Cerpen : Kolong
Cerpen : Kolong
Titien Suprihatien
Laila Zumra terdiam dengan air mata berlinang, ada sakit yang semakin
menjadi-jadi terasa mengiris hatinya. Memejamkan mata, Laila berusaha menguasai
diri. Ia tidak ingin menangis di tepi jalan seperti ini.
Ini adalah hari pertama Laila berada di Teluk Nilam, sebuah kota kecil di pesisir
pantai. Sejak memasuki perkampungan, matanya tersakiti oleh sampah yang
mengapung di kolong rumah warga. Ada bau menyengat yang ia yakini berasal dari
lumpur bercampur sampah rumah tangga.
Tersenyum, Laila sudah merasakan akan banyak kerja keras yang menyambut
kehadirannya di Teluk Nilam.
“Maksud kedatangan saya ke Teluk Nilam ini adalah untuk memberikan
pendampingan kepada warga dalam mengelola kelestarian alam, salah satunya
mengolah limbah dan mengubah kebiasaan masyarakat agar menjadi lebih peduli
terhadap alam, Pak.” Menyerahkan surat tugas yang ia bawa, Laila berdoa agar kepala desa menerima dan mendukung kehadirannya Teluk Nilam.
“Jadi, apa yang bisa saya bantu?” tanya kepala desa, tempat Laila akan menetap
selama di Teluk Nilam. Ada wajah pesimis dan suara putus asa yang terbaca oleh Laila.
“Saya butuh, dukungan dari bapak kepala desa, karena program yang akan saya
jalankan di Teluk Nilam butuh kerja sama dan kerja keras semua warga,” jelas Laila.
“Maksudnya? Coba jelaskan lebih rinci,” pinta kepala desa.
“Jadi saya akan mendampingi Daerah ini dalam upaya normalisasi lingkungan,
perkampungan di Teluk Nilam ini berada di atas rawa pasang surut, dan target utama saya adalah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah menganggap lumrah membuang sampah ke bawah kolong rumah.” Panjang lebar dan dengan penuh keyakinan Laila menyampaikan maksud kedatangannya.
“Baiklah, saya akan bantu, semoga, Nak Laila betah di Teluk Nilam, dan jangan
kaget dengan apa pun yang akan, Nak, Laila temukan nanti.” Memberi dukungan,
tetapi kepala desa mengingatkan Laila untuk tidak terlalu yakin dengan pencapaian
atargetnya.
~~~
Hampir satu minggu Laila Zumra berada di Teluk Nilam, ia sudah melakukan
observasi dan mendapatkan data serta dokumentasi awal kondisi daerah ini. Kota kecil yang padat penduduk. Rumah warga nyaris tidak ada yang di atas tanah, semuanya adalah rumah panggung yang dibangun di atas rawa dan lebih dari tujuh puluh persen terbuat dari kayu.
Semua data yang ia dapat jauh melebihi paparan data awal yang membuat ia ditugaskan untuk mendampingi masyarakat Teluk Nilam. Tidak hanya lima
puluh persen masyarakat yang suka membuang sampah ke bawah kolong rumah, tetapi hampir semua warga dan kebiasaan itu sudah menjadi lumrah dan tidak dianggap sebagai perbuatan yang buruk.
“Bapak-Ibu, kasihan sungai, kasihan laut, kasihan semua makhluk yang hidup di
sana karena setiap hari menjadi tempat pembuangan sampah manusia,” memberikan pemahaman kepada warga, Laila sudah mulai melakukan sosialisasi semenjak kemarin.
Ia menyusun jadwal untuk melakukan sosialisasi di seluruh parit, dusun dan kampung yang berada di Teluk Nilam.
Tidak segampang yang dibayangkan, Laila berpikir masyarakat akan dengan
mudah mengubah kebiasaannya. Memilah sampah, mengolah sampah dan tidak
membuang sampah ke bawah kolong yang rata-rata adalah rawa dan parit-parit.
“Mbak Laila, selama ini kami memang membuang sampah di kolong rumah,
tinggal lempar saja dan nanti akan dibawa air ke laut, beres. Tidak perlu repot-repot
membayar tukang sampah atau mengolah sampah karena alam sendiri yang akan
mengolahnya,” ujar seorang wanita ketika Laila sedang memberikan penyuluhan.
“Ibu, laut bukan tong sampah raksasa dan plastik-plastik itu tidak akan bisa
dengan mudah diuraikan oleh alam, yang ada sampah yang dibuang ke laut akan
tertimbun di sana, ada yang tenggelam di dasar, ada yang terapung, dan ada pula yang tersangkut di terumbu karang atau dimakan ikan-ikan.” Sabar, seperti itulah Laila menanggapi komentar warga yang sinis.
