Bunga Kertas
Bunga Kertas
Titien Suprihatien
Menjadi korban perdaganan manusia semenjak lima tahun yang lalu, Liliana termasuk beruntung. Awalnya Liliana tidak menyadari bahwa ia diberangkatkan secara ilegal. Kondisi keuangan keluarga saat itu membuat ia nekad berangkat. Ayahnya berhenti dari pekerjaan karena stroke, sementara gaji ibunya sebagai guru tidak mencukupi biaya hidup mereka, terutama membiayai kuliah adiknya Liani yang masih semester empat.
Berbekal ilmu sebagai sarjana Pendidikan Bahasa Inggris, Liliana menerima tawaran
untuk menjadi guru di Turki. Namun, untung tak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak, sampai di Turki ia terlantar.
Berusaha untuk pulang ke tanah air, tetapi ternyata pihak yang perusahan yang
menyalurkan Liliana adalah perusahaan abal-abal yang sudah menjualnya ke calo yang ada di sana. Ia baru bisa pulang ke Indonesia jika mengembalikan sejumlah uang yang sudah dibayarkan ke penyalur. Jangankan untuk membayar uang itu, bahkan untuk tempat tinggal saja ia tidak punya, hingga akhirnya ia dikirim ke Istanbul dan bekerja sebagai perawat lansia.
Selama lima tahun Liliana terkurung di rumah besar layaknya istana tanpa akses keluar termasuk berkomunikasi dengan siapa pun dan tidak boleh menggunakan telepon. Di sana Liliana merawat seorang nenek bernama Safiya.
Nenek Safiya tinggal di rumah itu hanya ditemani para pembantu, suaminya sudah wafat beberapa tahun yang lalu. Dan satu-satunya anak yang ia punya sudah menikah dan diboyong suaminya ke Amerika karena ia dipindah tugaskan ke sana.
Awalnya Liliana merasa terpenjara dan hanya bisa berkomunikasi dengan orang yang ada di dalam rumah. Ia hanya keluar rumah ketika mereka salat Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya Liliana menghabiskan waktu untuk melayani Safiya.
Namun, setelah beberapa waktu ia mulai bisa menerima dan ikhlas menjalankan takdir yang sudah Allah tentukan untuknya. Merawat nenek Safiya sepenuh hati, membuat ia sangat disayang. Dan siapa yang menyangka Safiya menulis namanya salam surat wasiat. Liliana mendapatkan dua kilo gram perhiasan emas dan sejumlah uang serta kebebasan. Betul, Liliana kembali menjadi manusia
bebas setelah Safiya menutup mata.
***
“Bismillah,” Liliana melangkah menuju bus yang sejak sepuluh menit yang lalu ia tunggu di bandara. Bus itulah yang akan mengantarkan Liliana kembali ke rumah, bertemu dengan ayah, ibu dan juga Liani adiknya. Liliana juga sangat merindukan Tirta, kekasihnya yang berjanji akan setia menunggu ia kembali.
Di sepanjang jalan, Liliana sudah membayangkan betapa bahagianya ia ketika sampai di rumah dan bertemu kembali dengan keluarga tercinta. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Namun, keluarganya, kehangatan di rumahnya dan Tirta kekasihnya tidak pernah ia lupakan. Semua masih kuat melekat bahkan saat ini Liliana sudah tidak sabar untuk bertemu kembali.
“Terima kasih, Pak,” kata Liliana pada sopir taksi yang mengantarnya hingga ke depan rumah.
Bus yang ia tumpangi menurunkan penumpang di loket sehingga Liliana harus naik taksi menuju rumah yang sudah lima tahun ia tinggalkan.
Jauh berubah, rumahnya terlihat lebih indah dan pagarnya juga lebih tinggi, tidak adalagi bunga kertas warna-warni yang tumbuh subur merambat di teras rumah dengan elok. Padahal bunga kertas itu adalah bunga kesayangan Liliana, bunga yang dibelikan Tirta untuk dirinya.
Memandang lebih intens, Liliana melihat ada mobil mewah yang parkir di garasi rumahnya, ini cukup memberikan informasi bahwa keluarganya hidup cukup mewah saat ini.
