Memuliakan Hak Anak: Kunci Meningkatkan Kualitas Bangsa
Risni Julaeni Yuhan
Dosen Politeknik Statistika STIS, BPS
Anak dengan seperangkat haknya merupakan hal yang tidak terpisahkan dari masyarakat, harus diakui, dihormati, dan dipenuhi di ruang publik. Memuliakan hak anak bukan hanya sebuah kewajiban moral, tetapi juga merupakan fondasi bagi pembangunan sosial yang inklusif dan berkelanjutan.
Hak anak sama pentingnya dengan hak manusia dewasa, dan pemenuhan dengan cara menciptakan lingkungan kondusif yang ramah anak adalah sebagai keharusan, bukan sebagai pilihan. Oleh karena itu sudah seyogyanya masyarakat memahami bahwa hak yang diberikan kepada setiap anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Keberadaanya wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua sebagai lingkungan yang pertama dan utama.
Memahami hak anak dapat dimulai dengan memahami definisi anak dan hak-haknya. Menurut Konvensi Hak Anak PBB dan WHO, anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum suatu negara. Semua anak memiliki semua hak yang disebutkan di dalam Konvensi ini, terdiri dari empat prinsip, antara lain non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan partisipasi anak (Nurusshobah, 2019).
Pemenuhan hak anak bukan hanya tanggung jawab keluarga atau negara, tetapi sebuah kewajiban bersama seluruh umat manusia. Pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, dan hak untuk berbicara dan didengar adalah hak-hak dasar yang perlu dipenuhi dalam mewujudkan generasi emas berkualitas di tahun 2045.
Dalam konteks teologi, agama tentunya juga tidak luput memperingatkan bahwa anak memiliki posisi dan hak penting dalam kehidupan. Agama menjamin hak hidup anak dan menjamin rezekinya sebagaimana tercermin dalam Aquran (Al isra: 31), hak mendapatkan Pendidikan yang layak (Attahrim: 6), hak memperoleh ASI (Albaqarah:233) dan selain ayat tersebut masih banyak lagi yang menjelaskan terkait keutamaan hak seorang anak.
Selain itu, dalam Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989 dan dijamin Undang-Undang Indonesia No. 23 Tahun 2002 ditegaskan bahwa hak-hak anak meliputi hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, serta perlindungan khusus anak. Bahkan jaminan terbaru akan kesejahteraan anak telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Isu Strategis Hak Anak
Pemenuhan hak atas anak merupakan salah satu isu strategis yang harus mendapatkan perhatian khusus di Indonesia, karena saat ini masih banyak kasus pengabaian atas hak anak yang terjadi di Indonesia. Dalam bidang pendidikan, pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan yang layak seperti Program Wajib Belajar 12 Tahun dan Program Indonesia Pintar. Namun dalam implementasinya masih dihadapkan pada banyak kendala yang harus segera diatasi.
Salah satu kendala yang harus segera ditangani antara lain adanya disparitas akses antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta kualitas pendidikan yang belum merata. Hal ini dapat dilihat berdasarkan capaian indikator Pendidikan berdasarkan BPS 2023 angka partisipasi sekolah (APS) dengan usia 7-18 Tahun masih belum mencapai 100 persen. Adapun APS 2023 terendah berada pada kelompok usia 16-18 Tahun yaitu 73,42 persen.
Contoh kasus lain adalah pemenuhan hak anak dalam jenjang Pendidikan anak usia dini/PAUD (0-6 Tahun) yang masih tergolong rendah. Menurut data BPS tahun 2023 hanya mencapai angka 27,38 persen. Meskipun PAUD di Indonesia belum menjadi pendidikan wajib secara hukum, tetapi sangat dianjurkan dan didukung oleh berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah sebagai bentuk pemenuhan terhadap hak anak.
Melalui PAUD maka anak-anak berusia 0-6 tahun mendapatkan stimulasi awal yang penting bagi perkembangan fisik, emosional, sosial, dan kognitif anak. Selain itu ada catatan khusus dalam Pendidikan inklusi, dimana penyelenggarannya masih sangat terbatas dalam hal implementasi, sehingga anak-anak khusus istimewa ini belum merata mendapatkan hak Pendidikan..