“Coba, Ibu-ibu lihat di kolong rumah, permukaan air rawa penuh tertutupi
sampah, dan ini sangat berbahaya bagi kesehatan warga, selain kualitas air yang tidak bagus, juga penyebaran nyamuk, sehingga di mana pun kita berdiri, nyamuk selalu berdengung mengikuti kita, belum aroma tidak sedap yang setiap saat kita cium,” sambung Laila.
“Sudahlah, Laila, tahu apa kau tentang kehidupan warga pesisir, kami sudah
kebal dengan nyamuk, agas, atau dengan bau, siapa yang menyuruh kau datang ke
Teluk Nilam? Jadi kalau tidak suka silakan tinggalkan daerah ini!” Marah, seorang
pemuda bernama Suhud tiba-tiba datang dan mengusir Laila.
~~~
Menginjak dua bulan, perjuangan Laila mulai membawa perubahan walaupun
hampir setiap saat kegiatannya diganggu oleh Suhud yang ternyata adalah anak salah satu kepala desa di Teluk Nilam. Suhud melarang Laila mencampuri kehidupan warga di desanya. Tidak ada yang bisa dilakukan Laila selain menjaga jarak dengan Suhud karena masih banyak desa dan kampung-kampung lain yang harus ia dampingi. ‘
Seperti hari ini Laila dan sekelompok warga akan membersihkan kolong di bawah rumah masing-masing. Dengan menaiki perahu, Laila terlihat sibuk mendayung ke sana kemari mendampingi warga yang sedang memanen sampah dari kolong rumah. Kondisi air pasang membuat sampah-sampah mengapung memenuhi permukaan air.
Bisa dikatakan bahwa pemandangan yang terlihat adalah lautan sampah, mulai dari sampah plastik, sterofoam, botol bekas, popok bayi, popok dewasa, peralatan rumah tangga yang sudah tidak terpakai bahkan limbah organik seperti limbah rumah tangga, sabut kelapa dan segala macam sampah memenuhi rawa. Ada yang terapung dan tentu juga banyak yang tenggelam di dasar rawa.
“Sampahnya kumpulkan dulu di depan rumah masing-masing, sekarang vokus
mengangkat sampah ini dari air dulu.” Tegas, Laila memberikan instruksi kepada warga menggunakan pengeras suara.
“Maaf Pak, itu kotoran manusia?” tanya Laila ketika melihat kotoran manusia
mengapung di antara botol-botol bekas minuman dan sterofoam yang hampir menutupi semua permukaan air.
“Iya, Nak Laila, warga memang buang air besar pakai WC cemplung,” jawab
kepala desa.
“Astagfirullah, Pak, ini sangat berbahaya dan harus segera dihentikan.”
Menggelengkan kepala Laila merasa geli. Sebenarnya ia sudah curiga dengan WC dan pembuangan limbah di rumah tempatnya tinggal, tetapi Laila tidak menyangka jika hal itu benar. Namun, Laila tidak bisa tak percaya bahwa dua bulan ini closed yang ia gunakan untuk BAB langsung dilepas ke alam begitu saja.
“Pak, setelah kita selesai membersihkan semua sampah, kita akan membuat WC
yang sehat,” kata Laila kepada kepala desa.
“Bagaimana caranya? Ini daerah pasang surut, tidak ada daratan untuk mengali
septic tank.” Pesimis kepala desa kembali turun ke sampan untuk mengambil sampah dari kolong rumahnya setelah tidak percaya dengan perkataan Laila bahwa ia bisa membuat septic tank untuk daerah pasang surut.
~~~
Hari demi hari Laila lalui dengan kerja keras, selama hampir lima bulan berada
di Teluk Nilam. Ia mengajak warga dari satu kampung ke kampung lain hingga hampir semua kampung dan parit-parit di Teluk Nilam mulai bersih, kegiatan pembersihan kolong rumah, sungai, parit, dan rawa yang selama ini menjadi tempat pembuangan sampah sudah mulai bersih.
Sedikit demi sedikit warga mulai mengubah kebiasaannya. Sampah-sampah yang berhasil diangkat dari kolong pun sebagian sudah mulai dipilah.
Sampah organik diolah menjadi kompos, sampah plastik dimasukkan ke dalam botol-botol menjadi ecobrik dan dijadikan kursi-kursi unik. Limbah lain seperti limbah mainan anak atau sampah anorganik lainnya diubah Laila menjadi hiasan dinding, mozaik aneka motif.
“Alhamdulillah, kerja keras kita tidak sia-sia, bagaimana Bapak-Ibu? Senang
nggak melihat lingkungan yang bersih? Sekarang kita sudah bisa melihat ikan berenang dengan bahagia. Namun, masih ada satu masalah besar yang akan kita lakukan, dan ini sangat penting.” Tegas dan serius, Laila memulai projek barunya.
“Mbak Laila jangan bikin penasaran,” ujar seorang ibu-ibu.
“Iya, kita akan ubah WC cemplung menjadi WC sehat, kita akan membuat septic
tank di setiap rumah, agar tinja tidak mengotori air.” Tegas, Laila sangat bersemangat.
Hari itu juga ia mulai menjelaskan konsep WC tripikon. Mulai dari alat dan bahan yang dibutuhkan sampai desain WC tripikon.
“Jadi WC tripikon adalah septic tank vertikal yang terdiri dari tiga pipa utama.
Tiga pipa ini digunakan secara konsentris dengan ukuran yang berbeda, ada pipa kecil, pipa sedang, dan pipa besar sesuai namanya tripikon,” jelas Laila bersemangat. Ia memastikan bahwa semua warga bisa membuat WC tripikon sendiri.
~~~
Sudah satu bulan semenjak Laila dan semua warga berubaha membuat WC
tripikon, kehidupan di Teluk Nilam semakin teratur. Perkampungan warga menjadi
lebih asri dan eksotik, karena sebagian warga memanfaatkan kolong air rawa yang ada di bawah rumahnya untuk memelihara ikan-ikan.
Mereka memasang jaring sedemikian rupa hingga berfungsi seperti sebuah kolam. Ditambah dengan gazebo sederhana yang mereka buat di tengahnya dan menjadi semakin elok ketika jerambah-jerambah papan dibuat rapi sebagai penganti jalan yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain. Sangat indah, karena warga mulai menambahkan warna pada setiap bangunan.
~~~
“Terima kasih, atas kerja sama dan bantuan dari seluruh warga Teluk Nilam,
akhirnya kita bisa menampilkan wajah baru Teluk Nilam. Saya sangat senang, karena Teluk Nilam saat ini mulai viral dan banyak dikunjungi para wisatawan. Kios-kios kerajinan, oleh-oleh, lapak ekowisata kita semakin hari semakin ramai pengunjung, semoga ke depannya semua menjadi semakin baik. Dan mohon maaf, karena saya hanya bisa mendampingi Teluk Nilam sampai di sini, tugas saya sudah selesai dan saya harus kembali ke tempat asal saya.”
Pamit secara tiba-tiba, tidak ada warga yang tak terkejut dan sedih. Betapa tidak enam bulan berjuang bersama Laila dalam mengembalikan kelestarian alam Teluk Nilam membuat warga sudah menganggap Laila sebagai bagian keluarga.
Menyandang ransel hijau besarnya, Laila melangkah meninggalkan rumah kecil
yang selama enam bulan ini ia tempati. Jangan tanya berapa jumlah warga yang berjejer mengiringi langkah Laila. Ramai, warga berbondong-bondong berjalan kaki mengiringi
Laila yang melangkah menuju pelabuhan. Namun, belum jauh mereka berjalan seorang pemuda berdiri menghadang Laila. Pemuda itu adalah Suhud, ia terlihat penuh lumpur dan membawa sekarung sampah.
“Walaupun terlambat, tapi apa yang kamu lakukan membuat sadar dan akan
melanjutkan semuanya, maaf karena selama ini aku bersikap tidak baik.” Menyadari
kesalahan yang sudah ia perbuat, Suhud minta maaf kepada Laila dan dengan senang hati Laila menerima permohonan maaf itu.
~~~
Laila tergesa-gesa keluar dari kamar karena mamanya mengedor pintu berkali-
kali. Bukannya tidak mau menjawab, Laila memang sedang salat Zuhur.
“Maaf, Ma, Laila salat,” kata Laila ketika membuka pintu kamar.
“Sekarang kamu ganti baju dan dandan yang cantik, di depan ada tamu.” Tegas
dan terburu-buru, mama Laila bergegas meninggalkan kamar anaknya menuju ruang tamu.
Langkah kaki Laila terhenti ketika melihat puluhan warga Teluk Nilam sedang
duduk di ruang tamu. Mereka tidak duduk di kursi, tetapi duduk di bawah membentuk lingkaran, sedangkan beberapa wanita terlihat duduk di teras samping bersama mamanya.
Betapa terkejutnya Laila ketika mengetahui bahwa rombongan itu datang
melamar Laila untuk menjadi istri Suhud anak kepala desa.
“Maaf, bukannya saya menolak, tetapi besok saya harus berangkat ke Kuala
Nipah untuk mengabdi dan mendampingi warga mengembalikan kelestarian alam di
sana.” Menunduk, Laila tidak pernah menyangkan akan dilamar semendadak ini.
“Kalau begitu izinkan aku menemani kamu dalam mengabdikan diri untuk
kelestarian alam.” Pasti, Suhud benar-benar telah memantapkan pilihan untuk
menjadikan Laila sebagai istri.(*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan melalui e-mail : [email protected].
Kampus Republika partner of @republikaonline
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika
Email: [email protected]