Opini

Batavia, dari Pelabuhan Kecil Menjadi Ibu Kota

Jakarta yang namanya berasal dari Jayakarta, dulunya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Foto : republika

Oleh : Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

DKI Jakarta, sesuai dengan namanya telah menjadi daerah keistimewaan Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam perjalanan menuju statusnya sebagai ibukota negara. Penduduknya yang heterogen dan dinamis serta peranannya yang sentral dalam perekonomian nasional, Jakarta telah berkembang dari pelabuhan kecil di pesisir utara Jawa menjadi kota metropolis global yang signifikan dimana berbagai aspek kehidupan bertemu dan berinteraksi di dalamnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Perjalanan panjang Jakarta ini dimulai dari sebuah pelabuhan perdagangan kecil milik Kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini diperkirakan telah eksis pada abad ke-5 dan menjadi salah satu pelabuhan teramai di masanya. Pada awal abad ke-16, Sunda Kelapa berhasil ditaklukan olef Fatahillah dan berubah nama menjadi Jayakarta dan berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten (Setyawati dkk, 1986).

Dengan pesatnya pertumbuhan perdagangan di Jayakarta, wilayah ini menjadi magnet bagi para pedagang dari Eropa, termasuk Belanda, Portugis, dan Inggris. Mereka mendirikan loji-loji dagang di Jayakarta, menjadikannya sebagai pusat perdagangan yang penting dalam jaringan perdagangan global. Selain itu, Jayakarta juga menjadi tempat berkumpulnya kapal-kapal dagang dari berbagai negara, yang saling bertukar komoditas dan memperkuat hubungan perdagangan antarbangsa (Haris, 2007). Hal ini mencerminkan pentingnya Jayakarta sebagai pusat perdagangan internasional pada zamannya.

Namun siapa sangka, pertumbuhan perdagangan yang pesat di Jayakarta juga membawa dampak negatif bagi kestabilan politik dan keamanan di wilayah tersebut. Persaingan antara bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dan komoditas lainnya menyebabkan konflik untuk menguasai Jayakarta semakin memanas.

Pada tahun 1619, ketegangan mencapai puncaknya, ditandai dengan terjadinya peperangan sengit tantara Kesultanan Banten dan VOC Belanda dikarenakan penolakan atas tuntutan VOC untuk mengendalikan perdagangan di wilayah Jayakarta. Dalam pertempuran yang berkepanjangan, kekuatan VOC akhirnya mampu mengalahkan Kesultanan Banten dan Jayakarta pun jatuh ke tangan Kongsi Dagang Belanda tersebut. Mereka pun membumihanguskan Jayakarta dan mengusir seluruh penduduknya. Dari reruntuhan Jayakarta, VOC di bawah pimpinan JP Coen, membangun kota yang ia beri nama Batavia (Shahab, 2013).

Kata “Batavia” dipilih untuk menggantikan nama Jayakarta sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur suku mereka, Batavier. Penggantian nama ini resmi digunakan pada 28 Agustus 1621, tertulis dalam Plaakatboek yang menyebutkan bahwa Jaccatra berubah nama menjadi Batavia dengan bentengnya bernama Casteel Batavia (Chijs, 1885). Sejak saat itu, semua pegawai kompeni, orang merdeka (Mardijkers), dan seluruh masyarakat Hindia Belanda diperintahkan untuk menggunakan nama Batavia diseluruh buku, plakaatboek, undang-undang, surat, dan lainnya (Chijs, 1885).

Selain mengubah nama, VOC juga bekeinginan untuk membentuk wajah baru kota dengan “menyontek” konsep model kota di daerah asal mereka yaitu Amsterdam. Mereka mulai membangun sejumlah bangunan, baik itu gedung pemerintahan hingga permukiman orang Eropa dengan sentuhan model Art Deco yang kental. Gaya Art Deco sendiri dikenal dengan karakteristiknya yang menonjolkan garis-garis geometris, dinding yang tinggi, penggunaan material modern, dan ornamen artistik (Agirachman et al., 2017). Di Kota Batavia, gaya Art Deco sangat terlihat pada sejumlah bangunan di pusat kota yang kini dikenal dengan Kota Tua Jakarta.

Pembangunan lainnya yang sangat fenomenal pada masa itu adalah pembangunan kanal-kanal yang tidak hanya memberikan fungsi praktis sebagai jalur transportasi air yang menghubungkan berbagai bagian kota dan aktivitas perdagangan, tetapi juga memberikan estetika dan tatanan urban yang unik khas Eropa bagi Kota Batavia. Keseluruhan pembangunan ini, tak lain karena cita-cita VOC untuk memiliki kota metropolitan bergaya Eropa pertama milik VOC yang berada di Hindia Belanda.

Namun, keinginan VOC untuk membangun replika “Amsterdam” di Batavia ini tidaklah berjalan dengan lancar begitu saja. Kanal yang dibangun dengan maksud untuk mengendalikan banjir, tidak dapat berfungsi secara efektif ketika musim penghujan tiba. Terlebih lagi, kebiasaan masyarakat kota yang hampir separuhnya merupakan pribumi, menjadikan kanal tersebut bagian dari belakang rumah mereka di mana mereka membuang sampah. Akibatnya, aliran air tersumbat dan meluap menggenangi kota. Kondisi semakin buruk dengan meningkatnya beragam penyakit yang disebabkan oleh buruknya sanitasi kota (Gunawan, 2010).

Berbagai upaya di lakukan oleh pemerintah, mulai dari penggerukan dan pelebaran kanal, hingga menambah jumlah kanal belumlah dapat mengatasi persoalan banjir yang terus melanda kota. Marco Kusumawijaya, peneliti perkotaan, dalam Hanggoro (2013) bahkan menyebutkan jika adanya kanal-kanal tersebut hanya memperluas daerah yang terdampak banjir. Kondisi geografis dan perilaku masyarakat yang sulit diubah menjadi faktor utama dalam ketidakmampuan mengatasi banjir dan masalah sanitasi (Hanggoro, 2013).

Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, Batavia berhasil bertahan dan terus tumbuh menjadi kota yang semakin penting dalam jaringan perdagangan global. Batavia berganti nama menjadi Jakarta Tokubentsu Shi saat Jepang menduduki Hindia Belanda selama Perang Dunia II, dan berganti kembali menjadi Jakarta ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Perjalanan panjang Jakarta mencerminkan keteguhan dan perubahan yang melandasi kota ini dari masa ke masa sekaligus kemampuannya dalam menjadi ibu kota negara Indonesia selama puluhan tahun. (*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, saran, dan tulisan melalui e-mail : [email protected].