Dalam aspek kesehatan anak juga menjadi fokus utama dalam pemenuhan hak di Indonesia. Salah satunya isu penting yang bahkan menjadi perioritas capaian pemerintah adalah masalah stunting dan malnutrisi. Prevalensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,5 persen (SKI 2023), artinya bahwa pemenuhan hak anak dalam bidang kesehatan masih memerlukan upaya yang lebih intensif.
Selain itu terdapat Indikator lain yang perlu mendapat perhatian lebih seperti pemenuhan imunisasi dasar lengkap sebanyak 35,8 persen dan tidak imunisasi masih ada 7,3 persen (SKI,2023), masih belum terpenuhinya sacara utuh pemberian ASI eksklusfi, pemenuhan makan dengan gizi seimbang dan lainnya sebagai variable indicator terpenuhinya sayarat kesehatan sebagai hak anak.
Perlindungan Anak
Dalam kehidupan sehari-hari, anak seringkali menjadi objek kekerasan di masyarakat, baik dilakukan dengan sadar ataupun tidak melalui kekerasan fisik, verbal, psikologis dan lain sebagainya. Oleh karena itu, aspek perlindungan anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi juga wajib menjadi perhatian utama. Menurut menurut WHO tahun 2018, berbagai bentuk kasus kekerasan anak mencakup penganiayaan (termasuk hukuman kekerasan), kekerasan seksual, bullying (termasuk cyber-bullying), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan emosional dan psikologis, serta penelantaran dan eksploitasi ekonomi.
Selain itu berdasarkan infomasi data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diperoleh atas dasar pengaduan kasus dari kluster Pemenuhan Hak Anak (PHA) menunjukan bahwa kasus tertinggi justru terjadi pada lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif dengan persentase Kasus mencapai 57,4 persen. Kasus ini menjadi perhatian KPAI karena ternyata justru penyimpangan banyak terjadi di lingkunga terdekat anak yaitu keluarga. Indikasi ini ditunjukan dengan beberapa jenis kasus yang disebabkan oleh konflik orang tua atau keluarga seperti pelarangan akses anak untuk bertemu orang tua dan anak yang tidak terpenuhi hak nafkahnya.
Jenis kasus pemenuhan hak anak seperti itu terjadi karena adanya perceraian orang tua. Ibu yang terbebani harus memerankan sebagai ayah dan ibu bagi anak, dengan kondisi harta bersama telah habis dibagi. Akhirnya anak menjadi korban dengan hanya mendapatkan jaminan nafkah tertulis dalam angka suatu putusan yang pelaksanaannya belum terjamin. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap hak-hak anak pasca perceraian membutuhkan regulasi khusus, seperti diberikan hak kepada anak atas harta bersama orang tuanya tersebut yang hendak dibagikan.
Sedangkan pengaduan untuk klaster Perlindungan khusus anak (PKA) mayoritas berasal dari Anak Korban Kejahatan Seksual dengan persentase 13,5% Kasus. Jenis kasus ini sangat memprihatinkan karena hampir setiap hari ada aduan terkait anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Diyah Puspitarini Komisioner KPAI pada April 2024.
Hak lainnya yang belum terpenuhi dalam mewujukan kesejahteraan anak adalah tersedianya ruang bermain layak anak. Meski dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki situasi ini, misalnya dengan mengembangkan ruang bermain yang lebih baik dan lebih banyak, seperti di DKI Jakarta yang telah mengembangkan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Namun, masih banyak kota yang belum mencanangkan hal serupa dan anak-anak masih harus bermain di tempat-tempat yang tidak seimbang.
Dengan gambaran pemenuhan beberapa hak anak yang masih terus diperbaiki dan belum optimal, maka untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih baik diperlukan langkah strategis dengan upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan dari semua pihak untuk meningkatkan pemenuhan hak anak di Indonesia. Upaya yang dilakukan seiring dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak yang menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan dukungan moral, mental, sosial dan spiritual.
Pemenuhan Hak Anak Untuk Bangsa Berkualitas
Memuliakan hak anak dilakukan dengan upaya maksimal dalam pemenuhan haknya yang tidak semata-mata menjadi kewajiban orang tua sebagai lingkungan terdekat, melainkan menjadi tugas bersama keluarga, masyarakat, negara, pemerintah pusat hingga daerah yang harus turut berperan dan memikirkan langkah strategis dalam memenuhi segala hak yang perlukan oleh anak-anak.
