Di Balik Gimik Politik : Strategi Citra dan Kepemimpinan di Era Digital
Suci Marini Novianty
Mahasiswa Program Doktoral LSPR Institute Of Communication And Business
"In politics, the perception is reality." – Lee Atwater
Selama 10 tahun pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi populer dengan pendekatan “blusukan”, yang memperlihatkan keterlibatannya langsung di lapangan. Pada Pemilu Presiden 2024, kita menyaksikan para kandidat semakin mengandalkan media sosial untuk menciptakan persona yang dekat dengan rakyat. Salah satunya adalah persona "gemoy," yang berarti menggemaskan, digunakan oleh pendukung Prabowo Subianto untuk menggambarkan sisi santai sang calon yang dekat dengan rakyat.
Sosok pemimpin yang dekat dan peduli memang menjadi idaman publik. Namun, mewujudkannya tidaklah mudah dan tak bisa instan. Di sinilah gimik politik hadir sebagai strategi untuk menciptakan citra pemimpin yang diinginkan. Gimik politik adalah strategi komunikasi yang bertujuan mempengaruhi persepsi publik dan membentuk citra tertentu bagi politisi. Di era digital, gimik semakin relevan berkat media sosial yang memungkinkan penyebaran pesan secara cepat dan luas.
Menurut Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMM, gimik politik semakin efektif saat diperkuat oleh media massa yang "menggoreng" isu, menciptakan berbagai persepsi di masyarakat. Gimik tidak hanya membangun citra, tetapi juga dapat mempengaruhi persepsi tentang kapasitas kepemimpinan seorang tokoh. Meskipun simbolis, gimik memiliki dampak besar dalam meningkatkan popularitas, mengatur agenda publik, dan membentuk persepsi pemilih.
Sejarah dan Evolusi Gimik Politik
Sejak zaman kuno, gimik politik sudah digunakan oleh penguasa Romawi dengan taktik “panem et circenses” (roti dan sirkus), sementara penguasa Eropa abad pertengahan menggunakan parade dan upacara untuk memperkuat citra kekuasaan mereka. Seiring perkembangan demokrasi dan media massa pada abad ke-19, gimik politik menjadi lebih terstruktur. Contohnya, Abraham Lincoln menggunakan kampanye kereta api untuk menyapa rakyat, sementara pidato karismatik Benjamin Disraeli membantu menciptakan citra yang kuat di Inggris. Di abad ke-20, media radio dan televisi membuat gimik politik semakin visual dan langsung, seperti pidato "Fireside Chats" Franklin D Roosevelt atau debat Kennedy-Nixon yang memanfaatkan penampilan visual sebagai elemen penting dalam membentuk persepsi publik.
Di abad ke-21, media sosial seperti Twitter, Facebook, dan YouTube merevolusi gimik politik, memungkinkan politisi untuk terhubung langsung dengan audiens. Barack Obama menggunakan media sosial dalam kampanye 2008 untuk memperkuat keterlibatan pemilih muda, sementara Jokowi di Indonesia mempopulerkan blusukan sebagai simbol kedekatan dengan rakyat. Donald Trump bahkan menggunakan Twitter untuk mengontrol narasi kampanyenya. Saat ini, teknologi seperti AI dan augmented reality menciptakan gimik yang lebih interaktif dan imersif, menunjukkan bagaimana strategi ini terus berevolusi dalam membentuk citra politik di era modern.
Gimik dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu negatif atau kontroversi, memungkinkan pemimpin mengontrol narasi di media. Ketika berhasil, gimik memperkuat hubungan emosional antara pemimpin dan rakyat, menciptakan kesan bahwa pemimpin memahami masalah yang ada. Namun, efektivitas gimik tidak selalu terjamin. Meski dapat menciptakan koneksi emosional, gimik sering dianggap sebagai "trik" atau rekayasa yang tidak mencerminkan realitas, yang berdampak buruk jika publik merasa tidak ada ketulusan di baliknya.
Secara keseluruhan, gimik politik adalah senjata ampuh dalam membentuk opini publik dan menggerakkan massa di era modern. Namun, di tengah maraknya manipulasi informasi, gimik tidak boleh menjadi sekadar ilusi yang menipu. Pemimpin yang bijak harus menggunakannya sebagai alat untuk membangun kepercayaan, bukan merusaknya. Pemilih pun harus lebih kritis dan cerdas, terutama generasi muda yang paling rentan terhadap pesona media sosial. Dalam dunia politik yang semakin dinamis, hanya gimik yang tulus dan berlandaskan niat baik yang dapat menciptakan perubahan nyata dan memperkuat demokrasi.(*)