Opini

Efek Disinhibisi Daring: Kebebasan Komentar dan Militansi Netizen Indonesia

Media sosial menjadi arena pertempuran opini. Foto : Google

Suci Marini Novianty

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya

Media sosial telah menjadi panggung utama bagi masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan pendapat mereka. Dengan populasi pengguna yang masif, Indonesia terkenal dengan militansi netizennya dalam memberikan komentar.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bahkan, di tahun 2020, Digital Civility Index (DCI) yang dikeluarkan oleh Microsoft, menobat netizen Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara yang diteliti. Peringkat ini menjadi yang terendah di Kawasan Asia Tenggara. Sebenarnya, perlu dilihat dua sisi, karena netizen Indonesia pun aktif kalau urusan memberikan donasi secara daring, menunjukan bahwa kepedulian masih menjadi nilai bagi mereka.

Sebenarnya, masalah kemudian terletak pada kenyataan bahwa netizen Indonesia sangat gemar berkomentar untuk ragam isu. Dari isu olahraga hingga kebijakan publik, respons masyarakat sebenarnya tidak melulu negatif, namun memang kerap penuh gairah, baik dalam mendukung maupun mencemooh suatu topik. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori Online Disinhibition Effect (ODE) yang diperkenalkan oleh John Suler pada tahun 2004.

Teori ini menggambarkan bagaimana perilaku daring sering kali lebih bebas—dan terkadang ekstrem—dibandingkan perilaku di dunia nyata. Ada dua jenis ODE menurut Suler, benign (positif) dan toxic (negatif). ODE yang positif adalah upaya seseorang untuk mengekspresikan pikiran dan kegundahannya atau bahkan kepeduliannya secara daring.

Namun, negatifnya, apabila seseorang menggunakan jaringan untuk melancarkan serangan, mempersekusi, dan memberi ujaran kebencian pada yang lain. Meski, dalam beberapa kasus positivitas dan negativitas ini terlihat menyatu ketika seseorang mengekspresikan kegundahannya justru dengan memberi ujaran kebencian pada yang lain.

Jika demikian, maka kita bisa melihat bahwa ODE terjadi karena beberapa faktor seperti anonimitas, invisibilitas, asinkronitas, introjeksi solipsistik, imajinasi disosiatif, dan minimalisasi status serta otoritas. Faktor-faktor ini menciptakan ruang daring yang memungkinkan seseorang untuk bertindak tanpa batasan sosial yang biasa berlaku di dunia nyata. Teori ini menjadi lebih menarik ketika diterapkan pada berbagai fenomena yang kita saksikan dalam masyarakat Indonesia.

Antara Solidaritas dan Polarisasi di Dunia Maya

Salah satu contoh yang mencerminkan ODE adalah bola liar diskusi tentang pemecatan Shin Tae Yong sebagai pelatih Timnas Indonesia. Perdebatan sengit ini memenuhi media sosial seperti X dan Instagram, di mana netizen merasa aman menyuarakan opini mereka, baik yang mendukung maupun menentang.

Anonimitas dan invisibilitas mempermudah mereka untuk menyampaikan kritik atau bahkan serangan personal tanpa rasa takut akan konsekuensi langsung. Dalam konteks ini, ODE tampak jelas sebagai penggerak utama kebebasan ekspresi, sekaligus memungkinkan perilaku negatif berkembang.

Fenomena lain yang menarik adalah kontestasi Pilkada pada November silam. Media sosial menjadi arena pertempuran opini, di mana netizen dengan penuh semangat mendukung kandidat mereka sambil mencemooh pihak lawan. Norma sosial yang lebih permisif di dunia maya membuat mereka berani mengekspresikan pendapat secara blak-blakan. Faktor seperti asinkronitas dan minimalisasi otoritas menciptakan ruang di mana setiap orang merasa setara, tidak terhalang oleh hierarki sosial yang biasanya ada dalam interaksi tatap muka.

Tidak hanya itu, respons masyarakat terhadap isu kenaikan pajak pada akhir tahun lalu juga menjadi contoh kuat dari bagaimana Online Disinhibition Effect dapat mendorong disinhibisi positif. Kritik tajam yang disampaikan secara kolektif melalui media sosial berhasil menciptakan tekanan yang memaksa perubahan kebijakan di menit-menit terakhir. Hal ini menunjukkan bagaimana netizen Indonesia menggunakan kebebasan daring untuk menciptakan solidaritas dan mendorong perubahan nyata, meskipun dalam beberapa kasus, kritik tersebut juga diwarnai dengan komentar kasar.

Namun, fenomena ini tidak selalu positif. Kasus Afi Nihaya pada tahun 2023 menunjukkan sisi kompleks dari identitas daring. Afi dikenal sebagai sosok agamis di platform seperti Instagram, tetapi alter egonya di X menampilkan sisi yang lebih bebas dan kontroversial. Sebenarnya, tidak hanya Afi pelakunya, banyak pula netizen Indonesia yang menjaga agar dunia daring dan luring mereka terpisah.

Anonimitas di platform seperti X menciptakan ekosistem yang memperkuat komentar agresif karena norma sosial tidak berlaku secara penuh. Imajinasi disosiatif dan norma berbeda di setiap platform memungkinkan seseorang menciptakan identitas baru yang bertolak belakang dengan citra aslinya. Perbedaan ini sering kali mengundang kritik tajam dari pengguna lain yang merasa tertipu dengan identitas daring seseorang.

Dengan memahami fenomena seperti ini, kita dapat melihat bahwa dunia maya adalah cermin kompleksitas perilaku manusia. Kebebasan yang diberikan oleh ODE dapat menjadi alat untuk memperkuat solidaritas atau mendorong diskusi penting. Namun, jika tidak dikendalikan, kebebasan ini juga dapat memicu polarisasi, konflik, atau bahkan perundungan daring yang merusak.

Mengupayakan Netizen Bijak

Untuk meminimalkan dampak negatif dari ODE, langkah-langkah strategis sangat diperlukan. Meningkatkan literasi digital masyarakat adalah salah satu cara paling efektif untuk membantu individu memahami bahwa perilaku daring mereka tetap memiliki konsekuensi nyata. Platform media sosial juga perlu lebih proaktif dalam mengatur konten, menindak ujaran kebencian, dan mempromosikan norma positif. Selain itu, penting bagi komunitas daring untuk menciptakan ruang yang mendukung ekspresi konstruktif tanpa menyerang secara personal.

Fenomena Online Disinhibition Effect di Indonesia memberikan wawasan penting tentang dinamika masyarakat di era digital. Dunia maya tidak hanya menjadi ruang untuk berkomunikasi, tetapi juga tempat di mana identitas dan perilaku kita diuji dan diproyeksikan. Seperti yang dikatakan John Suler, "The self that acts online is no less real than the self that exists offline—it is simply another facet of who we are." Dunia daring adalah bagian dari diri kita, dengan segala potensi dan tantangannya, yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. (*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan mengirimkan tulisan, menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com.

Baca juga :

Opini : Pengusaha

Prabowo dan Pemberantasan Korupsi

Edmund Husserl : Fenomenologi Abuse Verbal Dalam Game Online

Opini : Tahun

Eutanasia : Antara Hak Individu dan Martabat Hidup

Opini : Guru

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image