Opini

Transformasi Kesehatan Tradisional Indonesia

Pengembangan Kesehatan Tradisional tidak sekedar bicara ketersediaan pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan semata, (Ilustrasi) Foto : Dok Istimewa
Pengembangan Kesehatan Tradisional tidak sekedar bicara ketersediaan pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan semata, (Ilustrasi) Foto : Dok Istimewa

Oleh Abidinsyah Siregar

Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes dan mantan Deputi BKKBN

Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer Kemenkes RI (2011-2013)

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kementerian Kesehatan telah menetapkan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) baru, dan telah pula dilantik tiga orang Pejabat Tinggi Madya (Eselon I) dan 44 orang Pejabat Tinggi Pratama (Eselon II) pada 9 Unit Utama. Banyak perubahan nomenklatur dan mutasi pejabat sebagai konsekuensi transformasi struktural yang dicanangkan Presiden Jokowi, untuk memperkuat pemerintahan menjalankan amanat rakyat hingga tahun 2024.

Ada hal yang mengejutkan banyak khalayak, ketika nomenklatur jabatan Direktorat Kesehatan Tradisional hilang. Tidak ditemukan rasionalitasnya.

Sejak diundangkannya Undang Undang RI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang banyak digagas DPR, Pemerintah diperintahkan menyediakan upaya kesehatan yang terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan merespons dengan dibentuknya Direktorat Kesehatan Tradisional Alternatif dan Komplementer pada tahun 2011 dibawah unit utama Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA (kemudian berganti nomenklatur menjadi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Terakhir masuk kedalam Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, bergabung dengan rejim pengatur fasilitas kesehatan).

Sejak level jabatannya pada posisi Eselon II, banyak terobosan untuk mengejar posisi sejajar dan efektif di seluruh fasilitas kesehatan sesuai amanat Pasal 48 UU No 36 Tahun 2009 dimana Upaya Kesehatan terpadu menyediakan 17 jenis kegiatan, yang pada urutan kedua adalah Pelayanan Kesehatan Tradisional.

WHO menetapkan Pelayanan Kesehatan (health services) dibagi dua, Pelayanan Kesehatan Modern (Modern Medicine) yang juga disebut Western Medicine atau Konvensional, dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Traditional Medicine) yang di Amerika dan Erofah disebut Complementary Alternative Medicine (CAM).

Untuk melaksanakan perintah amanat UU No 36 Tahun 2009 khususnya Pasal 47, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.

Kementerian Kesehatan sebagai Lembaga Pusat yang antara lain mempunyai tugas perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang Kesehatan Tradisional telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No 37 Tahun 2017 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi. Memastikan kedudukan dan peran Kesehatan Tradisional bekerja berdampingan dengan Kesehatan Konvensional.

Tahun berikutnya terbit Peraturan Menteri Kesehatan No 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer yang diberi nama Griya Sehat.

Sejak 2011, didorong tekad Menteri Kesehatan Dr Endang Rahayu Sedyaningsih yang karirnya lama di bidang penelitian kesehatan berkeyakinan penuh terhadap masa depan Kesehatan Tradisional sebagai kearifan Indonesia yang andal. Menkes Endang meninggal karena kanker pada 2 Mei 2012 dan selanjutnya penggantinya Dr Nafsiah Mboi dan berlanjut ke Menkes Prof Nila FA Moeloek yang juga memiliki komitmen tinggi dalam Kesehatan Tradisional.

Ratusan Rumah Sakit Pemerintah/TNI/Polri/BUMN dan swasta serta ribuan Pusat Kesehatan Masyarakat tersebar di seluruh Indonesia mampu menyediakan Pelayanan Kesehatan Tradisional, sebagai komplementer maupun sebagai Integrasi. Bahkan sejak 2012, Pelayanan Kesehatan Tradisional sudah menjadi bahagian dalam paket Pelayanan Kesehatan Haji.

Di era awal, Ditkestradkom berhasil menertibkan berbagai praktik liar kesehatan tradisional, terutama yang berasal dari Cina yang menjanjikan sembuh dalam tiga hari yang juga gencar di televisi. Bekerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sejak tahun 2012 semua praktik dan publikasi lewat media TV berhasil dihentikan.

Di saat yang sama berhasil menapis ratusan tenaga kesehatan tradisional asing, baik yang berasal dari Cina, India, Jerman, dan sebagainya sebagai persyaratan izin melakukan pelayanan. Dalam bidang kedokteran dikenal sebagai “adaptasi”.

Setiap tenaga kesehatan lulusan asing dilakukan ujian terbuka di hadapan ahli yang sama dari Indonesia disaksikan unsur Kementerian Tenaga Kerja, Hukum dan HAM cq Ditjen Imigrasi dan Kemendagri. Dengan demikian setiap Tenaga Kesehatan WNI/WNA lulusan luar negeri mendapat konten sistem yang berlaku di Indonesia.

Kegiatan lainnya yang rutin setiap tahun, diselenggarakan seminar temuan ilmiah dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan perorangan dalam forum Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).

Di samping itu Balitbangkes bersama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu telah melakukan saintifikasi jamu, untuk memastikan secara ilmiah bahan dan ramuan dapat digunakan aman pada fasilitas kesehatan secara formal dan terintegrasi.

Pada Hari Kesehatan Nasional ke-54 Tahun 2018 yang bertema “Aku Cinta Sehat” dan Subtema “Ayo Hidup Sehat, Mulai Dari Kita” Menkes Prof Nila FA Moeloek meresmikan Griya Sehat pertama sebagai model nasional di koridor penghubung lantai 4 Gedung Kemenkes, berhadapan dengan taman-tanaman obat yang memiliki ratusan jenis tanaman obat. Griya Sehat menyediakan pelayanan tradisional seperti akupresur dan akupunktur, juga menyediakan pelayanan herbal dan konsultasi.

Kini Indonesia sudah punya empat Griya Sehat yang berada di Kendal (2020), Batu Malang (2021), Wonosobo (2021) dan Klaten (2021). Dan ada lima calon Griya Sehat dalam proses yang melekat dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Blitar, Bali, Lamongan, Tawangmangu, Kota Batam, dan pada Poltekes Denpasar.

10 tahun Kestrad berkibar

Ketika Presiden Jokowi menyampaikan sambutan secara virtual pada Rakernas ICMI 29 Januari 2022 yang lalu dari Istana Kepresidenan, yang mengingatkan perlunya transformasi struktural untuk meningkatkan daya kompetititif Indonesia, seketika yang terbayang Kesehatan Tradisional akan semakin berkibar.

Persisnya Presiden mengatakan, “Pemerintah sedang bekerja keras mengawal beberapa transformasi besar. Kita sedang melakukan transformasi struktural agar Indonesia semakin kompetitif untuk menghadapi dunia yang hiper-kompetisi sekarang ini”.

Presiden juga menekankan "Kita harus menyejahterakan petani, nelayan, buruh industri”. Kepala Negara menekankan pentingnya investasi dalam mendukung upaya yang tengah dilakukan. Oleh karenanya, pemerintah mempermudah investasi besar, sedang, maupun kecil dari dalam maupun dari luar negeri (Kompas.com).

Harapan Presiden, sepertinya sudah dilihat Sekretaris Jenderal Kemenkes, Kunta Wibawa Dasa Nugraha yang didampingi Staf Khusus Menkes Prof Laksono Trisnantoro saat meninjau Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Kemenkes di Tawangmangu, Jawa Tengah pada 29 September 2021 yang lalu (berita Sehat Negeriku).

Sekjen Kemenkes Kunta Wibawa menegaskan transformasi pelayanan kesehatan di bidang Kesehatan Tradisional menjadi salah satu fokus utama Program Pengembangan Kesehatan. B2P2TOOT di Tawangmangu memiliki potensi besar untuk menjadi pusat learning resources guna pengembangan industri herbal dari hulu ke hilir.

Pada 10 Februari 2022, terjadi hal yang sangat mengagetkan, SOTK Kemenkes 2022 tidak mengakomodir keberadaan Direktorat Kesehatan Tradisional.

Terdengar bisikan miris “Kesehatan Tradisional, diangkat di tangan Menkes Dr Endang, Diturunkan di tangan Menkes Ir Budi”. Pada saat yang sama, kompetensi Pendidikan Kesehatan Tradisional Indonesia masih pada level Diploma dan Peramu.

Seharusnya inilah saatnya kualifikasinya ditingkatkan sebagai Tenaga Kesehatan Komplementer yang setara dengan sarjana, agar bisa berinteraksi dan sinergi dengan para dokter untuk penyediaan pelayanan kesehatan yang terintegrasi.

Yang paling siap dan sudah diakui Kemenkes adalah justru Profesi Kesehatan Tradisional Interkontinental (lulusan yang berasal dari Cina, India, Timur Tengah, dll). Yang mendapat kemudahan berpraktik tanpa diawali penapisan atau adaptasi.

Tantangan dan peluang

Tantangan tinggal sedikit, peluang sangat terbuka dan nilai keekonomiannya sangat prospektif. Perlu percepatan penyediaan SDM Pelayanan Kestrad Indonesia yang terdidik dan terlatih, ketersediaan obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang direkomendasikan untuk memenuhi hak pasien dalam memilih pengobatan.

Sejalan dengan harapan Presiden dan apa yang ditegaskan Sekretaris Jenderal Kemenkes Kunta Wibawa, bahwa transformasi pelayanan kesehatan di bidang Kesehatan Tradisional menjadi salah satu fokus utama Program Pengembangan Kesehatan.

Dengan progres Kebijakan dan Program Kesehatan Tradisional selama 10 tahun terakhir, dan petaka pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir, sangat jelas kebutuhan massif untuk ketersediaan bahan kesehatan yang meningkatkan imunitas dan kualitas kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh wilayah.

Sudah saatnya penyelenggaraan Kesehatan Tradisional di Kementerian Kesehatan di Transformasikan strukturnya lebih tinggi menjadi Badan atau Unit utama Eselon I, sesuai potensi, tantangan, peluang, dan kebutuhannya.

Dengan posisi sebagai Badan, tidak sekedar menjalankan kebijakan tetapi memiliki kewenangan yang legal untuk menyusun kebijakan tehnis, pengembangan model pelayanan, melakukan implementasi hasil riset dan inovasi pengembangan Kesehatan Tradisional, kerjasama dengan Pemerintah Daerah, di samping melakukan evaluasi dan pemantauan secara menyeluruh.

Di samping itu posisi kelembagaan Badan menempatkan kepentingan Kemenkes setara dan sejajar serta memiliki kekuatan untuk bersinergi dengan kementerian/ lembaga lain yang berkontribusi besar dalam pengembangan Kesehatan Tradisional sebagaimana yang dilakukan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Investasi, Kementerian Perdagangan, BRIN, Badan POM, LIPI dan Berbagai Pusat-pusat Pengembangan Kesehatan Tradisional di banyak Perguruan Tinggi. Selain kerjasama dengan WHO dan negara lainnya.

Pengembangan Kesehatan Tradisional tidak sekedar bicara ketersediaan pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan semata, tetapi nasib dan harapan petani/pekebun tanaman obat/herbal, peramu dan penjual, pengobat dan peneliti, juga industri, distribusi dan pasar serta ekspor, yang nilai transaksinya terus meningkat setiap tahun mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah.

Pengembangan Kesehatan Tradisional, memenuhi semua aspek transformatif yang diinginkan Presiden. Selain menjamin kebutuhan bahan untuk sehat bagi mayoritas masyarakat (80-85 persen) yang ingin meningkatkan kualitas kesehatannya.

Juga meningkatkan produk dari berbagai sumber bahan Kesehatan Tradisional, meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, meningkatkan devisa negara, menghadirkan Indonesia sebagai pusat Kesehatan Tradisional Dunia (karena memiliki sebagian besar biodiversity bahan ramuan dari berbagai sumber), sekaligus menjadi kekuatan dalam Kesehatan Wisata (Health Tourism).

Dua tahun akan menjadi ujian untuk menghadirkan upaya pelayanan kesehatan terpadu yang menyeluruh, berkesinambungan sesuai dengan amanat pasal 47-48 UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Indonesia menanti transformasi struktural di bidang Kesehatan Tradisional.

Baca juga :

Ibukota Negara Baru Seharusnya NUSANTARAPURA

Mahasiswa, Teknologi dan Potensi yang Terasah karena Pandemi

Ikuti informasi penting hari dari kampus.republika.co.id. Anda juga dapat berpartisipasi mengisi konten, kirimkan tulisan, foto, info grafis, dan video melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com