Guru Menulis

Cerpen : Black Mermaid

Ilustrasi cerpen Black Mermaid karya Titien Suprihatien. Foto : republika

 Black Mermaid

Karya : Titien Suprihatien

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dewi ragu untuk meneruskan langkah melihat selasar sekolah dipenuhi oleh cowok-cowok yang selalu merundungnya. Semenjak kelas sepuluh Dewi memang selalu menjadi bahan bully karena penampilan dan status ekonominya yang berbeda dengan siswa lain.

 Sekolah tempat Dewi belajar adalah sekolah swasta ternama. Hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di sana. Dewi siswi satu-satunya yang berasal dari keluarga tidak mampu. Ia bisa sekolah di situ karena beasiswa.

Dewi adalah anak seorang petani nelayan. Ia hanya tinggal bertiga dengan Ayah dan Ibunya yang sudah tua di sebuah desa yang terletak di pinggiran Kota Jambi.

Hampir setiap hari Dewi membantu Ayahnya menjala ikan atau pun memancing ikan dan menjual. Dewi juga membantu Ibunya di sawah sambil memancing belut. 

Dewi biasa dipanggil dengan sebutan Duyung Kampung si Black Mermaid. Memang wajah Dewi relatif gelap karena tidak tersentuh skin care dan selalu terpapar sinar matahari.

Sebenarnya wajah Dewi eksotik memiliki karakter yang tegas dengan hidung mancung. Namun, penampilannya tidak didukung dengan pakaian ataupun pernak-pernik dan peralatan sekolah yang bagus.

Dewi selalu tampil sederhana dengan pakaian, tas, sepatu biasa, sehingga terlihat berbeda dengan siswi lain yang tampil modis dan cantik.

“Hei Mermaid mau lewat... tutup hidung bau amis!” teriak Raihan salah satu anak pengusaha batu bara. Raihan satu kelas dengan Dewi. Mereka sama-sama siswa kelas 12 A. Kelas akselerasi yang isinya adalah anak-anak pilihan.

“Hahaha,” semua tertawa sambil menunjuk ke arah Dewi yang berjalan cepat dengan wajah menunduk.

“Hei Black Mermaid, Kamu bawa apa tu?” tanya Raihan kasar sambil merebut kantong plastik hitam yang dibawa Dewi.

 “Jangan,” kata Dewi sambil mempertahankan bawaannya. Tapi Raihan lebih kuat.

Kantong itu sudah berpindah tangan. Raihan kemudian membukanya dan terkejut melihat isi kantong tersebut.

“Woi, Mermaid bawa belut ke sekolah hahaha,” teriak Raihan kuat membuat semua cowok-cowok itu penasaran untuk melihat isi kantong itu.

“Jangan, itu pesanan Bu Faiza, tolong kembalikan,” pinta Dewi memohon pada Raihan dan teman-temannya.

Namun, bukannya mengembalikan kantong itu, Raihan justru melemparkannya ke halaman hingga pecah. Belut-Belut yang beragam ukuran itu bergelimpangan merayap di tanah. Jumlahnya sekitan dua puluh ekor. 

“Kalian tega sekali sama saya,” kata Dewi dengan wajah yang sedih. Air matanya mulai menetes tanpa suara.

Dewi bergegas menuju tempat belut itu berserakan. Belut-belut itu sudah mandi dengan tanah dan pasir. Dewi memungut belut itu satu persatu dan dimasukkan ke dalam kantong asoi yang ada di dalam tasnya.

Semua mata memandang pada Dewi yang menahan tangis. Ada beberapa yang kasihan dan ingin menolong. Namun, Raihan melarang mereka. Raihan sangat menikmati aksinya membully Dewi pagi ini.

 “Astagfirullah, ada apa ini? kenapa Dewi? siapa yang melakukan ini?” tiba-tiba kepala sekolah datang dan marah melihat kejadian itu. Semua cowok yang tadinya membully Dewi terdiam.

“Dewi itu belut pesan siapa?” tanya kepala sekolah.

