Tambang Batubara Ombilin: Riwayatmu Dulu
Oleh: Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
Tahun 1800 menjadi penanda dimulainya kolonialisme Belanda di Indonesia setelah VOC resmi dibubarkan setahun sebelumnya, yakni 1799. Meskipun masa VOC telah usai, kawasan Hindia Belanda (kini Indonesia) tidaklah terbebas begitu saja. Segala bentuk aktivitas pada masa VOC, diambil alih dan dikelola langsung oleh Pemerintah Belanda.
Mereka mengambil alih kontrol atas perdagangan, ekonomi, dan pemerintahan di wilayah-wilayah bekas jajahan VOC.
Tidak hanya itu, pada periode ini pula lah dampak Revolusi Industri mulai terasa di Indonesia, seiring dengan diperkenalkannya berbagai teknologi modern oleh Belanda, seperti transportasi dan pabrik bermesin uap yang digunakan sebagai penunjang aktivitas ekonomi dan kolonialisasi mereka di Nusantara. Penggunaan mesin uap tersebut memungkinkan proses produksi menjadi lebih efisien dan berskala besar, sehingga dapat membantu Belanda dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja.
Salah satu aspek yang sangat menonjol dari dampak penggunaan mesin uap ini adalah meningkatnya kebutuhan akan batubara sebagai bahan bakar utama untuk menggerakan mesin uap tersebut. Akibatnya, batubara menjelma menjadi komoditas penting sepanjang abad ke-19, tidak hanya bagi pemerintah Kolonial Belanda, namun juga bagi negara-negara di berbagai belahan dunia.
Hal inilah yang melatarbelakangi dimulainya berbagai ekspedisi Belanda untuk mencari sumber-sumber batubara termasuk di daerah-daerah di Indonesia, tak terkecuali pedalaman Sumatera.
Kisah perjalanan menemukan sumber Batubara di Sumatera ini dimulai ketika seorang ahli tambang berkebangsaan Belanda bernama C de Groot van Embden, memprediksi adanya kandungan Batubara di kawasan sepanjang aliran Batang Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat (Ichtisar Parlemen Nr. 96 Tahun 1954).
De Groot kemudian melakukan penelitian pertamanya di tahun 1858. Hampir sepuluh tahun setelahnya, penelusuran batubara ini dilanjutkan oleh W H de Greve atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. De Greve pun memulai ekspedisi besar-besaran pencarian batubara ke pedalaman Sumatera Barat dengan menelusuri aliran Batang Kuantan.
Namun, ekspedisi ini harus terhenti setelah insinyur Belanda tersebut tewas tenggelam akibat perahu yang ia naiki terbalik setelah mengadang arus Batang Kuantan yang deras di Nagari Doerian Gadang. Meskipun perjalanannya terhenti, ekspedisi de Greve menghasilkan temuan yang mencengangkan, dimana ia memperkirakan terdapat ratusan juta ton emas hitam yang terpendam di perut bumi Ombilin-Sawahlunto, pedalaman Sumatera Barat.
Hasil penelitian de Groot dan de Greve ini dilanjutkan oleh P van Diest yang pada akhirnya berhasil menentukan kualitas Batubara Ombilin. Penyelidikan yang lebih intensif pun dilakukan oleh R D M Verbeek pada 1875.
Diperkirakan, terdapat cadangan batubara sekitar 205 juta ton yang tersebar di daerah Sungai Durian, Sigalut, Lapangan Sugar, Tanah Hitam, dan Perambahan (Verbeek, 1875:12). Gubernur Jenderal Mijer dalam pidatonya memperkirakan jumlah batubara tersebut mencapai harga 4 miliar gulden. (De Locomotief, 1873).
Penemuan yang menakjubkan ini, mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun perusahaan tambang batubara pertama mereka di Asia Tenggara yang dinamai Landsbedriif de Oembilin Steenkolenonginning (SK Direktur van Verkeer, 2 Desember 1936). Perusahaan ini juga dikenal dengan nama Ombilin Mijnen atau Tambang Batubara Ombilin (TBO) dengan Ir W Godefroy (1891-1892) sebagai direktur pertamanya.
Pembangunan tambang batubara tersebut membawa perubahan besar bagi wilayah sekitarnya. Pertumbuhan industri pertambangan memicu perkembangan Kota Sawahlunto. Kota ini mulai berkembang dengan hadirnya infrastruktur pendukung seperti jalan, rel kereta api, perumahan, pelabuhan dan fasilitas umum lainnya. Pekerja tambang dan penduduk sekitar berbondong-bondong datang untuk mencari pekerjaan dan memanfaatkan peluang ekonomi yang tercipta, sehingga Sawahlunto berkembang menjadi salah satu pusat pertambangan batubara terbesar di Hindia Belanda.
Produksi batubara pun terus mengalami peningkatan. Tercatat jika jumlah batubara yang dihasilkan pada tahun 1893-1921 memperlihatkan gerakan fluktuatif dengan jumlah tertinggi mencapai lebih dari 600 ribu ton batubara (Narny, 2016: 48).
Ombilin Mijnen pun terus meraup keuntungan besar. Dilansir dari Sumatra-courant edisi 1 Februari 1873, sektor pertambangan menghasilkan keuntungan langsung bagi negara sebesar 3% dari produk bruto (Sumatra-Courant, 1873). Keuntungan terus meningkat terutama ketika permintaan pasar dunia melonjak tajam selama Perang Dunia I (Ichtisar Parlemen Nr 96 Tahun 1954).
Melihat kondisi yang menggiurkan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan untuk terus penelusuran kawasan di cabang-cabang Sungai Ombilin dan sekitarnya untuk mencari sumber-sumber cadangan batubara lebih luas. Kegiatan penelusuran ini terekam dalam berbagai surat kabar, salah satunya surat kabar Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad edisi 30 Juni 1869.
Namun, kondisi ini tidak terus berjalan dengan baik pada tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 1930, dunia mengalami The Great Depression (Krisis Ekonomi) yang menyebabkan penurunan besar dalam produk domestik bruto (PDB) di seluruh dunia. Penurunan nilai PDB yang signifikan ini memiliki dampak yang luas terhadap berbagai sektor industri di seluruh dunia, tak terkecuali sektor pertambangan Ombilin.
Tidak berselang lama lepas dari krisis ekonomi, Belanda berhasil dikalahkan oleh Jepang pada 1942. Sektor pertambangan terbesar di Asia Tenggara inipun beralih ke tangan Jepang dan berganti nama menjadi Hokkaido Tanko Kisen Kabushiki Kaisha (Sejarah Tambang Ombilin, DK.85, 1957).
Tidak ada peningkatan produksi batubara pada masa ini. Bahkan, grafik produksi terus menurun setiap tahunnya. Hingga masa akhir pendudukan Jepang. Angka produksi hanya mencapai sekitar 50 ribu ton saja pada tahun 1945 (Realisasi Produksi Batubara UPO Periode 1892-2015).
Pada masa kemerdekaan, tahun 1945 hingga 2010, perusahaan tambang Ombilin telah beberapa kali berubah bentuk. Awal tahun 1950-an, Tambang Batubara Ombilin (TBO) resmi dikelola oleh pemerintah dengan nama Perusahaan Negara Tambang Batubara Ombilin (PN TBO). Namun, dikarenakan penurunan jumlah produksi dalam rentang tahun 1967-1968, Pemerintah
sempat menutup perusahaan sementara waktu (Angkatan Bersenjata, 27 Juli 1967).
Dua tahun setelahnya, perusahaan tambang dibuka kembali dengan statusnya berubah menjadi Unit Produksi Ombilin di bawah pengawasan PN Tambang Batubara (PN TABA) bersama dengan Unit Produksi Mahakam. Tahun 1984, status unit kembali berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) TBO dengan tugas tak hanya mencari kandungan batubara di Sawahlunto namun juga di seluruh Indonesia.
Tak berselang lama, status perusahaan ini diubah kembali pada tahun 1990 menjadi Unit Pertambangan Ombilin di bawah manajemen PT Bukit Asam (PT BA) dan terus bertahan hingga kini. Berada di bawah kendali PT Bukit Asam, produksi Batubara mencapai angka tertinggi pada tahun 1995 dengan angka produksi tembus 1,2 juta ton lebih.
Akan tetapi, produksi batubara terus mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya cadangan batubara di bumi Ombilin dan munculnya permasalahan lain seperti berjamurnya Pertambangan Tanpa Izin (PETI) serta biaya pengembangan tambang bawah tanah yang tinggi. Meski telah diusahakan berbagai cara agar kembali beroperasi seperti dahulu, produksi pertambangan ini akhirnya benar-benar terhenti pada tahun 2012 (Narny, 2016).
Meskipun masa kejayaan batubara Ombilin telah usai dan sempat ditinggalkan oleh penduduknya untuk bekerja di luar daerah, Pemerintah Kota Sawahlunto dan PT Bukit Asam UPO berupaya untuk menghidupkan kembali kota dengan menjadikan Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang. Keberadaan lubang-lubang tambang serta sisa-sisa dari berbagai infrastruktur pendukung pertambangan menjadi bukti nyata dari warisan sejarah revolusi indutri yang tidak dapat ditemukan di kota-kota lainnya di Sumatera Barat.
Dengan mengunjungi kota Sawahlunto, pengunjung akan mendapatkan pengalaman yang unik dengan menjelajahi gua-gua tambang, melihat replika mesin-mesin pertambangan, dan mendengarkan cerita-cerita tentang perjuangan pekerja tambang.
Pengakuan sebagai Warisan Dunia UNESCO pada 2019 adalah penghargaan atas nilai sejarah dan budaya dari Tambang Batubara Ombilin tersebut. Adanya penghargaan ini menempatkan Sawahlunto sebagai destinasi bersejarah global yang patut dilestarian dan dipelajari. Namun, terdapat tantangan dalam menjaga dan melestarikan warisan tersebut, terutama dari penambang-penambang liar yang merusak lingkungan dan meresahkan masyarakat.
Pemerintah haruslah meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas penambangan ilegal serta menjaga lingkungan dan keselamatan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah tidak hanya melindungi sejarah dan budaya lokal tetapi juga menciptakan peluang untuk pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, menjadikan warisan ini sebagai sumber inspirasi dan pengetahuan bagi generasi mendatang.(*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan mengirim tulisan atau menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected].
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika