Gunung Marapi Riwayatmu Dulu
Gunung Marapi Riwayatmu Dulu
Oleh : Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
Tragedi Marapi Desember 2023 lalu masih menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang telah diketahui, Marapi kembali erupsi pada Minggu, 3 Desember 2023 pagi hari. Gunung ini menyemburkan awan panasnya, menimbun apa saja yang berada disekitarnya tak terkecuali para pendaki yang sedang melakukan pendakian. Peristiwa ini menyebabkan orang tua kehilangan anaknya, calon wisudawan kehilangan mimpinya, serta orang-orang kehilangan sahabat-sahabatnya.
Trauma yang mendalam pastinya dirasakan oleh para korban yang selamat. Beberapa di antaranya mengisahkan kronologi awal mula bencana tersebut terjadi. Dari kesaksian mereka, Marapi mengeluarkan suara gemuruh terlebih dahulu sesaat sebelum terjadinya letusan. Para pendaki yang berada di atas pun berlarian turun menyelamatkan diri mereka. Sebagian ada yang berhasil selamat, namun ada pula yang terjebak dan berakhir meninggal. Total, sebanyak 24 orang menjadi korban keganasan Marapi (tvOne, 2023).
Bencana meletusnya Gunung Marapi di Sumatera Barat ini bukanlah kali pertama. Gunung yang berstatus gunung api aktif ini telah erupsi sejak dahulu kala. Kondisi geografis Sumatera Barat yang didominasi oleh rangkaian pegunungan berapi dan termasuk dalam Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire), membuat wilayah ini rentan terhadap aktivitas vulkanik (Nasional, 2017).
Gunung Marapi terletak di Pegunungan Bukit Barisan dengan puncaknya mencapai lebih dari 2.891,3 meter di atas permukaan laut (Randa Martha Zona, Dasman Lanin, 2019).Kehadirannya yang memengaruhi sejumlah daerah sekitarnya menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat serta pemerintah dalam mitigasi dan penanganan bencana alam.
Terdapat kisah menarik mengenai meletusnya Gunung Marapi pada masa lampau. Kisah ini dituliskan oleh L C Westenenk, seorang diplomat Belanda, dalam bukunya yang menceritakan mengenai tiga gunung, yaitu Marapi, Singgalang dan Ophir (Talamau) yang dahulunya saling terhubung satu sama lain.
Ketiga gunung ini diibaratkan sebagai tiga sahabat yang sangat dekat. Namun, Gunung Marapi dan Ophir jatuh cinta pada Singgalang. Rasa cemburu menciptakan pertempuran hebat dari kedua gunung ini hingga membuat wilayah di sekitarnya tertutup oleh api, abu dan lava. Pertempuran ini pun menimbulkan retakan yang besar hingga menjadi jurang yang memutus hubungan antara Marapi-Singgalang dengan Ophir. Sehingga, Marapi pun keluar sebagai pemenang dan bersanding dengan Singgalang hingga kini (Westenenk, 1909). Kisah mengenai tiga gunung ini juga dituliskan dalam majalah Belanda Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1890 (5) [volgno 2] yang terbit pada tahun 1890.
Pada masa Kolonial Belanda, Gunung Marapi erupsi beberapa kali, yaitu pada tahun 1845, 1863, 1871, 1882, 1926, 1927 dan 1930. Erupsi Marapi 1863 menjadi salah satu eruspi besar yang pernah terjadi. Diinfokan melalui surat kabar Utrechtsch Provinciaal en Stedelijk tanggal 17 Agustus 1863, Marapi meletus pada 25 Mei diiringi dengan suara gemuruh dan ledakan, muntahan asap pun membumbung tinggi ke atas secara vertical dan percikan api yang terpental ke berbagai arah (Utrechtsch Provinciaal En Stedel?k Dagblad, 1863). Namun, tidak dijelaskan mengenai korban jiwa atau pun daerah yang terdampak.
