Opini

Memacu Indonesia Emas dengan Revolusi Mental dan Revolusi Keadilan

Kota Jakarta. Ilustrasi opini. Foto : republika

Dr Abidinsyah Siregar

Pengajar Reformasi Birokrasi Indonesia

Di suatu pagi, dari group WA para alumnus Lemhannas, saya membaca tulisan Yudhi Latif. Sudah lama tak baca tulisan Yudhi setelah mundur dari jabatan bergengsi Ketua BPIP (Badan Pengarah Ideologi Pancasila). Tulisannya selalu kritis dan tajam menganalisa manajemen pemerintahan dan juga keagamaan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Paragraf pertama, sudah ngagetin, izin saya kutip. “Apakah negara Indonesia bisa diperbaiki dari mekanisme internal pemerintahan? Dengan menyesal harus dikatakan bahwa hal itu hanya mungkin terjadi dengan mukjizat”.

Selanjutnya tertulis : Kondisi politik dan ekonomi di Indonesia saat ini semakin menunjukkan adanya kendali tersembunyi di balik institusi formal negara. Fenomena state capture, yakni perampasan kebijakan negara oleh segelintir elite dan oligarki, menjadi akar dari berbagai masalah struktural yang sulit diperbaiki. Dalam situasi ini, kekuasaan tidak lagi berada di tangan lembaga resmi yang bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan dikendalikan oleh kekuatan bayangan atau shadow state yang bekerja demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Trend Pengabaian

Kita sudah melewati waktu panjang. Kehilangan rencana yang bagi publik penting dan strategis tetapi perencana dan pelaksana, regulator dan operator terkesan bekerja seadanya dan akhirnya tak merasa apa-apa, dan tak terjadi apa-apa, menguap begitu saja.

Lihatlah, rencana strategis 10 tahun World Class Government yang didukung Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010, tahun ini berakhir. Tanpa khabar.

Ada delapan area perubahan yang ditarget selama 15 tahun itu, yakni : Budaya kerja positif bagi birokrasi yang melayani bersih dan akuntabel, penguatan kelembagaan, penguatan peraturan Per-UU-an, penguatan sistem manajemen SDM aparatur, penguatan sistem pengawasan, penguatan akuntabilitas kerja yang dimulai sejak perencanaan.

Andai GDRB 2010-2025 berjalan, kita pasti punya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan pasti tidak ada efesiensi anggaran.

Di awal kepemimpinan nasional Presiden Joko Widodo tahun 2019, dicanangkan Revolusi Mental. Ada harapan besar, dengan Revolusi Mental terjadi perubahan cara berfikir untuk merespons, bertindak dan bekerja. Tentu Revolusi Mental akan semakin mengokohkan delapan area perubahan Reformasi Birokrasi.

Tidak sampai dua tahun kehebohan konsep, kajian, diskusi hingga pelatihan, cetak buku pedoman, ceramah sana-sini, Revolusi Mental menguap dan hilang.

Uniknya tidak ada yang peduli ketika dua momentum tata kelola manajemen kelas dewa tersebut hilang dan terlewati tanpa bekas dan tidak berkontribusi pada perbaikan.

Berita Terkait

Image

Indonesia Jadi Anggota BRICS, Apa Itu BRICS ?

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image