Purbaya, Teknokrat di Tengah Negeri-Partai
Hamka Hendra Noer
Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Di tengah hiruk-pikuk politik elektoral, sosok menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa muncul sebagai contoh langka, teknokrat yang berupaya menjaga rasionalitas kebijakan di negeri yang masih dikuasai oleh logika partai. Sebagai ekonom dan pejabat publik, ia menempuh jalan sunyi—mempertahankan keputusan berbasis data di tengah tekanan politik yang lebih menghargai loyalitas daripada kompetensi.
Profesionalisme birokrasi dalam konteks ini bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi juga keberanian moral. Di antara tarik-menarik kepentingan elite dan tuntutan publik, Purbaya “si-koboy”muda menjadi simbol dilema pejabat profesional yang berjuang menyeimbangkan ilmu pengetahuan dan kekuasaan, rasionalitas dan kepentingan elektoral.
Fenomena ini mengingatkan pada analisis Max Weber (1947) tentang ketegangan antara panggilan profesi dan politik kekuasaan. Dalam demokrasi pasca-Reformasi, dilema itu semakin kompleks, ketika publik menuntut transparansi dan akuntabilitas di tengah sistem yang masih personalistik dan patrimonial.
Teknokrat dalam Bayang Kekuasaan
Dalam politik Indonesia kontemporer, logika elektoral masih menjadi arus utama penentu arah kebijakan publik. Setiap menteri, termasuk Purbaya, beroperasi di bawah tekanan partai yang menilai kinerja bukan dari efektivitas kebijakan, melainkan dari potensi elektoral yang dihasilkan.
Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025) menunjukkan hanya 11,4 persen publik yang menilai menteri berkinerja terbaik, sedangkan pengenalan terhadap program pemerintah mencapai 91,3 persen. Ketimpangan ini menandakan, apresiasi terhadap profesionalisme birokrasi masih terbatas; persepsi publik terhadap kinerja pejabat lebih sering dibentuk oleh pandangan politik ketimbang rasionalitas kebijakan.
Kondisi ini menggambarkan apa yang disebut Habermas (1984) sebagai rasionalitas instrumental—ketika kekuasaan menggantikan nalar deliberatif. Akibatnya, kebijakan publik sering dikemas sebagai program populis alih-alih berbasis bukti. Perluasan bantuan sosial menjelang pemilu, misalnya, memang membantu masyarakat miskin, tetapi juga memperkuat patronase politik dan melemahkan akuntabilitas kebijakan.
Fenomena ini sejalan dengan tesis Winters (2011) tentang oligarki sipil, di mana elite politik dan ekonomi berkoalisi untuk mempertahankan dominasi melalui kebijakan publik. Dalam situasi semacam ini, teknokrat seperti Purbaya harus menavigasi dilema: menjaga integritas ilmiah tanpa melanggar kepentingan kekuasaan yang menopang posisinya.
Masalah tersebut bersifat sistemik. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN, 2024) mencatat 481 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN selama Pemilu 2024; 264 ASN (54,9 persen) terbukti melanggar, sebagian besar melibatkan pejabat struktural. Data ini menunjukkan kuatnya politisasi birokrasi dan lemahnya meritokrasi dalam pengisian jabatan publik.
Akibatnya, kebijakan publik kerap diarahkan untuk kepentingan elektoral jangka pendek, bukan kesejahteraan jangka panjang. Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan pentingnya independensi teknokrat. Korea Selatan memperkuat posisi teknokrat lewat rekrutmen berbasis merit dan perlindungan hukum, menjaga konsistensi kebijakan meskipun terjadi pergantian pemerintahan.
Sebaliknya, di Thailand dan Filipina, teknokrat sering dikompromikan oleh agenda politik jangka pendek yang membuat kebijakan ekonomi tidak berkelanjutan. Di Indonesia, tekanan politik juga berkelindan dengan kekuasaan ekonomi. Transparency International (2024) mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia stagnan di 34/100, menandakan lemahnya integritas institusi publik. Bahkan, V-Dem (2025) juga menunjukkan penurunan Deliberative Democracy Index dari 0,52 ke 0,45, menggambarkan kemunduran kualitas rasionalitas publik dalam proses pembuatan kebijakan.
Profesionalisme: Ujian Kekuasaan
Dalam konteks itu, Purbaya menjadi simbol paradoks birokrasi modern: seorang profesional yang berupaya bekerja rasional dalam sistem yang tidak rasional. Ia menanggung beban politik atas pilihan teknokratiknya—antara melayani publik atau mempertahankan posisinya dalam struktur kekuasaan.
Ketika logika politik mendominasi kebijakan publik, profesionalisme menjadi ruang perjuangan terakhir bagi mereka yang percaya pada rasionalitas dan etika pemerintahan. Purbaya menunjukkan bahwa integritas bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga keberanian moral.
Laporan Bank Dunia (2024) menempatkan Indonesia di peringkat ke-73 dalam Government Effectiveness Index, tertinggal dari Malaysia (44) dan Korea Selatan (24). Angka ini mencerminkan lemahnya konsistensi antara meritokrasi birokrasi dan kebijakan berbasis bukti. Dalam iklim politik yang mudah berubah menjelang pemilu, keberlanjutan kebijakan sangat bergantung pada kemampuan teknokrat untuk menjaga rasionalitas pemerintahan dari tekanan populisme.
Teori New Public Service dari Denhardt & Denhardt (2003) menegaskan bahwa pejabat publik seharusnya melayani warga negara, bukan pelanggan politik. Prinsip ini semakin relevan di Indonesia, di mana loyalitas kerap lebih dihargai daripada kompetensi. Ketika meritokrasi melemah, kebijakan publik kehilangan rasionalitas ilmiah dan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Perbandingan dengan Singapura menegaskan hal ini. Melalui Public Service Leadership Scheme, promosi diberikan berdasarkan kinerja dan kompetensi. Hasilnya, kebijakan ekonomi tetap konsisten meskipun terjadi pergantian pemerintahan. Sebaliknya, di Indonesia, budaya hierarkis dan loyalitas politik membuat birokrasi sulit beroperasi secara otonom.
Dalam kerangka ini, Purbaya menjadi simbol perjuangan etis di tengah pragmatisme kekuasaan. Ia berupaya menjembatani ilmu dan politik, memastikan rasionalitas kebijakan berpijak pada kepentingan publik, bukan agenda elektoral.
Sebagaimana ditegaskan Bouckaert & Jann (2020), keberhasilan reformasi birokrasi bergantung pada kemampuan negara untuk menyeimbangkan politik dan profesionalisme. Profesionalisme bukanlah antitesis politik, melainkan fondasi moral bagi demokrasi substantif yang berkeadilan dan berorientasi jangka panjang.
Figur seperti Purbaya menunjukkan bahwa teknokrat dapat menjadi jembatan antara rasionalitas dan kekuasaan, antara ilmu dan politik. Di tangan mereka, kebijakan publik bukan sekadar prosedur administratif, tetapi perwujudan moralitas rasional yang menyejahterakan masyarakat.
Di tengah badai elektoral, harapan pada teknokrat bukan untuk meniadakan politik, melainkan mengembalikannya pada hakikatnya—melayani publik dengan akal sehat, data, dan etika.(*)