Opini

Kiriman Banjir dari Puncak Tri Arga pada Akhir Abad ke 19

Gunung Marapi yang merupakan bagian dari Tri Arga menyebabkan banjir pada tahun 1882. Ilustrasi. Foto : republika

Oleh : Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

Tri Arga adalah gelar yang disematkan kepada tiga buah gunung api yang ada di Sumatera Barat yakni, Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat yang bermakna sebagai penyangga langit Minangkabau. Tiga buah gunung yang memiliki letak berdekatan ini lah yang disebut-sebut telah menggelontorkan sejumlah besar air dari wilayah puncaknya sehingga terjadi banjir besar di sejumlah tempat di Sumatera Barat baru-baru ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Hal ini tentunya bukanlah yang pertama, sebab ketiga gunung tersebut tercatat pernah menyebabkan sejumlah musibah banjir di masa lalu dengan berbagai penyebab, mulai dari adanya longsor di wilayah puncak gunung maupun akibat adanya akumulasi endapan material vulkanik yang akhirnya menyebabkan banjir lahar dingin ketika turun hujan lebat seperti yang baru-baru ini terjadi.

Jika kita menelusuri berbagai catatan sejarah yang ada pada masa kolonial, khususnya pada akhir abad ke 19, kita dapat menemukan beberapa catatan mengenai musibah banjir yang diakibatkan oleh ketiga gunung tersebut. Beberapa di antaranya akan dibahas dalam tulisan berikut ini.

Banjir dari Gunung Marapi Tahun 1881
Gunung api yang cukup aktif ini pernah tercatat mengakibatkan sebuah banjir besar pada akhir tahun 1881. Akibatnya timbul sejumlah korban jiwa dan kerugian materiil yang cukup besar. Peristiwa tersebut salah satunya diberitakan oleh surat kabar Makassaarsch Handelsblad edisi 27 Januari 1882.

Di situ disebutkan bahwa sebuah banjir besar telah terjadi pada malam hari tanggal 18-19 Desember di tahun sebelumnya. Banjir tersebut dipicu oleh turunnya hujan lebat sehingga menyebabkan sejumlah wilayah di Fort de Kock atau Bukittinggi dilanda banjir.

Dalam sejumlah laporan awal yang dirilis oleh sejumlah surat kabar pada masa itu, dikabarkan jumlah korban jiwa akibat banjir kemungkinan mencapai lebih dari 100 orang (Sumatra Courant, 27 Desember 1881). Namun dalam laporan resmi yang ditulis oleh Controleur Oud Agam tertanggal 28 Desember 1881 disebutkan bahwa jumlah korban jiwa akibat banjir adalah 37 orang dengan rincian 33 orang di daerah Lassi dan 4 orang di daerah Baso. Sementara itu 3 orang di Lassi juga dikabarkan menghilang dan jenazahnya masih belum ditemukan (Opregte Haarlemsche Courant 15 Maret 1882).

Banjir tersebut tak hanya berupa air saja namun juga diikuti dengan sejumlah besar lapisan pasir tebal, lumpur, batu-batuan hingga batang pohon. Sehingga dampak yang ditimbulkan oleh banjir tersebut jauh lebih berbahaya ketimbang banjir biasa.

Sementara itu dalam laporan lebih lanjut disebutkan bahwa selain hujan deras, berdasarkan investigasi masyarakat kemungkinan besar banjir juga disebabkan karena terjadinya longsor di dekat puncak Marapi, tepatnya di sebuah lembah yang terhubung dengan aliran air terjun yang disebut dengan Sarasah Bungsu.

Selain di daerah Lassi dan Baso, sejumlah wilayah di Laras Ampat Angkat (Ampek Angkek) seperti Balai Gurah, Sitapung, Kota Tua, dan Batu Taba juga terkena dampak yang amat parah akibat banjir. Bahkan wilayah Ampat Angkat dilaporkan menerima dampak kerusakan lahan pertanian (sawah) yang paling parah akan tetapi tidak ada korban jiwa yang dilaporkan di sana.

Banjir Lahar Dingin dari Gunung Tandikat Tahun 1889
Popularitas Gunung Tandikat atau Tandikek mungkin tidak sepopuler Gunung Marapi dan Gunung Singgalang yang lebih terkenal di kalangan para pendaki gunung maupun masyarakat awam. Namun keberadaan gunung yang juga dikenal sebagai saudara kembar Gunung Singgalang tersebut jelas tak dapat diabaikan. Terlebih Gunung Tandikat masih berstatus sebagai salah satu gunung api aktif yang perlu diwaspadai jika sewaktu-waktu meletus.

