Opini

Opini : Pahlawan

Ilustrasi Pahlawan. Foto : republika

Dr Encep Saepudin, SE, MSi

Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Semua orang adalah pahlawan. Minimal pahlawan bagi keluarga. Pahlawan sejati.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sejatinya seorang pahlawan banyak pengendaliannya. Mengekang syahwat. Mengendalikan nafsu.

Syahwat ingin berkuasa di mana saja. Dengan segala cara. Tiga periode. Atau, bahkan ingin seumur hidupnya. Seperti...

Syahwat ingin punya harta berlimpah. Dengan segala cara. Pesugihan cara basi. Kini berubah jadi manipulasi dan korupsi. Mirip...

Syahwat ini membentuk sifat culas. Juga suka beraksi curang dan intimidasi.

Karakter itu kagak tampak padamu, kawan. Sangat jauh. Hebat!

Begitulah Sang Pahlawan! Juga jauh dari aneka hawa nafsu.

Nafsu amarah. Nafsu yang membentuk diri sebagai pendengki, tamak, licik, dan serakah.

Nafsu lawamah. Nafsu yang merusak dirinya sendiri karena gampang putus asa, meratap masa lalu berlebihan, minder, senang menyalahkan diri sendiri dan orang lain.

Ketidakmampuan mengendalikan syahwat dan nafsu di atas digambarkan dalam tokoh wayang. Di antaranya Duryudana (antagonis dan pendengki), Dursasana (bengis), Sengkuni (licik dan haus kekuasaan), Rahwana (serakah dan kejam), dan Karna (penjilat).

Sifat-sifat yang jauh dari heroik. Justru yang digambarkan begitu adalah sang biang kerok.

Islam memerintahkan umat-Nya menjadi pahlawan. Wajib!

Pahlawan menegakan kebenaran. Juga, meruntuhkan kebatilan.

Sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran: 104, yang artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Orang model beginian banyak banget. Kamu-lah sebagai orang pilihan Tuhan untuk menyerukan firman-Nya itu.

Menjadi pahlawan tanpa pamrih. Ikhlas.

Di zaman serba medsos, kadangkala agak tersamar antara pahlawan sejati dan imitasi. Beda tipis.

Pahlawan sejati bertindak ikhlas dan tanpa pamrih. Kadang spontan. Namun lebih sering menyusun strategi dulu sebelum beraksi.

Sebaliknya pahlawan imitasi adalah berbuat baik dan lantas di-upload pada medsos. Ternyata untuk monetasi.

Huss... Tidak boleh berburuk sangka begitu.

Biarlah ikhlas dan riya itu urusan Sang Khalik. Kita sebatas memetik hikmah dari narasi dan aksi orang lain di medsos.

Ibu Pertiwi peduli pada Sang Pahlawan. Terbukti sudah memberikan gelar pahlawan kepada 209 orang selama periode 1959-2023, terdiri 190 laki-laki dan 16 perempuan. Belum termasuk 10 pahlawan baru di tahun 2025 ini.

Pahlawan kagak pernah merepotkan dirinya dan orang lain. Yang bikin repot diri dan orang lain dinamakan perusuh.

Perusuh banyak musuh. Musuh perusuh adalah pahlawan.

Ada segelintir orang kelihatan bak pahlawan, padahal perusuh. Model begini disebut penjilat. Penjilat merupakan orang-orang yang dibayar sehingga menjadi 'pahlawan' bagi perusuh.

Sekarang ini, banyakan pahlawan, perusuh, atau penjilat? Entahlah.

Menjadi pahlawan pun tetap harus menjaga kewarasan. Tidak seperti pahlawan imajiner karya film layar lebar, yang jumlahnya sekitar 80 ribu karakter berbeda.

Dresscode-nya sama. Manusia normal memakai pakaian dalam, barulah berbusana.

Pahlawan imaginer berkebalikan. Laki-lakinya ditampilkan sebagai sosok memakai legging sakti dulu, barulah memakai sempak.

Menjadi pahlawan wajib, menjaga waras adalah keharusan. (*)

Berita Terkait

Image

Opini : Plesir

Image

Opini : Pendidikan

Image

Opini : Oplosan

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image