Opini

Puasa Ramadhan pada Masa Kolonial Belanda di Indonesia

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia menjalani bulan Ramadhan dengan meriah di setiap tahunnya. Ilustrasi. Foto : pixabay

Oleh : Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

Ramadhan menjadi salah salah satu bulan paling penting dalam ajaran agama Islam sebab pada bulan ini umat muslim di seluruh belahan dunia wajib melaksanakan ibadah puasa yakni menahan diri dari rasa haus dan lapar mulai dari terbit hingga terbenamnya matahari. Bulan ini juga menjadi momentum bagi umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan menambah amalan baik dengan ikut melaksanakan berbagai ibadah wajib dan sunnah lainya. 

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia menjalani bulan Ramadhan dengan meriah di setiap tahunnya. Masjid yang pada hari-hari biasanya sepi, pada bulan Ramadhan jadi lebih ramai dikunjungi oleh masyarakat. Terutama di malam hari, ketika diadakannya shalat tarawih sebagai bagian dari ibadah sunnah selama bulan Ramadhan. 

Disamping itu, keributan menjelang sahur, ngabuburit, berburu takjil hingga acara buka bersama merupakan segelintir kegiatan yang turut meramaikan suasana bulan Ramadhan di Indonesia, setidaknya dalam beberapa dekade belakangan ini. Lantas bagaimana jalannya puasa Ramadhan di Indonesia di era yang jauh di masa lampau seperti zaman kolonial? Apakah ada banyak kesamaan dengan yang kita alami saat ini? Atau bahkan berbeda sama sekali?

Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk menangkap suasana bulan Ramadhan pada zaman kolonial Belanda secara akurat. Sebab suasana puasa Ramadhan tentunya berbeda-beda di setiap daerah. Namun setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran besar mengenai jalannya puasa Ramadhan pada masa itu lewat berbagai artikel surat kabar yang dirilis di sekitar awal abad ke 20.

Kita mulai dengan penetapan awal Ramadhan, jika saat ini selalu terjadi perbedaan dalam menentukan kapan awal dan akhir bulan Ramadhan baik dari kalangan Pemerintah, NU maupun Muhammadiah begitu pula halnya pada masa kolonial Belanda. 

Seperti diberitakan oleh surat kabar De Indische Courant edisi 25 Februari 1931, bahwa setiap tahunnya selalu terjadi perbedaan pendapat mengenai awal dan akhir puasa Ramadhan. Oleh sebab itu demi menghindari keributan pemerintah kolonial kemudian memutuskan bahwa perayaan lebaran berlangsung selama dua hari. Deli Courant edisi 16 November 1936  juga memberitakan hal yang serupa, dimana tidak ada kesepakatan tentang awal puasa Ramadhan pada tahun tersebut. Sebagian masyarakat ada yang berpuasa lebih awal sedangkan sebagian lainnya lebih lambat.

Di daerah Sumatera, khususnya di wilayah Deli, pengumuman awal puasa ditandai dengan tembakan meriam dari istana Kesultanan Deli. Sebelum puasa dimulai, masyarakat akan melaksanakan ziarah sekaligus membersihkan kuburan sanak keluarganya yang telah meninggal. Dalam menyambut bulan puasa masyarakat juga akan menyembelih hewan ternak, baik berupa kerbau, sapi maupun ayam sesuai dengan kemampuan. Kegiatan ini disebut dengan istilah hari memotong. Daging hewan ternak tersebut kemudian dijadikan sebagai hidangan khusus untuk menyambut awal bulan. Sementara itu orang kaya akan mengadakan selamatan atau kenduri untuk meminta kelancaran dalam menghadapi bulan puasa (Deli Courant edisi 5 November 1937).

Sedangkan di Jawa, khususnya di Semarang suasana dalam menyambut Ramadhan berlangsung dengan cara yang jauh lebih meriah. Sebagaimana digambarkan oleh surat kabar De Locomotif edisi 11 Desember 1901, bahwa satu hari sebelum puasa dimulai, masyarakat akan berbondong-bondong mendatangi daerah alun-alun. Mereka datang untuk menyaksikan pengumuman awal puasa Ramadhan yang akan diumumkan lewat berbagai bunyi-bunyian keras seperti pukulan beduk hingga penembakan meriam. Pengumuman awal puasa ini biasanya juga dibarengi dengan diadakannya bazar yang sebagian besarnya menjual produk makanan.