Tidak sabar, ia membuka pagar, menyeret koper, Liliana masuk ke halaman rumah itu. Dan orang pertama yang ia lihat adalah mamanya. Wanita itu masih seperti dulu, tidak berubah bahkan jauh lebih terawat. Sama seperti rumahnya, berarti semua yang ia cemaskan tidak terjadi mereka bahagia di sini.
“Mama,” sapa Liliana. Wanita itu menyiputkan matanya beberapa saat hingga sebuah tangisan pecah.
“Liliana, anakku, ke mana saja kamu, Nak?” tanya Hesti mamanya di sela tangis. Ia
memeluk dan menciumi Liliana hingga seorang anak kecil datang mendekati mereka.
“Nenek, kenapa” tanya anak perempuan berusia dua tahun itu.
“Nenek, nggak pa-pa,” lalu Hesti mengendong anak itu.
“Ayo masuk.” Mengandeng tangan Liliana, Hesti membawanya masuk ke dalam rumah.
Tidak seperti lima tahun yang lalu, rumah ini sudah direnovasi dan perabotannya juga sudah berganti.
“Papa, mana, Ma?” tanya Liliana.
“Papamu, ada di belakang, Pa, Papa, anak kita pulang, Pa.” Berteriak memanggil suaminya, Hesti menyuruh Liliana duduk di kursi empuk yang ada di ruang keluarga.
Ia bertanya banyak hal, Liliana dari mana, mengapa tidak pernah memberi kabar, apa yang ia lakukan di luar negeri, apakah Liliana sudah menikah, apa ia masih seorang muslim dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
Liliana menjawab semua pertanyaan Hesti dengan jawaban singkat. Ia belum ingin menceritakan semua pengalaman yang ia alami. Liliana tidak ingin mengubah kebahagian ini menjadi ratap tangisan.
“Mama, ada apa, kenapa berteriak?” tanya seseorang yang sangat Liliana rindukan, Iya itu suara Herman, papanya yang sudah bisa kembali berjalan dengan normal.
“Papa.” Menghambur ke pelukan lelaki paruh baya itu, Liliana sangat bahagia.
“Papa sudah sembuh?” tanyanya, mengabaikan pandangan Herman yang penuh tanya.
“Benar? Benar kamu Liliana? Anakku?” tanya Herman, ia memegang kedua bahu Liliana sambil melihat wajah anaknya dengan saksama.
“Iya, Papa, aku pulang,” jawab Liliana.
“Masya Allah, anak Papa yang hilang sudah pulang, kamu tahu? Bahkan kami sudah
putus asa mencari keberadaan kamu, Nak.”
“Maafin, Papa, maafin Papa,” tangis Herman seraya mengucapkan permohonan maaf.
“Papa, Papa enggak salah, aku yang salah, Pa, aku lalai, hingga menjadi korban perdagangan manusia. Namun, alhamdulillah saat ini aku sudah bebas dan bisa kembali pulang, berkumpul bersama.” Memeluk Papanya erat Liliana meluapkan rindu yang ia pendam selama
ini.
“Mama, Liliana pasti lelah, sebaiknya biarkan ia istirahat dulu,” kata Herman.
“Iya, Pa, ayo sayang, kita ke kamar.” Meraih tangan anaknya, Hesti mengandeng Liliana menuju kamar tamu.
“Mama, kenapa enggak ke kamar aku?” tanya Liliana.
“Kamar kamu sudah dibongkar dan disatukan dengan kamar Liani, saat adik kamu akan menikah, sementara kamu tidur di kamar tamu dulu, ya,” jawab Hesti.
Liliana menurut, iya senang mendengar adiknya sudah menikah dan bisa saja anak kecil tadi adalah keponakannya.
“Liani kapan menikah, Ma?” tanya Liliana ketika mereka sudah sampai di kamar.
“Tiga tahun yang lalu, begitu Liani tamat kuliah ia langsung menikah, karena saat itu Papamu masih sakit dan kami mengira kamu nggak akan kembali karena kami sudah putus asa mencari keberadaanmu, Nak. Nah setelah Liani menikah, kehidupan kita mulai kembali membaik dan perlahan Papa juga mulai pulih, hingga sembuh seperti kamu lihat tadi.” Papar Hesti.