Salah satu poin utama yang harus dipahami semua pihak adalah adanya kesadaran bahwa anak-anak merupakan asset. Generasi dimasa mendatang yang perkembangannya akan menentukan bagaimana masa depan bangsa ini akan berjalan. Membangun kesadaran dan kepedulian ini dapat dijalankan dengan mengadakan kampanye secara terus menerus diberbagai ruang sosial nyata dan melibatkan semua platform media sosial sehingga dapat menjangkau audiens lebih luas.
Beberapa strategi nyata dan praktis dalam pemenuhan hak anak sebagai langkah mewujudkan bangsa berkualitas yang dapat dilakukan dan dapat dikawal bersama salah satunya adalah dengan penguatan program PAUD dalam hal pendidikan anak di usia dini. Langkah konhkritnya menyediakan fasilitas yang terjangkau dan mudah diakses di setiap desa/kelurahan, serta meningkatkan kualitas guru PAUD melalui pelatihan dan sertifikasi.
Selain itu, penting melibatkan stakeholder dalam masyarakat termasuk TNI/POLRI dalam memastikan dan mengawasi bahwa setiap anak mendapatkan akses pendidikan 12 tahun tanpa terkendala biaya. Oleh karenanya pemerintah ataupun swasta harus lebih adaptif dan akomodatif dalam hal penyelenggaraan Pendidikan sehingga tidak memberatkan masyarakat.
Dalam hal kesehatan, peningkatan layanan kesehatan dan gizi dapat dilakukan dengan membangun atau mengembangkan puskesmas yang ramah anak dan mengadakan edukasi serta kampanye kesehatan untuk meningkatkan kesadaran orang tua tentang pentingnya gizi seimbang bagi tumbuh kembang anak. Pemenuhan akan gizi tidak hanya diawasi di lingkungan keluarga saja, melainkan sekolah pun turut didorong untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi di kantin sekolah.
Dalam hal kekerasan, langkah preventif dalam perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi tentang anti kekerasan dan hak-hak anak ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini sangat mungkin dilakukan dalam prinsip penerapan kurikulum merdeka. Selain itu dapat didukung dengan adanya pelatihan bagi guru dan staf sekolah tentang cara mendeteksi dan menangani kasus kekerasan terhadap anak.
Pada lingkup masyarakat dan komunitas dapat berperan serta membentuk forum anak di tingkat desa atau kelurahan yang memungkinkan anak-anak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Melibatkan anak-anak dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di komunitas, membangun taman bermain dan ruang terbuka hijau yang aman dan nyaman bagi anak-anak di setiap lingkungan. Mendukung komunitas lokal untuk menyelenggarakan kegiatan seni, olahraga, dan sains yang melibatkan anak-anak.
Dalam hal pengayoman dan payung hukum, demi memastikan terpenuhinya hak anak, pemerintah harus menyiapkan regulasi yang jelas dan tidak tumpang tindih termasuk perihal terkait keluarga atau orang tua yang rentan konflik dan berdampak pada tidak terpenuhinya hak anak. Sebagai contoh adalah tentang harta bersama orang tuanya baik yang bercerai ataupun meninggal dunia.
Sebagai upaya bersama, terakhir yang harus diperkuat dalam hal pemenuhan hak-hak anak adalah perlunya sinergi antara pemerintah dan lembaga masyarakat dalam implemntasi dan kontrol terhadap regulasi dan program-program perlindungan atas hak anak. Karena dengan upaya tersebut akan terbangun kohesivitas komunitas dalam masyarakat sehingga akan lebih mudah melakukan aksi-aksi nyata dalam mewujudkan hak anak.
Pemberdayaan yang dilakukan akan lebih mengakar dengan mengembangkan kemandirian dan modal sosial di lingkungannya. Upaya berkelanjutan dan komitmen yang kuat menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak Indonesia yang berkualiatas.
Risni Julaeni Yuhan
Mahasiswa Program Doktor Studi Kependudukan UGM
Pemerhati Kesejahteraan Keluarga Berbasis Gender
Ketua Bidang Pendidikan dan Penelitian PPNA
Ketua Departemen Kesejakteraan Sosial PP Himpaudi