Gunung Tandikat sendiri terakhir kali meletus pada tahun 1914 dan 1889. Meskipun tidak ada korban jiwa yang dilaporkan akibat dua letusan tersebut namun terusan tahun 1889 sempat menimbulkan bencana lahar dingin yang menyebabkan timbulnya sejumlah kerugian bagi masyarakat.

Semuanya bermula dari letusan Gunung Tandikat pada tanggal 19-20 Februari tahun 1889 dimana terlihat dengan jelas semburan api dan asap dari puncak gunung serta diikuti oleh getaran gempa dan suara dentuman (Bataviaasch Handelsblad, 27 Februari 1889). Letusan tersebut bahkan dapat disaksikan dari wilayah Danau Singkarak. Akibatnya masyarakat di sekitar lereng gunung dikabarkan harus mengungsi ketempat yang lebih aman (Sumatra Courant 23 Februari 1889).
Aktivitas

Gunung Tandikat sejak bulan Februari tahun itu kemudian menghasilkan banjir lahar dingin pada bulan Desember tahun yang sama. Dikabarkan bahwa aktivitas gunung Tandikat kembali meningkat pada tanggal 4 Desember. Kemudian pada keesokan harinya terdengar suara bergemuruh yang diikuti dengan keluarnya aliran lumpur dari Gunung Tandikat yang dengan segera memenuhi sebagian besar bandar sawah di Nagari Singgalang serta menghanyutkan sebuah jembatan (De Locomotief, 11 Februari 1890).

Banjir dari Gunung Singgalang 1892
Jalur kereta api yang melalui wilayah lembah anai baru saja selesai dibangun pada tahun 1891. Namun proyek prestisius yang dibangun untuk menghubungkan wilayah pedalaman Sumatera Barat dengan wilayah pesisir tersebut harus mengalami kerusakan yang amat parah satu tahun kemudian akibat diterjang oleh banjir besar. Hal ini kemudian menimbulkan kerugian materiil yang amat besar dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat Minangkabau saat itu.

Berdasarkan surat kabar De Locomotief edisi 7 Januari 1893, banjir yang terjadi pada bulan Desember tahun sebelumnya tersebut diakibatkan oleh adanya longsor di lereng barat dan barat daya gunung kembar Singgalang-Tandikat. Akibat banjir tersebut wilayah Lembah Anai mengalami kerusakan parah. Hal ini termasuk jalur kereta api yang baru saja selesai dibangun pada tahun sebelumnya.

Menurut berita dari De Locomotief, di Lembah Anai terjadi terjadi kerusakan besar-besaran pada jalan pos, terutama di daerah Kampung Tangah dan Kandang Ampat yang mengalami kerusakan paling parah. Tiga buah jembatan besi yang menopang jalur kereta api juga ikut mengalami kerusakan sehingga praktis wilayah Lembah Anai tidak dapat dilalui oleh kendaraan apapun sehingga terputus lah satu-satunya jalur yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman Sumatera Barat saat itu.

Dampak yang ditimbulkan akibat terputusnya jalur transportasi di lembah anai tersebut jelas amat merugikan masyarakat. Bahkan berdasarkan laporan Bataviaasch Handelsblad edisi 5 Januari 1893, harga-harga sayuran di Kota Padang meningkat hingga tiga kali lipat. Barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya kemudian juga ikut mengalami kenaikan harga secara proporsional.

Kiriman banjir dari puncak Tri Arga pada akhir abad ke-19, yang melibatkan Gunung Marapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Tandikat di Sumatera Barat, mengakibatkan serangkaian bencana yang berdampak signifikan pada masyarakat dan infrastruktur. Fenomena banjir ini tidak hanya dipicu oleh curah hujan yang tinggi tetapi juga oleh aktivitas vulkanik dan longsor, seperti yang tercatat dalam berbagai laporan kolonial dari periode tersebut.

Musibah yang pernah terjadi di masa lalu seharusnya menjadi pelajaran bagi kita hidup saat ini. Jika saja masyarakat dan pemerintah mau belajar dari sejarah masa lampau kita seharusnya dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh banjir yang datang dari daerah pegunungan sebab pada dasarnya aliran air dan wilayah-wilayah yang terdampak umumnya tidak banyak berubah dari tahun ke tahun.Sayangnya hal ini tidak dilakukan sehingga masyarakat kita bebas saja membangun rumah ataupun bangunan-bangunan lainnya di daerah yang acap kali diterjang oleh banjir dari pegunungan sehingga kerugian harta benda dan hilangnya nyawa manusia terus menerus terjadi. (*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan mengirimkan tulisan, menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected].

Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika