Serba Serbi

Kisah Dosen Indonesia Karantina Covid-19 di AS (Bag 1) Mau ke Jakarta Terdampar di New York

Penulis bersama ayah berfoto di wilayah Sugar Mountain, North Carolina, Amerika Serikat. Foto : Dok Maya
Penulis bersama ayah berfoto di wilayah Sugar Mountain, North Carolina, Amerika Serikat. Foto : Dok Maya

"Kabari nanti kalau sudah sampai Dubai atau Jakarta ya! Akang bakal pantau juga lewat radar flight, " ujar Kang Iman melepas kami sampai pintu pengantar penumpang.

Rabu pagi itu di akhir Januari 2022, di bandara Southwest Florida International (RSW), Fort Myers, Florida tepat setelah 1 bulan 1 minggu aku dan ayahku berada di Florida. Keberadaan kami di Fort Myers ini untuk menjenguk istri kakak yang baru saja recovery dari sakit kanker.

Kami pun bersiap memasuki gate untuk penerbangan kembali ke negara tercinta, Indonesia. Meski harus berpisah dengan kakak tersayang yang sudah tahunan tidak bertemu, namun rasa bahagia sudah menggelayuti hatiku. Raga ini melangkah tegas menyusuri koridor bandara.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Terbayang di pelupuk mata anak-anak yang merindukan kehadiran ibunya, Suami tercinta yang tak pernah lepas telepon sehari pun. Kangen makan rendang padang, bakso, dan bubur di depan kompleks perumahanku. Tersirat pula pekerjaan yang menumpuk dan tugas kuliah yang harus segera diselesaikan.

Karena ayah sudah berusia 78 tahun, demi keamanan dan kenyamanan di bandara dan pesawat, maka beliau menggunakan wheel chair , sehingga kami menuju gate ditemani staf JetBlue (pesawat yang kami tumpangi menuju transit di New York sebelum ke Soekarno-Hatta). Ini sangat membantu, karena dengan mudah kami menuju gate tanpa harus mencari dan bertanya sana sini, sebelum masuk ke pesawat.

Meski bandara internasional, Southwest Florida Airport tidak terlalu besar. Jarak dari tempat chek in ke gate D8 dapat ditempuh dengan jalan kaki. Sepanjang perjalanan pun kami berbincang hangat. Miss Jane yang mengantar pun bercerita bagaimana kondisi pertokoan bandara yang kini agak sepi karena pandemi.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 04.40 pagi waktu Florida. Beberapa toko masih tutup. Ternyata bukan karena masih terlalu dini, tapi memang sejumlah toko tutup karena pandemi.

"Ini masih terlalu pagi, pertokoan masih tutup. Tapi ada juga toko yang tutup karena pandemi, " jawab Jane wanita setengah baya itu ketika kutanyakan dimana kami bisa beli sarapan.

Jane juga menceritakan biasanya di musim winter (dingin) seperti ini, pengunjung bandara ramai. Itu karena masyarakat yang tinggal di kota atau negara bagian yang terkena salju akan berlibur ke Fort Myers Florida yang udaranya lebih hangat. Namun karena pandemi, pengunjung berkurang. Padahal untuk penerbangan domestik di Amerika tidak ada kewajiban PCR. Cukup menunjukkan bukti sudah vaksin saja.

Kami pun sampai di ruang tunggu. Karena waktu boarding masih lama, kami harus menunggu. Jane pun meninggalkan kami, sambil mengatakan akan kembali bila waktunya boarding.

Tepat pukul 05.25 petugas mulai membuka antrean untuk masuk ke pesawat. Karena ayahku penumpang dengan kursi roda, kami mendapat prioritas masuk terlebih dahulu. Jane yang tadi sempat meninggalkan kami, kembali untuk mendorong kursi roda sampai depan pintu pesawat. Akhirnya kami benar-benar berada dalam pesawat. Setelah duduk di kursi sesuai nomor, penumpang lain mulai bergantian masuk.

Selang 20 menit kemudian pesawat bersiap-siap menuju bandara John F Kennedy, New York. Aku lihat sekeliling, ternyata penumpang tidak banyak, bangku kosong mudah ditemui.

Dan pesawat pun lepas landas lebih cepat dari jadwal yang seharusnya pukul 06.00 waktu Fort Myers. Ah, akhirnya kami meninggalkan Florida dengan sejuta kenangan bertemu kakak dan berkeliling sejumlah negara bagian di Amerika.

Penerbangan lancar. Setelah hampir tiga jam mengudara, terdengar pengumuman yang menyatakan penumpang agar bersiap untuk memakai sabuk pengaman. Pesawat akan segera landing. Aku sempat melirik jam tangan, waktu menunjukkan 08.25.

"Wah mendarat lebih cepat ini, nanti bisa cari sarapan di ruang tunggu sebelum lanjut penerbangan ke Dubai," kataku pada ayah. Ayahpun hanya mengangguk sambil tersenyum.

Kami sampai di terminal 8 Bandara John F Kennedy (JFK) International . Seorang petugas sudah siap menyambut dengan sebuah kursi roda. Aku langsung bertanya, “ For Mr Ramlan Sumitradilaga? " yang langsung disambut anggukan oleh wanita tinggi berbadan gelap itu.

Dengan sigap dia membantu ayah untuk duduk di kursi roda. Dengan cekatan dia meletakkan tas kabin ayah di bawah kursi roda. Perempuan itu menanyakan kami akan ke terminal berapa,. Aku jawab maskapai kami Emirates yang akan membawa kami ke Jakarta via Dubai, berada di terminal 4. Kami segera berjalan menuju air train untuk menuju ke terminal 4.

Begitu sampai terminal 4, segera kami menuju lantai 4 tempat check in maskapai Emirates. Pesawat akan berangkat ke Dubai pukul 10.40, transit sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Jam menunjukkan pukul 08.45. Aku senang karena pesawat tepat waktu. Tidak seperti waktu menuju Fort Myers. Saat itu pesawat JetBlue mengalami delay hampir empat jam di bandara JFK.

"Alhamdulillah, check in ga terlambat ini mah," gumamku dalam hati.

Kami pun ada di antrean untuk check in. Sekali lagi, karena ayah menggunakan kursi roda maka kami diberi prioritas untuk melewati antrean yang panjang. Aku pun sampai di counter check in disambut petugas. Setelah saling sapa, kami pun diminta passport. Beres urusan passport kami diminta menunjukkan hasil PCR, karena penerbangan ke Dubai adalah penerbangan internasional. Tidak seperti penerbangan domestik di Amerika yang bebas PCR.

Dengan sigap segera aku menunjukkan hasil PCR yang sudah kami lakukan pada Senin dua hari sebelumnya. Kami tes PCR di Miami, Florida. Jaraknya dua jam perjalanan dengan mobil dari Fort Myers karena hasil PCR bisa kami dapatkan 8- 12 jam dari waktu tes. Sementara di Fort Myers saat itu tidak ada yang bisa mengeluarkan bukti PCR dengan cepat. Menurut info karena permintaan tinggi sehingga stok persediaan PCR habis. Biaya PCR tidak murah, sekitar 179 dolar AS per orang, atau sekitar atau Rp 2,5 juta lebih jika dikurs dengan harga dolar Rp 14 ribu. Sepuluh kali lipat biaya PCR di Indonesia.

Hasil PCR aku dan ayah negatif. Tentu tak akan masalah. Segera saja aku tunjukkan hasil tes PCR yang diminta. Dia memperhatikan dengan seksama lembar bukti PCR itu.

The result is expired. Anda tidak bisa terbang. Harus tes PCR kembali,” katanya.

Aku kaget setengah mati. Aku tentu tidak terima. Aku menjelaskan bahwa kami baru tes hari Senin jadi hasil masih valid sesuai dengan ketentuan maskapai yang menyatakan batas waktu 72 jam. Petugas tetap bertahan dengan argumennya bahwa hasil tes itu sudah kadaluarsa.

Kami kemudian dibawa ke ujung counter agar tidak menjadi antrean panjang. Disana petugas menunjukkan peraturan bahwa 72 jam itu perhitungan di Dubai. Waduh, aku tidak tahu aturan itu. Setahuku hitungan 72 jam itu sebelum berangkat dari Florida atau New York.

Mereka menyarankan kami untuk tes ulang agar tetap bisa terbang. Aku menanyakan dimana kami bisa tes PCR. "Di Manhattan dekat Times Square banyak tempat PCR dan banyak pula yang gratis, tapi dengan hasil baru 24 jam, " jawab petugas.

Itu tentu bukan pilihan yang tepat. Itu artinya kami tak bisa terbang, karena harus menunggu 24 jam sampai hasil PCR keluar.

Aku menanyakan kembali tempat PCR berbayar agar tetap bisa ikut penerbangan sesuai jadwal. Dengan ramah petugas menyampaikan sebaiknya aku mengurus penjadwalan ulang penerbangan. Karena bila memilih PCR yang berbayar pun tidak akan terkejar, mengingat hasil yang tercepat rata-rata satu jam.

Di tengah kepanikan aku coba menghubungi kakak di Fort Myers. Namun belasan kali ditelepon tidak diangkat. Begitu pula ketika mencoba menghubungi ponsel kakak ipar, tidak ada sahutan. (Belakangan aku baru tahu, begitu pesawatku terbang ke New York mereka beristirahat, tidur. Mereka tentu lelah karena malam sebelum keberangkatan bergadang dan tepat pukul 03.30 harus berangkat mengantar kami ke Bandara RSW).

Setelah tidak berhasil menghubungi kakak , akupun mengontak suami dan menceritakan sedikit peristiwa yang baru terjadi. Dia kaget bukan main. Akupun menyampaikan akan rebooking ticket.

Segera aku menuju customer service Emirates yang tidak jauh dari counter check in. Sebelum mengurus rebooking petugas yang mendorong kursi roda memberikan ipad nya untuk ditandatangani bahwa tugasnya sudah selesai sampai disini, karena saya tidak jadi terbang sesuai jadwal.

Setelah memberikan beberapa lembar dolar, akupun mengucapkan terima kasih dan mengambil alih kursi roda. Aku meminta ayah untuk menunggu selama mengurus tiket.

Jadwal ulang penerbangan beres, kami mengambil penerbangan hari itu juga. Pesawat berangkat ke Dubai sekitar jam 10 malam, dan baru akan sampai di Indonesia 30 jam berikutnya. Lama sekali. Tapi aku tak punya alternatif lain. Aku mau bisa secepatnya pulang ke Indonesia.

Segera kami pun turun ke lantai 1, karena berdasarkan info petugas bandara, di lantai 1 ada tempat pemeriksaan PCR yang hasilnya bisa ditunggu. Sampai di lantai 1 segera kami antre di depan lokasi yang dijadikan klinik dadakan untuk tes PCR. Xpress Check namanya.

Aku bertanya ke petugas klinik berapa biaya PCR disitu. "300 dolar, " jawabnya. Hah?? Tentu saja aku kaget. Harganya hampir dua kali hargad PCR Florida. Hampir 17 kali harga PCR di Indonesia yang Rp 250 ribu.

Untuk dua orang, artinya aku harus membayar 600 dolar AS atau sekitar Rp 8,4 juta. Tapi sekali lagi, aku tak punya pilihan lain. Mau bagaimana lagi, daripada tidak bisa pulang segera.

Akupun harus mengisi beberapa data selain menyerahkan paspor Kami juga harus memberikan alamat email, karena hasil akan dikirim juga melalui email. Ayahku mendapat giliran lebih dulu untuk dites, sementara aku mengantre untuk membayar biaya PCR.

Aku segera mengeluarkan enam lembar uang 100 dolar AS ke petugas. Tapi petugas menolak. Waduh, kenapa lagi ini ? "Kami hanya menerima pembayaran dengan kartu, " ujarnya.

"Kartu debit bisa? Saya tidak punya kartu kredit," kataku.

Petugas pun menganggukan kepala. Sambil mengeluarkan kartu debit tiba-tiba ada telepon masuk dari kakakku . Dia pun terkejut membaca pesan WA ku. Karena pesannya saat berangkat, hubungi jika sudah sampai di Dubai atau Jakarta. Dia kira perjalanan lancar dan kami sudah terbang ke Dubai. Aku sampaikan akan melakukan pembayaran dulu, nanti telepon disambung kembali.

Segera kartu debit BNI aku serahkan ke petugas. Aku diminta untuk memasukkan PIN. Dua kali aku coba, tapi tidak bisa. PIN baru diganti sebelumnya dan aku lupa nomor PINya. Aduh. Aku tentu panik. Dari empat rekening bank yang aku punya, hanya dua yang ada kartu ATM nya. Itu pun ATM yang satunya saldo tidak akan cukup untuk membayar PCR. Waduh bagaimana itu ? Aku sudah benar-benar bingung.

Aku langsung menghubungi suami dan memberitahukan ke grup keluarga agar segera mentransfer sebesar biaya PCR . Karena suami tidak punya mbanking, dia harus keluar rumah dulu untuk melakukan transfer. Waktu di Indonesia menunjukkan pukul 21.30 malam.

Kakakku kembali menghubungi dan menanyakan apakah sudah di tes. Aku ceritakan ada kendala di pembayaran. Kakak pun menawarkan untuk menggunakan kartu kreditnya. Segera aku maju lagi ke petugas dan menanyakan apakah bisa menggunakan kartu kredit kakak. Dia menjawab tidak bisa, karena bukan hanya menyebutkan angka dan kode verifikasi saja, tapi kartu kredit harus discan langsung.

Tak berapa lama, pesan WA masuk dari suamiku. Dia bilang, sudah di depan ATM. Tapi ada masalah Teryata dia lupa membawa ATMnya. Waduh, apalagi ini ? Saking paniknya dia buru-buru keluar rumah sampai lupa membawa dompet. Aku di New York panik, yang di rumah tak kalah stress. Kami berkejaran dengan waktu agar tak tertinggal pesawat berikutnya.

Suamiku menghubungi anak kami untuk membawakan kartu ATM. Waktu menunggu terasa lama sekali. Harap-harap cemas, bagaimana jika transfer gagal dilakukan ?

Setelah menunggu sekitar 10 menit akhirnya transfer dari suami pun masuk ke rekeningku. Alhamdulillah. Aku dikhabari anak-anak di rumah sujud syukur karena senangnya.

Aku menuju petugas dan mengunakan kartu debit untuk pembayaran. Ternyata biayanya bukan 300 dolar AS tapi 250 dolar per orang. Beres urusan pembayaran segera aku menuju bilik untuk dilakukan tes PCR.

Keluar dari bilik, ayahku yang dari tadi menunggu dianjurkan duduk di deretan kursi yang terletak di ujung klinik untuk menunggu hasil. Tak lupa pasport pun diberikan kepada kami.

Sambil menunggu, aku menawarkan apakah ayah mau sarapan. Ayah menolak karena di lantai satu hanya ada restoran donat saja. "Makan di ruang tunggu pesawat aja lah, biar tenang dan banyak pilihan, " ujarnya. Kami pun akhirnya kembali duduk.

Selang 45 menit kemudian datang petugas berbaju APD yang membawa beberapa lembar kertas. Petugas tersebut memanggil "Sumitradilaga. Ramlan Sumitradilaga," panggilnya.

Segera saya menjawab"Yes, he is my dad". Petugas dengan APD hijau tersebut pun menghampiri kami, dan menanyakan tanggal lahir ayah untuk memastikan. Setelah saya sebutkan tanggal lahir ayah, petugas tersebut berkata "I am sorry. Your dad can’t fly. He is positive."

"Innalillahi, " kataku spontan. Badanku tiba-tiba saja lemas.

Hasil PCR di Bandara John F Kennedy,  New York, Amerika Serikat,  yang menunjukkan hasil positif Covid-19. Foto : Dok Maya
Hasil PCR di Bandara John F Kennedy, New York, Amerika Serikat, yang menunjukkan hasil positif Covid-19. Foto : Dok Maya

Tidak yakin dengan jawabannya, aku pun mencoba ngotot bahwa kami baru tes Senin sebelumnya di Florida dan hasil menunjukkan negatif. Ayahku pun secara fisik sehat tidak menunjukkan gejala Covid-19 sama sekali. Namun petugas tetap menjelaskan bahwa hasil tes menunjukkan seperti itu.

Di tengah kepanikan yang sangat, segera aku menghampiri ayah yang dari tadi kebingungan. Pendengaran ayah sudah kurang baik, jadi harus menggunakan alat dengar. Masalahnya sehari sebelum kepulangan kami, alat bantu dengar ayah terbawa mandi dan ditemukan dalam bath up sehingga selama perjalanan pulang tidak bisa menggunakan alatnya. Alhasil ayah tidak bisa mendengar dengan jelas dan bila bicara harus agak berteriak.

Wajah ayah memerah mendengar penjelasanku. Jelas sekali dia sangat kecewa dan kesal. Proses ini saja sudah membuatnya lelah. Apalagi tahu hasilnya, positif dan dilarang terbang. Dia sudah sangat ingin pulang ke Indonesia. Setelah itu ayah tertunduk dan terdiam.

Aku masih panik. Pikiranku tak menentu, tidak tahu harus bagaimana lagi. Sambil menunggu hasil PCRku, aku menelepon kakak dan suami. Semua tentu kaget dan panik mendengar ayah dinyatakan positif. Tidak percaya dengan apa yang terjadi. Anak-anak di rumah tak kalah sedihnya. Mereka membayangkan bagaimana kakeknya jika harus menjalani karantina di New York nanti.

Tak berapa lama petugas pun datang memanggil namaku. Hasil PCR menunjukkan aku negatif. "Anda silakan terbang, segera hubungi maskapai Anda,” kata petugas.

Terbang sendirian ? Enak saja. Meninggalkan ayahku yang sudah berumur 78 tahun, dengan fisik yang sakit, dan kurang pendengaran sendirian di New York ? Belum lagi, New York sedang musim dingin. Salju mulai turun. Suhu di luar di bawah nol derajat Celcius.

Tidak mungkin aku terbang, meninggalkan ayah sendirian di tengah dinginnya New York. .. (bersambung)

Maya May Syarah

Dosen Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (Universitas BSI) dan Universitas Ibn Khaldun (UIKA ) Bogor

Baca juga :

Lowongan Dosen Tetap di Universitas Panca Sakti Bekasi

Komunikasi Antarbudaya Pada Perkawinan Campur di Amerika

Keadilan di Media Sosial

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Anda juga dapat berpartisipasi mengisi konten, kirimkan tulisan, foto, info grafis, dan video melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com