“Pesanan Bu Faiza Buk,” jawab Dewi.

“Oh, cuci belutnya dan serahkan ke Bu Faiza ya. Setelah itu kamu ke ruangan saya,” perintah kepala sekolah.

“Baik Bu, saya permisi membersihkan dan mengantar belut ini,” pamit Dewi meninggalkan selasar itu.

 “Kalian semua keruangan saya sekarang!” perintah kepala sekolah kepada Raihan dan teman-temannya.

 “Iya Buk,” jawab mereka hampir berbarengan.

 “Raihan! sudah berapa kali saya ingatkan, tidak boleh ada perundungan di sekolah ini atau di manapun. Mentang-mentang kamu anak orang kaya, terus seenaknya kamu membully orang lain?” tanya kepala sekolah tegas pada Raihan.

“Apa kamu bisa cari uang sendiri!”

“Bisa ?” tanyanya lagi.

“Tidak bisa Bu,” jawab Raihan.

“Terus apa yang kamu banggakan? kalau saya larang orang tua mu memberi kamu uang, apa yang kamu bisa lakukan? tanya kepala sekolah.

“Ingat perjanjian di atas materai sepuluh ribu minggu lalu, jika kamu masih membully maka orang tua mu akan stop biaya apapun untuk kamu selama satu bulan, Ingat?” tanya kepala sekolah.

“Ingat Buk,” jawab Raihan. 

“Syukurlah, sekarang saya akan telepon orang tua kamu,” kata kepala sekolah sambil menelepon orang tua Raihan.

Mereka memang sudah menandatangani disiplin positif sebagai restitusi bagi Raihan karena sudah membully Dewi minggu lalu. Saat itu Raihan menyebar foto-foto Dewi yang sedang mencari belut di sawah. Sehingga seluruh siswa mengejek Dewi.

Sebagian siswa memanggil Dewi dengan sebutan Duyung Kampung dan ada juga yang memanggil dengan sebutan Black Mermaid.

                                                   ----

“Hallo, Assalamualaikum,” sapa kepala sekolah pada Papa Raihan di seberang sana.

“Waalaikum salam, apa kabar Bu? Apa anak saya berulah lagi?” tanya Papa Raihan.

“Benar Pak, Raihan kembali membully Dewi.” Memandang wajah Raihan tajam, kepala sekolah terlihat lelah.

“Bisa saya bicara dengan Raihan, Bu?” tanya Papa Raihan.

“Bisa Pak, silahkan,” menyerahkan ponselnya kepada Raihan, kepala sekolah kemudian duduk di samping Dewi. 

“Hallo Pa,” takut, suara Raihan bergetar.

“Raihan, seperti perjanjian yang sudah kamu tandatangani sendiri, mulai hari ini papa tidak akan membiayai hidup kamu. Selama satu bulan ini kamu harus cari uang sendiri, cari makan sendiri dan kamu akan tinggal di sebelah rumah Dewi. Papa sudah siapkan gubuk buat kamu tinggal sendiri di sana. Siang ini Papa dan Mama akan mengantar kamu,” tanpa basa-basi.

Ia sudah menyiapkan sebuah gubuk di samping rumah Dewi di pinggiran anak Sungai Batanghari.

“Pa, tapi Raihan tidak bisa Pa, maaf Pa Raihan tidak berniat membully Dewi, Raihan

Cuma bercanda Pa,” kena mental, seperti itulah kondisi Raihan ketika mendengar perkataan papanya. 

“Raihan, kamu laki-laki, tidak boleh cemen. Kamu jangan kalah sama Dewi. Dewi saja bisa mencari uang sendiri dan membantu orang tuanya mencari nafkah, kamu bagaimana? Kamu bisanya cuma merenggek dan menampung tangan. Tidak ada tawar menawar Raihan, papa sekolahkan kamu untuk jadi manusia yang baik bukan manusia yang sombong dan suka menghina orang lain.” Tegas, keputusan papanya tidak dapat diganggu gugat.

Kemudian Raihan menyerahkan kembali ponsel kepada kepala sekolah.