Tidak sampai sepuluh tahun setelahnya, Marapi kembali erupsi pada 5 Juni 1871. Hujan abu pun menyelimuti desa-desa yang berada di kaki gunung hingga menutupi pepohonan serta atap-atap rumah masyarakat (Arhmenasche Courant, 1871; Het Vaderland, 1871).
Pada tahun 1926, dilaporkan dari surat kabar Het Vaderland, staat en letterkundig nieuwsblad edisi 07 Juli 1926, Marapi Kembali mengeluarkan awan panasnya, Suara gemuruh terus dirasakan bahkan terdengar, terutama di bagian lereng Gunung Marapi. Tak lama dari itu, kawah Marapi di sisi barat mengeluarkan asap berwarna merah dan kuning hingga menyebabkan air Sungai Ombilin dan anak sungainya keruh serta hujan abu teramati di lereng Gunung Marapi (Het Vaderland, Staat En Letterkundig Nieuwsblad, 1926).
Lebih lanjut, Surat Kabar Nieeuwe Rotterdamsche Courant yang terbit di tanggal yang sama, menginfokan bahwa terdapat dua daerah yang terdampak cukup parah akibat bencana ini, yaitu Goegoek (Guguak) dan Soempoer (Sumpur), yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Agam (Nieeuwe Rotterdamsche Courant, 1926). Setahun setelahnya, hujan abu pun kembali terjadi. Berdasarkan berita surat kabar Provinciale Dretsche en Asser Courant edisi 16 Februari 1927, dilaporkan dari Padang Panjang bahwa abu tebal dari salah satu gunung berapi di Sumatera Barat ini (Provinciale Dretsche En Asser Courant, 1927).
Masih di abad yang sama, Marapi kembali mengeluarkan awan panasnya pada tahun 1930. Gunung ini meledakan abu yang kuat pada malam hari hingga menyebabkan hujan abu di sekitar kawasan lereng gunung. Selain itu, bencana ini menewaskan satu orang peneliti Belanda, Tuan Bosschaardt dan asistennya yang sedang melakukan pendakian ke atas puncak Marapi (Dagblad van Noord Brabant, 1930; Provinciale Geldersche En Nijmeegsche Courant, 1930).
Dari beragam berita maupun catatan mengenai erupsi Gunung Marapi yang ada tidak begitu dijelaskan mengenai jumlah korban, kerusakan, maupun aksi pemerintah dalam menanggulangi bencana tersebut. Namun, pembentukan beberapa lembaga baru pemerintah saat itu, seperti Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia dan Meteorologisch en Geofisiche Dienst (BMKG, n.d.) yang berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang geologi, meteorologi, serta pemasangan seismograf untuk pencatatan getaran bumi, memperlihatkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda sadar akan kondisi wilayah Hindia Belanda (Indonesia saat ini) yang sangat rawan bencana alam.
Langkah-langkah seperti pemasangan seismograf dan pendirian lembaga ilmiah menunjukkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan pemahaman dan mitigasi terhadap bencana alam di wilayah Hindia Belanda, termasuk erupsi gunung berapi.
Namun, walaupun langkah-langkah ini merupakan langkah positif dalam meningkatkan pemahaman dan mitigasi terhadap bencana alam, tragedi yang terjadi pada Desember 2023 di Gunung Marapi menegaskan bahwa tantangan dalam menghadapi bencana alam tetap besar dan kompleks. Kendati telah ada upaya-upaya pencegahan dan penanganan darurat, kerap kali sulit untuk mengukur dan merespon dengan tepat ketika alam memperlihatkan kekuatannya.
Kita tidak dapat mengabaikan bahwa meskipun telah ada perhatian lebih terhadap penelitian ilmiah, dampak bencana alam tetap tak terelakkan. Oleh karena itu, sambil terus meningkatkan pengetahuan dan teknologi, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus bersatu dan berkolaborasi dalam menghadapi berbagai ancaman alam. Dengan demikian, diharapkan kita dapat menjadi lebih siap dan tangguh menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang mungkin terjadi. (*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected].
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika