News

Ketua Umum DePA-RI : Aparat Penegak Hukum Harus Berbenah

Ketua Umum DePA-RI Luthfi Yazid berfoto dengan beberapa pengurus Sulsel, para hakim dan tokoh masyarakat Sulsel. Foto : dok

Kampus—Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), Dr TM Luthfi Yazid, meminta agar Aparat Penegak Hukum (APH) berbenah terkait dengan peristiwa yang menggemparkan jagat hukum itu saat. Hal itu disampaikan Lutfhi dalam acara pelantikan pengurus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DePA-RI Provinsi Sulawesi Selatan, Ahad (03/11/2024).

Beberapa Pengurus DPD Sulawesi Selatan yang dilantik untuk masa bakti 2024-2029 di antaranya Sudirman Jabir sebagai Ketua DPD, Asri Ameru sebagai Wakil Ketua, Hadriani sebagai Sekretaris, dan Arpin sebagai Bendahara DPD. Acara pelantikan tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat pengadilan, pemerintah daerah, kepolisian, kejaksaan, tokoh masyarakat, dan perwakilan organisasi advokat.

Luthfi dalam kesempatan tersebut menyoroti kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti oleh Gregorius Ronald Tannur yang kemudia menyeret nama seorang advokat bernama Lisa Rahmat. Terkait dengan kasus Tannur tersebut tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yaitu Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo juga ditangkap karena diduga menerima suap, gratifikasi. Bahkan seorang mantan pejabat di Mahkamah Agung (MA), bernama Zarof Ricar (ZR) diduga terlibat dalam pemufakatan jahat sehingga ia juga dicokok dan saat penggeledahan di rumahnya ditemukan uang yang mencapai hampir Rp 1 trilliun dan emas batangan seberat 51 Kg.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Luthfi menjelaskan, awalnya yang punya masalah hukum adalah Gregorius Ronald Tannur, anak

seorang mantan anggota DPR dari PKB yang terlibat perkara pembunuhan pacarnya, Dini Sera Afrianti. Tannur ini menyewa lawyer yang bernama LR.

“Seorang klien yang mempunyai persoalan hukum, pastilah bercerita kepada pengacaranya. Seorang pengacara (sebagai profesi mulia, officium nobilee) yang baik haruslah mendengarkan apa yang disampaikan kliennya, kemudian memetakan persoalan hukumnya, memberikan analisis hukum dan memberikan solusi-solusi hukum yang berpatokan pada prinsip kebenaran dan keadilan,” jelas Lutfhi.

Perkara ini menurut Lutfhi disorot publik dan media setidaknya karena tiga hal. Pertama, para hakim baru saja menuntut kenaikan kesejahteraan dan gaji hakim dengan melakukan mogok nasional, cuti bersama tidak mengadakan persidangan selama beberapa hari. Para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) mendatangi Kemenkumham, MA dan DPR RI untuk menyampaikan aspirasinya.

Kedua, di lembaga pengadil tertinggi ini baru saja dipilih Ketua Mahkamah Agung (KMA) yang baru yaitu Prof Sunarto. Kepada KMA yang baru ini banyak ditumpukan harapan perbaikan dan pembenahan MA secara total.

“Apakah KMA yang baru akan sanggup mengatasi persoalan dan kemelut yang ada saat ini? “ tanya Luthfi.

Hal ketiga menurutnya adalah jumlah cokokan kejaksaan yang mencapai angka yang fantastis itu. Penangkapan atas advokat dan tiga hakim di PN Surabaya mencapai puluhan milliar rupiah. Sementara di rumah ZR ditemukan dan disita uang dalam jumlah hampir Rp 1 trilliun, setara dengan jumlah uang korban jamaah umroh First Travel yang jumlah korbannya 63 ribu orang yang ditipu oleh pemilik First Travel.

“Sebab itu tidaklah heran manakala banyak tuntutan agar kejadian ini dijadikan momentum untuk membasmi mafia peradilan dan mewujudkan keadilan untuk semua. Harapan ini ditumpukan kepada KMA yang baru untuk melakukan gebrakan luar biasa dan zero tolerance terhadap korupsi,” papar Lutfhi.

Luthfi Yazid mengingatkan bahwa pendapat yang hanya menumpukan kesalahan kepada hakim dan MA bukanlah pandangan atau pendapat yang adil. Yang benar adalah semua Aparat Penegak Hukum termasuk pemerintah harus introspeksi dan berbenah agar pencari keadilan tidak dirugikan.

“Kepolisian, kejaksaan, kalangan advokat, dan korps kehakiman semuanya dapat menjadi bagian dari jaringan mafia peradilan. Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kurang “bergigi” semuanya harus menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran sangat mahal dan segera melakukan “total football reparation”, pembenahan total,” tegasnya.

Mengapa harus semua APH yang mesti berbenah? Luthfi Yazid mengingatkan bahwa advokat, Jaksa, maupun polisi ada yang terjerat kasus serupa. Semua APH tersebut mempunyai Kode Etik. Sebagai APH tujuannya adalah agar amanah konstitusi UUD 1945 untuk mewujudkan negara hukum (rechstaat) dapat benar-benar terwujud. Dan keadilan bagi semua (Justitia Omnibus) dapat diwujudkan sebab didalam UUD 1945 tidak ada kata “kepastian hukum” saja; yang ada adalah “kepastian hukum yang adil” sebagaimana Pasal 28 D ayat 1.

Luthfi Yazid berharap agar ke depan tidak terulang lagi kasus-kasus serupa sebagaimana dialami advokat senior OC Kaligis, Jaksa Pinangki Sirna Malangsari, Polisi Jend (P) Joko Susilo, Mantan Kabareskrim Jend (P) Suyitno Landung, Mantan Sekretaris MA Nurhadi, Hasbi Hasan, mantan Hakim Agung Gazalba Saleh, dan Hakim Agung Sudradjad Dimyati. (*)

Berita Terkait

Image

Harapan untuk Ketua Mahkamah Agung yang Baru