“Terima kasih, Pak,” kata kepala Sekolah menutup panggilan.

“Sama-sama Bu, terima kasih juga telah sabar mendidik anak saya,” jawab papa Raihan.

Kemudian memutuskan sambungan telepon setelah berbasa-basi.

                                                       -----

Raihan melihat Dewi keluar dari rumahnya, wanita yang dia panggil duyung kampung itu dang berjalan menuju sawah. Tidak jauh dari sawah ada anak sungai yang mengalir.

“Dewi tunggu,” panggil Raihan. Ia menyusul Dewi berlari mengejar langkah kaki gadis hitam manis dengan celana training berkaos hitam lengan panjang dan kerudung kaos warna hitam.

Di tangannya ada sebuah wadah untuk meletakkan belut dan sebuah pancing untuk memancing belut serta sekaleng cacing tanah yang tadi ia cari di dekat kandang itik.

“Maaf saya mau mancing belut, kamu mengapa mengikuti saya?” tanya Dewi.

“Aku ikut, aku mau belajar memancing belut.”

“Oh,” jawab Dewi singkat.

Dewi yang sudah berada di tepi sawah langsung mencari lubang belut.

“Kamu mencari apa?”

“Lubang belut,” jawab Dewi.

“Itu lubang,” kata Raihan menunjuk sebuah lubang di pinggir sawah namun tidak berisi air dan lubangnya nyaris tidak mengarah lurus ke bawah namun ke samping. 

“Itu lubang ular kadut,” kata Dewi.

Raihan hanya diam memperhatikan semua yang dilakukan Dewi. Tidak sampai satu jam wadah belut yang dibawa Dewi sudah penuh dan ia bersiap pulang.

“Dewi belut itu untuk apa?” tanya Raihan.

“Ini pesanan Pak Solihin, besok akan saya bawa ke sekolah.”

“Uangnya untuk apa?” tanya Raihan lagi sambil berjalan mengiringi langkah Dewi.

“Untuk biaya hidup, belanja, ongkos ke sekolah ya untuk kebutuhan sehari-hari,” jawab Dewi datar.

“Kamu hebat ya, aku salut sama kamu, maaf selama ini aku selalu membully kamu,” Raihan minta maaf pada Dewi.

“Nga apa-apa kok, lupain aja,” jawab Dewi singkat.

Mereka sudah sampai di rumah. Dewi sudah mencuci belut dan meletakkannya ke dalam galon bekas cat dan ditutup. Namun, tutupnya dilubangi agar tidak pengap. Jika tidak ditutup belut bisa melarikan diri.

Setelah itu Dewi pergi ke belakang rumah memberi makan ayam dan itik peliharaannya. Raihan hanya melihat Dewi dengan rasa kagum. Ia berterima kasih pada papanya karena sudah memberikan restitusi yang membahagiakan.

Hari ini ada kunjungan Menteri Pendidikan, Gubernur dan Kepala Dinas pendidikan ke sekolah Dewi. Semua siswa, orang tua siswa dan majelis guru sudah berada di aula sekolah. Ada jurnalis dan awak media televisi dan lainnya yang sudah siap di posisi masing-masing untuk meliput acara. 

Tibalah ke acara yang ditunggu-tunggu yaitu mengikuti pengumuman kontes sains tingkat internasional yang tempo hari diikuti oleh sekolah tersebut. Pengumuman ini berlangsung secara virtual langsung dari New York USA dan seluruh hadirin menyaksikanbersama-sama dengan berdebar-debar. Penyebabnya adalah bahwa Indonesia digadang-gadang meraih nilai tertinggi pada even ini.

“The champion is.... Dewi Melita Susanti from Jambi Indonesia, with her work: Fishalbum from the Batanghari river” semua menyimak pengumukan virtual itu.

“Selamat Ananda Dewi, silahkan menuju panggung,” kata MC. Kemudian Dewi dengan seragam putih abu-abu dan jilbab putihnya berjalan percaya dir ke atas panggung. Mas Menteri didampingi Gubernur, Kepala Dinas dan kepala Sekolah menyerahkan hadiah kepada Dewi.