“Alhamdulillah, aku turut bahagia, Ma, berarti yang tadi anaknya Liani?”
“Iya, dia keponakan kamu, lucu ‘kan? Dia selalu membuat rumah ini penuh canda tawa.”
“Liani menikah dengan siapa, Ma? Bukannya dulu dia enggak punya pacar?” tanya
Liliana penasaran.
“Adikmu menikah dengan.” Mengantung kalimatnya, Hesti menutup mata, ia tidak
sanggup untuk menyampaikan bahwa Liani menikah dengan Tirta, kekasih Liliana.
“Dengan siapa, Ma?” tanya Liliana dengan perasaan tidak enak, ia bisa merasakannya.
“Maaf, saat itu, kami merasa kamu sudah tidak akan kembali, Sayang. Maka ketika Tirta melamar Liani, kami menyetujuinya.” Memejamkan mata, wajah Hesti sangat menyedihkan karena merasa bersalah dan pasti membiat Liliana terluka.
“Ma, katakan, Ma,” pinta Liliana.
“Adikmu menikah dengan Tirta, Tirta kekasihmu, semenjak kamu hilang kabar mereka menjadi sering bertemu, berdua mencari informasi tentang kamu, Nak, hingga mereka saling jatuh cinta dan menikah, maaf.” Tangis Hesti pecah, ia memeluk Liliana sekuat tenaga.
Menahan tangis, menahan pedih yang terasa di relung hatinya, Liliana berusaha tegar.
“Mama, enggak salah, tidak ada yang salah, memang sudah seperti ini takdir Allah untuk aku, Ma. Allah tidak menjodohkan aku dengan Tirta, dan kami dipisahkan dengan skenario yang indah, enggak apa-apa,” memeluk Hesti erat Liliana menumpahkan air matanya hingga tidak ada lagi yang tersisa.
***
Menghabiskan malam berdua dengan mamanya, sebelum subuh Liliana sudah bangun, ia sudah terbiasa bangun jauh sebelum subuh, karena ia harus menyiapkan semua kebutuhan Safiya yang akan salat subuh.
“Maaf, aku belum sanggup bertemu dengan mereka, aku juga takut merusak rumah
tangga mereka, sementara ini aku akan tinggal di tempat lain,” kata Liliana, masih berbaring di samping mamanya.
“Kamu mau ke mana?”
“Sementara, di hotel dulu, besok aku akan cari rumah, bolehkan, Ma?” tanya Liliana.
“Boleh jika itu yang terbaik, tetapi apa Mama boleh main ke sana?” tanya Hesti.
“Hehe, kalau perlu, Mama dam Papa tinggal dengan aku,”
“Maafkan kami, ya, Nak, Maaf, Mama tahu seperti apa perasaanmu saat ini,” kata Hesti.
Kemudian, diam-diam mereka meninggalkan rumah, tentu setelah menyampaikan semuanya kepada Herman. Hesti mengantarkan Liliana ke hotel yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka sebelum Liani dan Tirta bangun dan tahu kedatangannya. Beruntung kemarin sepasang suami istri itu pulang cukup malam sehingga keduanya tidak bertemu dengan Liliana.
Satu minggu berlalu, sekarang Liliana sudah menempati rumah yang ia beli, letaknya di luar kota di sebuah desa yang indah dan sejuk karena berada di lereng bukit. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi di kelilingi oleh taman, kebun sayur dan buah yang indah. Rumah yang sangat tepat untuk ditempati oleh orang-orang yang sedang berdamai dengan gejolak dirinya.
Orang yang sedang berjuang menyakini bahwa takdir yang Allah suratkan kepadanya adalah tanda bahwa Allah mencintai dan menginginkan yang terbaik untuk hambanya. Liliana tersenyum, ia yakin dengan izin Allah, dirinya akan bisa melewati semua ini dan bangkit kembali mengejar masa depannya.(*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected]
Kampus Republika partner of @republikaonline
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika
Email: [email protected]