Korupsi, Warisan Kolonial yang Tak Pernah Kita Putuskan

Oleh Yenny Narny
Dosen FIB Unand
Proyek BTS 4G semestinya menjadi tonggak pemerataan akses digital di pelosok negeri. Namun alih-alih membawa manfaat, proyek bernilai lebih dari Rp10 triliun itu justru disulap menjadi sumber keuntungan pribadi oleh segelintir elite kekuasaan. Johnny G. Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, dijatuhi vonis 15 tahun penjara karena terbukti menerima suap dalam kasus tersebut. Hukuman dijatuhkan, tapi kepercayaan publik yang tercabik tak serta merta pulih.
Belum hilang kemarahan itu, publik kembali diguncang oleh dugaan skandal keuangan di tubuh Pertamina. Nilainya mengejutkan: potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp194 triliun. Dua kasus besar yang muncul nyaris berdekatan ini mempertegas satu kenyataan pahit: korupsi di Indonesia bukan sekadar kejahatan, ia adalah gejala kronis dalam sistem yang gagal dibenahi dari akarnya.
Sering kali, narasi yang kita bangun terlalu sederhana: bahwa korupsi lahir dari moral individu yang lemah. Padahal, realitasnya jauh lebih rumit. Korupsi bukan muncul begitu saja. Ia disuburkan oleh struktur kekuasaan yang longgar, birokrasi yang tidak transparan, dan budaya impunitas yang terus-menerus dipelihara. Yang sering kita lupakan: semua itu punya sejarah.
Praktik korupsi bukan fenomena pasca-kemerdekaan. Ia telah ada sejak masa Hindia Belanda, ketika kekuasaan kolonial mengatur negeri ini dengan sistem yang membuka banyak celah penyimpangan. Surat kabar De Locomotief pada tahun 1874 mencatat bagaimana Van Lawick van Pabst, pejabat lelang, memalsukan identitas pembeli dan menerbitkan surat hutang fiktif untuk menutupi kekurangan kas negara. Setahun kemudian, di Batavia, seorang panitera pengadilan ketahuan menyunat setoran pajak tanah—kerugian negara mencapai ribuan gulden. Ironisnya, penyimpangan ini baru terbongkar setelah pelakunya meninggal.
Tahun 1875, Makassaarsch Handelsblad melaporkan penggelapan dana pensiun sebesar 80 ribu gulden di Semarang. Selama dua setengah tahun, seorang pegawai kas negara memalsukan dokumen tanpa terendus. Yang lebih mengherankan adalah pembiaran atasannya, yang tampak terlalu pasif untuk sekadar disebut lalai.
Modus korupsi semakin canggih memasuki abad ke-20. Di Makassar, Algemeen Handelsblad mengungkap kasus pejabat bea cukai yang meminjamkan dana negara kepada pengusaha Tionghoa dengan jaminan cek kosong. Di Menado, Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan praktik manipulatif seorang pegawai yang menyelewengkan dana pajak pemotongan hewan tepat saat serah terima jabatan.
Dan ketika republik berdiri, kita berharap sistem kolonial yang korup itu akan tergantikan dengan tata kelola yang lebih bersih. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Tahun 1953, De Locomotief memuat kasus insinyur Dinas Pekerjaan Umum di Magelang yang menggelapkan dana proyek pembangunan jembatan di Kali Elo. Di Jakarta, beberapa tahun kemudian, seorang pegawai Dinas Kebersihan memalsukan daftar lembur demi menyedot dana negara. Modus lama, wajah baru.
Semua ini menunjukkan pola yang konsisten dan mengkhawatirkan: korupsi di Indonesia adalah warisan sistemik yang bertahan dari satu rezim ke rezim lain. Ia tidak berhenti karena satu orang dihukum. Ia hanya bertransformasi, menyusup dalam sistem yang belum pernah benar-benar dibongkar.
Karena itu, korupsi bukan sekadar soal penindakan. Ia menyangkut soal keberanian kita menghadapi sejarah. Bahwa warisan kolonial tidak hanya berupa bangunan tua atau jalan lurus, tapi juga logika kekuasaan yang menyuburkan penyimpangan. Dan lebih menyedihkan, kita justru terus mereplikasi pola itu dalam sistem kita hari ini.
Jika kita benar-benar ingin keluar dari lingkaran ini, kita perlu lebih dari sekadar mengganti orang atau membuat undang-undang baru. Kita butuh kejujuran untuk mengakui bahwa sistem yang kita warisi rusak sejak dari asalnya, dan selama korupsi masih dianggap hal biasa yang bisa dinegosiasikan, bukan pengkhianatan terhadap amanah publik, maka jangan harap akan ada akhir dari siklus ini. Tahun akan berganti, kasus akan muncul kembali, tapi cerita intinya tetap sama: negara yang dikhianati dari dalam.(*)