Kemudian mas Menteri meminta Dewi untuk mempresentasikan karyanya yang diikutsertakan pada kontes sains dengan tema River tersebut.

Dewi memperagakan album transparan yang ia buat secara manual dari plastik jilid. Setiap plastik ditempel rangka ikan yang sudah diawetkan dengan keterangan yang ditulis tangan dengan tinta silver.

Plastik jilid yang sudah ditempeli rangka ikan tersebut kemudian ditutup lagi dengan plastik jilid yang lain dan dibuat sangat banyak sesuai jenis ikan yang hidup di Sungai Batanghari. Keterangan setiap rangsa sangat lengkap mulai dari cara mendapatkan ikan, spesifikasi ikan hingga cara mengawetkannya.

Pak Menteri mengucapkan selamat kepada Dewi dan mengumumkan bahwa Dewi akan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Oxford University. Beasiswa mencakup biaya kuliah, biaya hidup penuh dan biaya hidup orang tua yang ditinggalkan.

Semua mata menuju pada Duyung Kampung yang memberikan sambutan dalam bahasa Inggris yang fasih. Selama ini Dewi aktif ikut pelatihan Bahasa Inggri secara online dan offline.

Ia selalu melakukan riset sederhana dan mandiri. Tidak ada waktu yang digunakan untuk berhura-hura dan tidak ada juga uang yang dihamburkan percuma. 

Di bangku undangan Papa Raihan terlihat memeluk anaknya. “Itu wanita yang selalu kamu bully, lihat lah ia. Apakah kamu masih bisa memandang wajahnya?” tanya Papa Raihan sambil mengosok-gosok bahu anaknya.

“Apakah ia terlihat seperti wanita bodoh korban bully? Tidak kan? Karena Dewi itu wanita kuat dan mandiri, belajarlah dari Dewi. Dan Papa akan kuliahkan kamu ke Oxford juga jika kamu mampu.”

Raihan tersenyum pada papanya. Ia terlihat sangat bersemangat.

“Benar, Pa? masih ada waktu delapan bulan Pa, Raihan akan berusaha, terima kasih, Pa.” Raihan memeluk papanya.

“Dewi maaf atas semua yang sudah dilakukan Raihan ya, Om minta tolong sama Dewi bantu Raihan, karena ia juga akan melanjutkan kuliah di Oxford.” Beri tahu Papa Raihan kepada Dewi ketika mereka bertemu setelah acara selesai.

“Insya Allah Om,” jawab Dewi yakin sambil sedikit menunduk dan setelah itu Dewi melihat ke arah Raihan.

“Maafin aku Dewi.”

“Sudah aku maafkan, lupakanlah, sekarang saatnya berjuang mempersiapkan diri untuk meraih masa depan,” jawab si Black Mermaid.

Kemudian mereka pulang. Papa Raihan mengantar anaknya ke gubuk karena masih ada sepuluh hari lagi restitusi yang harus dijalani dan Dewi juga diajak di ikut mobil itu.

Tidak ada kata-kata yang terucap selama perjalanan. Di hati Raihan hanya ada harapan untuk bisa memantaskan diri untuk seorang Dewi. (*)

 

Titien Suprihatien adalah seorang guru sains yang mengajar di SMPN 11 Batanghari, Provinsi Jambi semenjak tahun 2003 hingga saat ini. Guru pengabdi lingkungan dan fasilitator inspiratif tingkat Nasional tahun 2020 ini adalah Fasilitator Nasional Program PINTAR Tanoto Faoundation.

Hingga  saat ini Titien aktif menulis artikel pendidikan di Kompas.com. Sekarang ia mulai belajar menulis novel dan cerpen inspiratif dengan tujuan untuk menyediakan bacaan dan sumber literasi sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia.


Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan dan mengirim artikel melalui e-mail : [email protected].


Kampus Republika partner of @republikaonline
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika
Email: [email protected]