Prabowo

Tasneem Khaliqa Israkhansa
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
“Ke mana perginya sejarah? Selain bersembunyi di balik ingatan, berbisik di telinga generasi baru–menanti mereka yang berani mengubahnya menjadi sikap.”
Gerakan mahasiswa dalam narasi panjang republik ini bukan sekadar catatan kaki yang terpinggirkan arsip sejarah. Dalam setiap eranya, mereka adalah lokomotif perubahan yang melaju di persimpangan zaman. Melampaui batas tembok kampus, menembus sekat-sekat kenyamanan yang sering kali membelenggu pikiran dalam pasifisme. Menjadikan kampus bukan hanya ruang akademik, melainkan arena penggemblengan. Kawah candradimuka bagi mereka yang percaya: perubahan lahir dari keberanian berpikir, bersuara, dan bertindak.
Tetapi hari-hari ini, pertanyaan “Di mana mahasiswa hari ini?” Rasa-rasanya sah mencuat menjadi sebuah gugatan. Sebab, kemelempeman yang justru kita saksikan, dari idealisme yang pernah bergelora selama ini. Jika memang bendera yang tak pernah diturunkan itu kini tertiup angin kepasrahan, maka mungkin kita sedang menapaki kenyataan yang, meminjam kata-kata Sukidi dalam salah satu esainya, “Mendiamkan kebenaran adalah bentuk ketidakadilan yang paling sunyi.”
Dalam lintasan sejarah, beberapa tonggak pergerakan mahasiswa patutlah dicatat.
Pertama, pada 1966, sejarah perlawanan moral mahasiswa terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Saat itu, di tengah gejolak politik dan krisis ekonomi yang silang selimpat, mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) secara heroik menuntut tumbangnya Soekarno melalui Tritura: turunkan harga, bubarkan PKI, serta perombakan kabinet.
Aksi Tritura muncul sebagai bentuk tekanan publik atas lambannya pemerintah menindak PKI kala itu, yang dianggap terlibat dalam peristiwa berdarah G30S, dan perbaikan ekonomi rakyat. Walhasil, pemerintahan Soekarno pun berguncang. Lewat gerakan kritis tersebut, Soekarno berhasil kolaps, dan kekuasaan beralih kepada Soeharto (Orde Baru).
Kedua adalah meletusnya peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada 1974. Malari pecah sebagai respons terhadap dominasi investasi asing yang dianggap memperparah kesenjangan sosial. Kala itu, mahasiswa memprotes kunjungan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei untuk melindungi kedaulatan rakyat kecil dari ancaman ketimpangan ekonomi. Sayangnya, demonstrasi ini berujung pada represifitas negara.
Tahun 1978, perlawanan mahasiswa dilakukan tidak hanya dengan turun ke jalan (Peristiwa Kampus Berdarah). Dalam pertarungan intelektual saat itu, mereka mengartikulasikan kritik mereka dalam Buku Putih, sebuah dokumen yang tajam menguliti wajah represif Orde Baru. Namun, rezim justru merespons dengan operasi militer di kampus-kampus, penangkapan aktivis mahasiswa yang terlibat gerakan ini, serta pembredelan pers kampus.
Tak hanya itu, rezim juga memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK), yang membatasi gerak mahasiswa dan mengubah universitas menjadi tempat akademik yang steril dari dinamika sosial.
Pada 1998, gerakan mahasiswa mencapai babak klimaks dalam perlawanan terhadap otoritarianisme–saat reformasi bukan lagi tuntutan, melainkan harga mati. Ditambah, krisis ekonomi yang kian menjerat rakyat, di mana harga bahan pokok melambung, angka pengangguran meroket, dan kepercayaan terhadap pemerintah juga anjlok. Akibatnya, kerusuhan sosial pecah di berbagai kota, mencerminkan amarah rakyat yang memuncak. Tetapi, bukan kedaulatan di tangan rakyat namanya jika tunduk pada tirani. Soeharto akhirnya mundur, menegaskan kemenangan mahasiswa dan rakyat yang membawa perubahan sistemik pasca-reformasi.
Lantas, apa yang gagal dibaca oleh kebanyakan generasi muda hari ini setelah begitu banyak peristiwa monumental berlalu? Membaca pola akan: ke mana perginya sejarah. Selain bersembunyi di balik ingatan, berbisik di telinga generasi baru; menanti mereka yang berani mengubahnya menjadi sikap.
Apakah keluputan mereka dalam memaknai sejarah berarti mahasiswa masa kini malas? Tidak sesederhana itu tampaknya menjawab perihal ini. Sebab, musuh bersama mereka tidak lagi sebatas wajah dan nama. Bila menilik lebih jauh, pudarnya narasi besar yang dahulu menyatukan gerakan mahasiswa dan rakyat, boleh jadi karena ketidakadilan hari ini datang dalam bentuk lebih subtil: apatisme, pragmatisme, dan kooptasi oleh kepentingan-kepentingan yang mengerdilkan idealisme.
Belum lagi, berbagai ancaman yang menyertai dan “menghancurkan” mentalitas lebih dari pentungan aparat dan gas air mata saat berupaya kritis. Misalnya, ancaman administrasi kampus, pembungkaman terhadap kebebasan akademik dan profesional, dan sebagainya. Tak heran gerakan mahasiswa pada akhirnya terpecah ke dalam isu-isu sektoral; ketenagakerjaan, hukum, pendidikan, hak asasi manusia, dan lain-lain. Masing-masing berjuang di jalannya, tanpa simpul yang mengikat menjadi kekuatan kolektif yang mengguncang status quo.
Dan situasi itu, acap kali dimanfaatkan sebagai celah manipulasi informasi untuk mengalihkan perhatian publik dari isu. Tujuannya, agar cara pandang dan opini mereka bisa dikontrol. Hal ini ironis, mengingat berdampak melahirkan mereka yang superiority complex–merasa lebih tahu dan lebih rasional dibandingkan mereka yang kritis. Tanpa sadar, mereka sebenarnya tengah dikendalikan dan menjadi korban daripada narasi otoritas kelompok dominan (tidak mau mencoba memahami narasi yang lebih majemuk dan dari masyarakat sipil).
Esais dan cendikiawan Goenawan Mohamad, dalam kumpulan tulisannya “Catatan Pinggir” Edisi 14 mengungkapkan, “demokrasi bila telah berjalan ‘normal’, bisa membosankan.” Baginya, satu-satunya hal yang tetap dinamis dalam dunia yang diatur oleh demokrasi dan kapitalisme hanyalah bentuk perut manusia. Segala sesuatu yang lain, dari gejolak politik hingga kegelisahan eksistensial, cenderung mereda dalam keseharian yang teratur, yang serba by default. Akibatnya, gerakan sosial lebih sulit mempertahankan momentumnya seiring dengan perlawanan yang sering kali dikomodifikasi (ditunggangi kepentingan politik tertentu).
Pertanyaannya, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kita mengetahui bahwa suatu demokrasi telah usang? Tidak ada jawaban definitif untuk itu, tetapi konsep Manusia Purna yang diperkenalkan Nietzsche kiranya relevan menjadi ukuran. Manusia Purna merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi manusia yang terlalu jinak–kering dan dingin, tak ada peningkatan, dan tak mau melampaui apa-apa. Mereka tak lagi gelisah, bahkan telah kehilangan cinta dan keresahan sehingga tidak merasa perlu bergerak.
Tetapi, sejarah selama ini membuktikan bahwa perubahan besar selalu lahir dari rasa tidak puas akan ketidakadilan, dan demokrasi yang sehat selalu membutuhkan kegelisahan intelektual. Mereka keluar dari zona nyaman, berkorban waktu, tenaga dan kenyamanan demi sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri–meletup dalam kesadaran kolektif.
Mencermati gerakan mahasiswa beberapa waktu belakangan, seperti Darurat NKRI, #KaburAjaDulu, #IndonesiaGelap, serta perlawanan bersama sipil #TolakRUUTNI yang masih terus bergulir dengan diwarnai kekerasan aparat, sebagai respons dari carut marutnya kondisi saat ini–di mana korupsi merajalela, pengangguran di mana-mana, tingkat ketimpangan sosial menajam, dekadensi moral mengakar di lingkaran kekuasaan, kebebasan akademik dan berekspresi kian dibungkam, kita perlu gelisah–apakah sedang menuju ke sana, atau lebih buruknya: kita sudah tiba.
Dan mahasiswa, sebagai epitome dari suara rakyat dan keberanian muda, sekaranglah saat yang tepat untuk merebut kembali marwah mereka dan memperjuangkan kebenaran dalam narasi peradaban. Bukan mencari aman dengan memilih diam pada ketidakadilan. Sungguh, itu bukanlah kebijaksanaan, melainkan pengkhianatan terhadap idealisme yang pernah ditebus dengan nyawa dan air mata generasi sebelumnya. Sebab, seperti yang pernah dikatakan Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” (*)
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penulis beberapa buku, dan Inisiator sekaligus Ketua Gerakan Kepemudaan Alumni Mentorship Maudy Ayunda “Muda-Mudi Maudy”
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com.
