Opini

Luka Lama yang Belum Kering: Perdagangan Perempuan dari Kolonial ke Era Digital

Perbudakan masa kolonial di Batavia. Foto : Dok

Oleh: Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

Tanggal 22 Juni 2025, satu kabar mengejutkan datang dari Bareskrim Polri: 189 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhasil diungkap. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Mereka dikirim ke luar negeri secara illegal —ke Timur Tengah atau Asia Tenggara—dan dieksploitasi. Dipaksa bekerja tanpa upah, disekap, dan dijadikan objek kekerasan seksual (Bareskrim Polri, 2025). Tragis, ya. Tapi bagi mereka yang akrab dengan lembar-lembar sejarah, ini bukan kabar baru. Ini luka lama, yang belum pernah benar-benar sembuh.

Lebih dari seabad lalu, tepatnya 1 Februari 1904, surat kabar Soerabaijasch Handelsblad menyingkap praktik kelam yang nyaris terlupakan: perdagangan perempuan dari Djoewana, Jawa Tengah, ke Bangka. Pelakunya bukan orang asing—melainkan tokoh lokal sendiri. Kepala desa, kepala kampung, hingga kapiten Tionghoa bertindak sebagai “agen perekrut.” Iming-iming pekerjaan rumah tangga dijual pada keluarga miskin. Kenyataannya, para gadis itu dibarter seharga 25 sampai 30 gulden ke majikan Tionghoa di tambang timah (Soerabaijasch Handelsblad, 1904). Tanpa gaji, tempat tinggal tak layak, dan “kontrak kerja” setahun yang disahkan kepala desa jadi tameng kekerasan yang dilegalkan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Yang lebih memilukan, aparat kolonial ikut melegitimasi transaksi ini. Seorang asisten residen Eropa bahkan menyarankan agar surat persetujuan dibuat sedetail mungkin agar tak tampak seperti perbudakan (Bataviaasch Nieuwsblad, 1905). Selama ada dokumen, hukum seolah tak berdaya menghadang eksploitasi. Ini bukan dongeng kelam. Ini fakta sejarah yang dicatat rapi oleh media kolonial seperti Bataviaasch Nieuwsblad, De Locomotief, hingga Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië sepanjang awal 1900-an.

Dalam laporan yang sama, Dr. Pleyte, pejabat kesehatan di Bangka, mencatat bahwa banyak perempuan itu mengalami “kelelahan berat,” bahkan “kerap dijual kembali” (Het Nieuws van den Dag, 1904). Artinya, yang diperdagangkan bukan cuma tubuh, tapi juga martabat dan hak dasar sebagai manusia. Het Nieuws van den Dag bahkan menyebut praktik ini sebagai bentuk baru dari perdagangan perempuan—namun hukum tak mampu menjerat, karena semuanya dibungkus rapi dalam “persetujuan tertulis.”

Dan kini, lebih dari satu abad berselang, narasi itu berulang. Bedanya hanya pada medium dan modus. Jika dulu agen menggunakan perahu layar dan surat desa, sekarang mereka memakai media sosial, aplikasi pengiriman uang, dan jaringan penyalur tenaga kerja. Negara pun tetap hadir sebagai pemadam kebakaran—datang terlambat, setelah ribuan perempuan jatuh sebagai korban (Komnas Perempuan & Migrant CARE, 2024).

Satu benang merah paling nyata adalah soal dokumen. Dulu, korban dijebak lewat surat kontrak desa. Kini, visa kerja dan perjanjian magang berfungsi serupa: sebagai topeng legal yang menyamarkan perbudakan modern. Hukum kembali menjadi tameng bagi kekerasan struktural terhadap perempuan miskin.

Laporan Komnas Perempuan dan Migrant CARE belakangan ini mengungkap fakta menyedihkan: mayoritas korban TPPO berasal dari daerah-daerah yang sejak masa kolonial telah menjadi "lumbung tenaga perempuan murah"—NTT, NTB, dan Jawa Tengah (Komnas Perempuan & Migrant CARE, 2024). Seolah sejarah tak bergerak, atau lebih tepatnya: kita membiarkannya berulang.

Maka, cukup sudah menyebut ini “kejahatan luar biasa.” Lebih tepat bila kita menyebutnya warisan luar biasa dari kolonialisme—yang tak pernah kita bongkar. Perdagangan perempuan bukan sekadar persoalan hukum. Ia adalah cerminan struktur sosial-politik yang timpang dan dilanggengkan.

Jika media kolonial saja dulu berani mengungkap borok sistem, maka diamnya kita hari ini bukan sekadar kelalaian—itu adalah bentuk keterlibatan. Karena membiarkan praktik ini terus berlangsung, sama artinya dengan mewarisi kekerasan, bukan mengakhirinya. (*)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image