Kegiatan menyambut Ramadhan di Semarang tersebut juga dikenal dengan istilah Doeg-der (Dugderan) yang asal katanya berasal dari tiruan bunyi gendang besar (bedug Jawa) yang ada di masjid. Perayaan ini sangat lah meriah sehingga orang-orang dari luar Semarang seperti Salatiga, Kudus dan Kendal juga tertarik mengikuti acara tersebut (De Locomotif edisi 9 Januari 1932).

Selama bulan puasa berlangsung, masyarakat pada umumnya akan berfokus untuk beribadah serta memperbanyak amal kebaikan. Surat kabar Deli Courant Edisi edisi 26 November 1935 mencatat bahwa bulan Ramadhan dianggap sebagai bulan keagamaan sehingga masyarakat pada umumnya banyak yang mengerjakan berbagai ibadah khusus selama bulan Ramadhan, terutama dalam hal membaca Al Quran yang dianggap mendapat nilai lebih dari hari-hari biasa. 

Deli Courant juga mencatat bahwa puncak bulan Ramadhan terjadi pada malam-malam ganjil di sepertiga akhir bulan Ramadhan yakni tanggal 21, 23, 25 dan 27 yang juga dikenal dengan sebutan malam lailatul qadar. Bahkan di Aceh tanggal 27 Ramadhan kemudian dirayakan secara khusus. Sedangkan ditempat-tempat lain umumnya pada malam-malam tersebut masyarakat akan mengerjakan berbagai amalan saleh, meningkatkan bacaan Al Quran, hingga melaksanakan acara makan-makan keagamaan.

Lain pula halnya dengan di berbagai daerah di Jawa, sebab terdapat berbagai kegiatan khusus pada akhir bulan Ramadhan sebagaimana diberitakan oleh De Indische Courant edisi 25 Februari 1931. Di Jawa Tengah misalnya, terutama di daerah Vorstenlanden (Yogyakarta-Surakarta) terdapat tradisi Garebeg Puasa, yakni festival besar yang diadakan di akhir bulan puasa dan dianggap sebagai acara terpopuler dibandingkan berbagai acara di wilayah lainnya. 

Baca Juga: Batavia, dari Pelabuhan Kecil Menjadi Ibu Kota

Di Jember terdapat tradisi jalan-jalan malam yang disebut dengan istilah Sya’banan dengan aturan harus melewati tujuh jembatan. Dalam tradisi Sya’banan tersebut dilakukan pula persembahan atas roh orang mati yang disebut dengan istilah Ruwah. Ada juga yang masih melakukan tradisi mandi dengan air dari tujuh sumur atau sungai yang berbeda yang merupakan tradisi yang berasal dari agama Hindu. De Indische Courant juga mencatat bahwa suara mercon turut meramaikan suasana di hampir sepanjang malam bulan puasa pada masa itu.

Pada awal-awal abad ke 20 ini, anak-anak sekolahan juga mendapatkan jatah libur yang sangat panjang selama bulan puasa. Anak-anak sekolah ini lantas menghabiskan waktunya dengan berbagai macam kegiatan mulai dari beribadah hingga bermain-main ke sana kemari (Deliar Noer, 1996). Jatah libur selama bulan puasa ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka, sayangnya kebijakan ini kemudian dihapus masa Orde Baru.

Dari penelusuran mengenai jalannya puasa Ramadhan pada Masa Kolonial Belanda di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam tradisi dan pelaksanaannya, esensi keagamaan dan semangat kebersamaan umat Islam dalam menyambut dan menjalani bulan suci tetap terjaga. Artikel-artikel surat kabar dari masa itu memberikan gambaran yang kaya akan ragam kegiatan dan perayaan di berbagai daerah di Indonesia, dari pengumuman awal puasa hingga perayaan akhir bulan.

Meskipun zaman telah berubah dan beberapa tradisi telah pudar, semangat untuk menjalankan ibadah, meningkatkan keimanan, dan menjaga tradisi tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan keislaman Indonesia.(*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected].

Baca Juga: Tambang Batubara Ombilin: Riwayatmu Dulu
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika