Jakarta : Kota yang Tenggelam dalam Ingatan Air

Oleh: Yenny Narni
Dosen FIB Unand
Setiap kali hujan mengguyur deras dan air merangkak naik di Kemang, Pondok Indah, atau kawasan elite lainnya, pertanyaan yang sama selalu muncul: mengapa Jakarta tak kunjung bisa bebas dari banjir? Banyak yang sigap menyalahkan saluran drainase yang tersumbat, proyek sumur resapan yang terbengkalai, atau koordinasi antarinstansi yang seperti tak pernah benar-benar terjalin. Tapi satu hal yang nyaris tak pernah disentuh: barangkali kita terlalu mudah lupa bahwa banjir bukanlah gejala baru. Ia bukan masalah dadakan, melainkan jejak panjang yang telah membentuk wajah kota ini sejak awal mula. Jakarta—atau Batavia di masa lalu—dibesarkan dalam pelukan air.
Jika kita membuka kembali halaman-halaman tua koran kolonial, cerita itu terbentang jelas. Dalam Javasche Courant edisi 6 Februari 1830, banjir besar dilaporkan merendam wilayah Aijer. Penyebabnya: luapan lumpur dan batang kayu yang terbawa dari pegunungan. "Suara gemuruh menandakan air bah datang," tulis laporan itu, menggambarkan bagaimana sawah-sawah yang semula menjanjikan panen, mendadak berubah menjadi lautan lumpur. Warga Kampung Tubod-oug hanya bisa menyelamatkan diri dengan berlarian, meninggalkan rumah mereka yang diterjang air.
Lima dekade berselang, situasinya tak lebih baik. Utrechtsch Provinciaal en Stedelijk Dagblad pada 16 Februari 1877 mencatat bagaimana Ciliwung dan Krukut meluap hebat hingga menenggelamkan seluruh kota—baik yang di atas maupun di bawah. Di banyak sudut, air mencapai atap rumah. Tiga orang Eropa dilaporkan tewas—dan hanya mereka yang disebut namanya, memperlihatkan bagaimana bahkan dalam bencana pun bias sosial tetap hadir.
Kawasan elite juga tak luput. Dalam Java-Bode tertanggal 13 Maret 1885, banjir dari anak sungai Menteng meluber hingga Gang Scott di dekat Koningsplein (sekarang Lapangan Merdeka). Jalanan terendam setengah kaki, dan air juga menenggelamkan kebun-kebun di dataran yang lebih tinggi. Ini menjadi peringatan dini bahwa bahkan kota yang dibangun dengan fondasi segregasi sosial tak sepenuhnya mampu melindungi dirinya dari kehendak alam.
Pada pergantian abad, kolonialisme mencoba menawarkan solusi: modernisasi. Dibangunlah Bandjir-kanaal untuk menjinakkan Ciliwung. Tapi ketika banjir besar melanda lagi pada 1918, kanal itu gagal total. Seperti dicatat oleh Bataviaasch Nieuwsblad, muara kanal ternyata lebih rendah dari muka air sungai. Akibatnya, air hujan tak mengalir keluar, melainkan justru kembali menyerbu kota. Dan begitu seterusnya. Tahun 1942, bagian terendah Koningsplein kembali menjadi kolam coklat bergelombang. Tujuh tahun kemudian, rel trem amblas karena derasnya air. Berkali-kali kota mencoba berdamai dengan air lewat beton dan besi, tapi berkali-kali pula ia kalah oleh logika tanah basah dan arus lama yang enggan dilupakan.
Sejarawan lingkungan William Cronon pernah menulis dalam Nature’s Metropolis bahwa kota selalu tumbuh dengan cara menaklukkan alam. Tapi saat perencanaannya abai terhadap lanskap air, maka kota tersebut sejatinya sedang menyiapkan kehancurannya sendiri. Kita menolak membaca lanskap, menolak belajar dari sejarah, dan karena itu terus mengulangi kesalahan.
Yang paling menyayat justru terletak pada cara kota ini mengabaikan ingatannya sendiri. Dalam sebuah surat pembaca di Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 1 Februari 1916, seorang warga menggambarkan betapa dahsyat penderitaan warga setelah ia turun langsung menyaksikan kondisi korban banjir. “Mereka yang belum melihatnya tidak dapat membayangkan betapa besar penderitaan yang ditimbulkan oleh unsur penghancur ini,” tulisnya. Ia mengeluhkan betapa lambannya bantuan datang, penduduk—dari berbagai latar belakang—berjuang melawan air yang tak memberi ampun. Seratus tahun telah berlalu, dan nada getir itu masih terdengar akrab. Seolah dari masa lalu yang belum benar-benar pergi.
Hari ini pun, Jakarta terus membangun tanpa benar-benar belajar. Tanah-tanah yang dulu rawa kita padatkan dengan beton, sungai kita sempitkan, kanal kecil kita hilangkan. Kita memperlakukan air seolah ia bisa dilupakan, padahal ia menyimpan ingatan. Ia tahu ke mana ia pernah mengalir. Dan ia akan selalu kembali.
Karena itu, banjir bukan sekadar bencana tahunan. Ia adalah pesan dari kota—pengingat keras bahwa cara kita menata ruang selama ini sedang berkonflik dengan sejarah geologisnya sendiri. Dari arsip kolonial hingga breaking news di televisi, satu pesan tak pernah berubah: air akan selalu menemukan jalannya.
Jika kita tak juga mau belajar dari jejak panjang banjir Batavia, maka Jakarta akan terus tenggelam. Bukan hanya oleh hujan, tapi oleh warisan yang tak pernah kita urai. Kota ini bukan hanya dibangun di atas tanah basah, melainkan juga di atas ingatan yang terus digenangi.(*)
