Opini : Catatan Sejarah Bencana Vulkanik di Maluku Utara
Oleh : Yenny Narny
Dosen FIB Universitas Andalas (Unand)
Maluku Utara merupakan salah satu wilayah dengan aktivitas vulkanik tertinggi di Indonesia. Meskipun luas daratannya hanya 33.278 km², provinsi ini memiliki lebih dari 10 gunung berapi, banyak di antaranya masih aktif hingga sekarang.
Situasi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Pulau Sumatra yang memiliki luas sebesar 473.481 km² tetapi memiliki jumlah gunung berapi yang hampir sama, menunjukkan betapa padatnya konsentrasi aktivitas vulkanik di Maluku Utara.
Tingginya frekuensi aktivitas vulkanik ini erat kaitannya dengan kondisi geologis Maluku Utara yang terletak di zona subduksi ganda, di mana bagian timur lempeng Laut Maluku menujam ke bawah bagian barat lempeng Halmahera. Proses subduksi ini membentuk gugusan pegunungan aktif di sepanjang zona tersebut, yang membentang dari Utara ke Selatan.
Di antaranya seperti Gunung Makian (Kie Besi) dan Gunung Gamkonora di Pulau Halmahera, serta Gunung Gamalama di Pulau Ternate. Gunung-gunung ini tidak hanya membentuk lanskap geologi tetapi juga berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Gunung Makian, Halmahera Selatan, menjadi salah satu gunung berapi paling aktif dan memiliki sejarah letusan yang merusak. Gunung yang juga dikenal sebagai Gunung Kie Besi ini berada di sebuah pulau di barat Pulau Halmahera, sekitar 50 km di selatan Kota Ternate.
Sepanjang sejarahnya, Gunung Kie Besi telah mengalami setidaknya 10 erupsi yang tercatat, dengan skala VEI 3-4 terjadi pada tahun 1550, 1646, 1760, 1861, dan 1988. Periode erupsi yang panjang ini sering dianggap oleh peneliti sebagai siklus 100 tahunan yang "mematikan", dengan salah satu letusan terhebat terjadi pada 19-21 Juli 1646.
Letusan tahun 1646 adalah salah satu yang paling dahsyat dan terdokumentasi dengan baik. Menurut catatan Arthur Wichmann pada tahun 1918, letusan tersebut mengakibatkan gunung di Pulau Makian terbelah dengan suara gemuruh mengerikan disertai gempa bumi yang kuat. Api yang keluar dari celah tersebut membakar beberapa kampung beserta penduduknya.
Pada tahun 1685, celah besar tersebut masih terlihat dan dikenal dengan nama “L'Ornière de Machian”. Rumphius, seorang botani asal Jerman, juga mencatat bahwa letusan ini mengakibatkan sepertiga dari pohon Nagul tumbang dan menimbulkan penyakit besar di pulau tersebut
Gunung Gamkonora di Halmahera Barat juga memiliki catatan sejarah letusan yang merusak. Gunung ini dikenal karena erupsi eksplosifnya yang sering disertai dengan aktivitas seismik kuat. Letusan terbesar Gunung Gamkonora terjadi pada 20 Mei 1673, tepat sehari sebelum Hari Pentakosta, sebuah hari besar umat Kristiani yang merupakan bagian dari rangkaian perayaan Paskah.
\
Menurut data Global Volcanism Program dari Smithsonian Institution, Indeks Daya Ledak Vulkanik (Volcanic Explosivity Index atau VEI) letusan ini mencapai skala 5, menunjukkan bahwa letusan tersebut sangat besar, eksplosif, dan berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekitar gunung.
Letusan yang diikuti oleh gempa bumi hebat ini menghancurkan semua desa di sekitarnya, merobohkan bangunan akibat guncangan gempa dan tertimbun abu vulkanik dalam jumlah besar. Korban jiwa pun tak terelakkan. Schouten dkk (1756) menyebutkan bahwa penduduk yang tewas akibat peristiwa ini mencapai ribuan jiwa.
Daerah terdampak gempa dan abu vulkanik juga meluas hingga ke pulau-pulau tetangga dalam radius seratus mil, seperti Manado, Siau, Sangir, dan Mindanao. Di daerah-daerah tersebut, guncangan gempa terasa kuat dan banyak desa yang juga tertutup abu setebal satu kaki (F. Valentijn, 1724).
Selain kerusakan fisik, abu vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Gamkonora menutupi langit hingga membuat suasana saat itu menjadi sangat gelap. Akibatnya, orang-orang mengalami kesulitan untuk melihat objek-objek di sekitar mereka.
Tebalnya abu vulkanik juga menyebabkan kapal-kapal dagang Belanda seperti Fluitje dan Sandlooper tertahan dan tidak dapat bergerak menuju Manado (F. Valentijn, 1724). Selain itu, peristiwa ini memicu gelombang tsunami yang tinggi dan memaksa masyarakat serta ternak mencari perlindungan di tempat yang lebih tinggi (Schouten dkk, 1756).
Selain kedua gunung tersebut, Gunung Gamalama juga merupakan salah satu gunung api paling aktif di Maluku Utara. Tercatat, sejak tahun 1500 hingga 2018, gunung ini telah mengalami 87 letusan dengan skala VEI berkisar antara 1-3 (Global Volcanism Program, Smithsonian Institution). Gunung yang terletak di Pulau Ternate ini masih aktif hingga kini dan berpotensi menimbulkan bencana secara tiba-tiba kapan saja.
Letusan terbesar yang pernah tercatat terjadi pada tahun 1673, saat Ternate berada di bawah penguasaan VOC. Letusan tersebut sangat dahsyat, mengakibatkan kerusakan parah dan menewaskan banyak orang.
Valentijn (1724) menyebutkan bahwa pada masa itu, gunung ini sangat aktif dan terus memuntahkan abu serta batu-batu hingga terlihat dari Ambon. Letusan ini disertai dengan angin kencang dan hujan deras, yang menyebabkan kerusakan di kebun-kebun dan menyebarkan ketakutan di kalangan penduduk.
Selain itu, letusan tersebut juga diikuti dengan gempa bumi yang kuat, mengakibatkan sebagian besar rumah batu runtuh dan tanah terbelah di berbagai tempat. Abu vulkanik juga mencemari udara, menyebabkan banyak masyarakat jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Akibat peristiwa ini, banyak pejabat Belanda tidak mau menjadi Gubernur Ternate lantaran takut kehilangan nyawa, sehingga Pemerintah Tinggi Hindia Belanda di Batavia kesulitan menentukan siapa yang akan memegang posisi tersebut.
Ketiga gunung yang disebutkan di atas hanya sebagian dari banyaknya gunung berapi aktif di Maluku Utara yang memiliki sejarah letusan berdampak besar. Maluku Utara, dengan konsentrasi aktivitas vulkanik yang tinggi, seperti dikelilingi oleh "bom waktu" yang dapat meledak kapan saja, menjadikan upaya pemantauan dan mitigasi bencana sangat penting untuk melindungi keselamatan masyarakat.
Pengetahuan tentang sejarah letusan dan dampaknya sangat membantu dalam perencanaan dan kesiapsiagaan bencana. Pendidikan mengenai kesiapsiagaan harus ditingkatkan, dan upaya mitigasi seperti memperkuat infrastruktur, membangun jalur evakuasi, serta menyediakan tempat perlindungan sementara perlu diprioritaskan.
Kerja sama antara pemerintah daerah, pusat, dan lembaga internasional juga esensial untuk mengatasi ancaman vulkanik ini secara holistik. Dengan langkah-langkah tersebut, risiko bencana dapat diminimalisir, dan keselamatan warga Maluku Utara dapat lebih terjamin. (*)