Orang Belanda di Bukittinggi : Mengubah Nagari Menjadi Kota
Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
Bukittinggi merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Sumatera Barat. Kota yang dibangun oleh Belanda pada masa penjajahan ini terus berkembang menjadi kota modern yang kental dengan adat budaya Minangkabau, berbaur dengan bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang masih berdiri tegak memperkaya keindahan lanskap kota yang dijuluki Paris van Sumatra ini.
Dahulu, Bukittinggi merupakan bagian dari salah satu nagari di Luhak Agam yang bernama Nagari Kurai Limo Jorong. Pada saat kedatangan Belanda, perang antara kaum ulama dan kaum adat berkecamuk di pedalaman Minangkabau, termasuk di Nagari Kurai Limo Jorong. Belanda memanfaatkan pertikaian antara kaum adat dan ulama untuk menguasai wilayah Sumatera Barat. Belanda kemudian bekerja sama dengan Penghulu Nagari Kurai untuk memerangi ulama. Atas perjanjian kerja sama ini, Belanda mendapat izin untuk meminjam atau membeli tanah Nagari Kurai untuk membangun benteng, rumah-rumah pemerintahan sipil, dan kebutuhan perang lainnya tanpa batas waktu yang ditentukan. (Hadjerat, 1947)
Bukit Jirek menjadi daerah pertama yang ‘dipinjamkan’ kepada Belanda (Hadjerat, 1947). Di Bukit ini, Belanda membangun benteng Sterreschans pada tahun 1825-1826, yang kemudian dikenal dengan nama Fort de Kock, oleh Kapten Johan Heinrich Conrad Bauer (Zul’Asri, 2006). Dengan dibangunnya benteng ini, Belanda memperkuat kendali mereka atas daerah tersebut, memberikan landasan untuk mendominasi dan memperluas kekuasaan mereka di sekitar Bukittinggi. Pendirian benteng ini juga secara tidak langsung menjadi penanda dimulainya periode kolonial di Nagari Kurai Limo Jorong.
Perjanjian kerjasama yang dilakukan dengan Penghulu Kurai hanyalah sebuah strategi licik Belanda untuk mengusai Nagari Kurai. Belanda terus melebarkan kekuasaannya tanpa memperdulikan isi perjanjian hingga nagari ini secara resmi dijadikan kota kolonial dengan nama Fort de Kock oleh Pemerintah Hindia Belanda. Fort de Kock perlahan muncul muncul sebagai suatu entitas perkotaan baru yang modern baik dari segi administrasi kota, infrastruktur maupun permukiman.
Belanda menciptakan wajah baru Nagari Kurai, sebuah wajah kota modern dengan sentuhan arsitektur Eropa yang khas. Bangunan-bangunan bergaya kolonial dengan atap tinggi, jendela besar, balkon yang terbuka, dan dekorasi seperti kolom, pilar, ornamen, dan detail artistik lainnya tampil menjadi ciri khas arsitektur Kolonial di Kota Bukittinggi. Penggunaan bahan seperti batu bata dan kayu juga memberikan daya tahan dan nilai estetis pada bangunan tersebut. Arsitektur ini dikenal dengan gaya arsitektur Art Deco. Gaya Art Deco yang muncul pada awal abad ke-20.
Art Deco dikenal dengan karakteristiknya yang menonjolkan garis-garis geometris, ornamen artistik, dan penggunaan material modern (Agirachman et al., 2017). Pada bangunan kolonial di Bukittinggi, gaya Art Deco ini dapat terlihat pada sejumlah bangunan seperti Gereja Katolik ST Petrus Claver, bangunan peninggalan Hotel Centrum, SMAN 2 Bukittinggi, SD Fransiskus, Jam Gadang dan lainnya. Selain itu, banyak bangunan tua dengan gaya arsitektur Belanda yang megah masih berdiri kokoh di sepanjang jalan-jalan Bukittinggi. Beberapa di antaranya telah diubah menjadi hotel, kafe, atau museum.
Yang menarik adalah terdapat Rumah Gadang dengan model perpaduan antara budaya Minangkabau dengan arsitektur kolonial dimana bagian bawah rumah gadang dibuat menggunakan semen dengan ukiran khas Eropa. Rumah Gadang ini bernama Rumah Gadang Suku Jambak dan berada di Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kota Bukittinggi. Keberadaan rumah gadang ini memperlihatkan adanya hubungan yang intens antara masyarakat Minangkabau dengan bangsa kulit putih pada waktu itu hingga mempengaruhi bentuk rumah tradisional mereka.
Tidak hanya warisan fisik, keberadaan Belanda di Bukittinggi juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di antaranya sistem pendidikan. Belanda menjadikan Bukittinggi sebagai pusat pendidikan mereka di Sumatera Barat. Mereka membangun sekolah-sekolah modern untuk menunjang aktivitas pendidikan di Kota Bukittinggi.
Keberadaan sekolah-sekolah ini tidak hanya memengaruhi infrastruktur pendidikan, tetapi juga membawa perubahan dalam kurikulum dan metode pembelajaran yang diperkenalkan oleh orang Belanda. Meskipun terdapat segregasi dalam sistem pendidikan pada masa itu, namun sekolah-sekolah Belanda membawa pengaruh positif dalam meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat lokal. Selain itu, keberadaan sekolah-sekolah Belanda juga menciptakan kesempatan bagi penduduk lokal untuk bekerja sebagai guru, staf administrasi, atau dalam kapasitas lain di lingkungan sekolah (Sultani & Kristanti, 2020). Hal ini memberikan dampak ekonomi dan sosial yang signifikan bagi masyarakat setempat, serta mempengaruhi perkembangan budaya dan pemikiran masyarakat lokal pada masa itu.
Bukittinggi, dengan segala kompleksitas sejarahnya yang dipenuhi dengan perjuangan dan akulturasi budaya, menjadi bukti hidup tentang bagaimana masa lalu membentuk identitas sebuah kota. Dari awalnya hanya sebuah nagari hingga menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sumatera Barat, setiap jengkal tanah Bukittinggi mencerminkan perjalanan panjang yang sarat dengan cerita. Arsitektur bergaya kolonial yang megah, sekolah-sekolah yang mencerminkan idealisme pendidikan Eropa, dan warisan budaya yang hidup dalam setiap sudut kota, semuanya adalah saksi bisu dari dinamika yang pernah terjadi.
Dengan semua keunikan dan tantangan yang dimilikinya, Bukittinggi tidak hanya menjadi destinasi wisata yang menarik, tetapi juga menjadi titik rujukan bagi berbagai kalangan untuk memahami bagaimana keberagaman dan perubahan membentuk identitas sebuah tempat. Kota ini tidak hanya membanggakan keindahannya, tetapi juga mengajarkan tentang kekuatan adaptasi dan semangat bertahan dari sebuah komunitas yang berakar kuat dalam sejarahnya.(*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected].