Opini

Keadilan di Media Sosial

Foto : pixabay
Foto : pixabay

Anneila Firza Kadriyanti

Co-Founder Obserf.co & Pegiat Literasi Mari Melek Media

Seakan menjadi “kepatutan” bagi institusi formil seperti pemerintah dan aparat penegak hukum yang mengambil sikap untuk tak berpihak pada korban kejahatan seksual, terlebih jika korbannya adalah perempuan. Prasangka dan unsur-unsur moral kerap menjadi tembok tebal yang susah ditembus manakala korban meminta keadilan atas kejahatan seksual yang diterimanya. Itu sebabnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) nangkring menjadi RUU selama enam tahun, dan polisi pun seperti enggan mengurusi laporan kejahatan seksual, terlebih jika kasus tersebut melibatkan petinggi dan pejabat publik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mencari simpati lewat media pun sepertinya 11/12. Sebab justru media kerap membombardir headline dengan menaikkan berita kejahatan seksual dalam bentuk skandal demi meningkatkan rating/oplah agar diburu audiens. Padahal esensi dari media adalah berpihak pada fakta dan kebenaran. Dalam hal pemberitaan kejahatan seksual, media seharusnya memiliki empati serta keberpihakan pada korban dan membentuk opini publik yang mendukung perlindungan warga dari tindak kriminalitas seksual.

Alih-alih mendukung korban, pemberitaan media justru merendahkan korban, terutama bila korbannya adalah perempuan. Pemberitaan media tidak pernah menyoroti akar permasalahan tentang mengapa kejahatan seksual terus terjadi. Media malah mengkomodifikasi tubuh dan kehidupan korban, mengupas secara gamblang kehidupan pribadi korban hingga orang terdekatnya, hingga mengglorifikasi tindakan heroik yang tak perlu.

Maka satu-satunya medium yang mampu menyuarakan keadilan bagi korban kekerasan seksual adalah media sosial. Tahun 2021 lalu menjadi momentum bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk benar-benar merasakan betapa Indonesia telah berada dalam situasi bahaya kejahatan seksual. Sejumlah laporan kejahatan seksual viral di jagat maya. Suara warganet pun mampu menekan pihak kepolisian untuk menindaklanjuti kasus kejahatan seksual yang mereka abaikan. Pada akhirnya desakan netizen juga yang menjadikan wakil rakyat harus berfokus untuk mengesahkan RUU TPKS.

#MeToo dan di media sosial

Ketiadaan harapan terhadap pihak berwenang agar benar-benar mendengar dan berpihak pada kepentingan korban kejahatan seksual telah menyulut reaksi pengguna internet untuk memanfaatkan ruang digital sebagai tempat menggalang dukungan sekaligus mengedukasi publik tentang kekejaman kejahatan seksual.

India, sebagai salah satu negara dengan tingkat kejahatan seksual yang tinggi, telah melakukan kampanye di media sosial untuk mengedukasi tentang bahaya dan dampak kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan. Lewat #ShareYourStory With Your Son, kampanye ini mengajak para ibu di India untuk berbagi kisah tentang diri mereka yang menjadi penyintas kekerasan seksual kepada putra-putra mereka. Dengan demikian diharapkan, kelak laki-laki tidak mengulang kejahatan seksual yang pernah dirasakan ibu mereka kepada perempuan-perempuan lainnya.

Secara global, kesadaran dan keberanian menyuarakan penolakan terhadap kejahatan seksual pun telah dimulai sejak 2017 saat sederet selebritis kenamaan Hollywood berani menguak tentang pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang melingkupi industri perfilman tersebut hingga puluhan tahun. Lewat Gerakan #MeToo, para penyintas kekerasan seksual dengan lantang tanpa rasa takut mengungkapkan kejahatan seksual yang mereka alami di media sosial.

Di Indonesia, aktivitas online dalam memerangi kejahatan seksual selalu mengikuti topik dari kemunculan berita-berita kejahatan seksual terkini. Tiap kali pula suara netizen mampu memberikan tekanan pada otoritas terkait untuk menindaklanjuti kasus kejahatan seksual tersebut. Salah satunya adalah pembuatan petisi daring untuk memboikot pelaku pedofilia Saiful Jamil agar tak lagi muncul di layar kaca setelah bebas dari penjara.

Upaya cancel culture terhadap publik figur yang melakukan kejahatan seksual ini berhasil. Sehari setelah kehebohan dan hujatan dilayangkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), komisi ini akhirnya mengeluarkan edaran agar semua stasiun televisi tidak menampilkan Saiful Jamil demi sensitivitas dan etika kepatutan publik atas apa yang telah diperbuat oleh si penyanyi dangdut cabul tersebut.

Pengadilan jagat maya

Ruang digital adalah sebaik-baiknya pengadilan bagi para penyintas kejahatan seksual untuk mendapatkan perhatian otoritas, serta meminta keadilan. Begitu cepat aksi dilakukan oleh pihak berwenang manakala netizen telah berang dengan kelambanan dan ketidakpedulian aparat/pemerintah dalam menindak kasus kejahatan seksual.

Apa yang terjadi Luwu Timur adalah salah satu contohnya. Kepolisian setempat sempat tidak menggubris laporan sang ibu yang menyatakan jika putri-putrinya telah diperkosa oleh ayah kandungnya. Ketika cerita ini viral di media sosial dan jutaan warganet mengamuk, barulah Kepolisian Republik Indonesia turun langsung agar kasus ini diteruskan dan sang ayah diadili.

Warganet Indonesia memiliki sensitivitas dan kepedulian yang tinggi terhadap korban kejahatan seksual, seakan apa yang dialami oleh para penyintas ini adalah yang dirasakan oleh semua orang juga. Namun perlu diingat, netizen pun harus terus mengawal kasus kejahatan seksual hingga pelaku benar-benar diadili, dan korban pun benar-benar mendapatkan keadilan.

Sebab hanya tekanan, keberingasan, kemurkaan, dan kebencian terhadap pelaku kejahatan seksual yang tersalur lewat jempol ini lah yang mampu menggerakkan aparat dan pemerintah untuk serius menanggapi kejahatan seksual. Mari bersama kita jadikan jagat maya sebagai ruang pengadilan yang patut untuk menghakimi para pelaku kejahatan seksual.

Hidup Netizen +62!

Anneila Firza Kadriyanti

Co-Founder Obserf.co & Pegiat Literasi Mari Melek Media

Baca juga :

Cakap Komunikasi. Kuasai Relasi, untuk Karier yang Menanti

Transformasi Kesehatan Tradisional Indonesia

Euforia Cantik Ala Korea, Ajarkan Gadis Kecil Mencintai Kulit Coklatnya Agar tidak Rasis

Ikuti informasi penting dari kampus.republika.co.id. Anda juga dapat berpartisipasi mengisi konten, kirimkan tulisan, foto, info grafis, dan video melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Opini : Pahlawan

Image

Opini : Diam