Catatan Muram dari Sejarah Maritim Indonesia

Oleh Yenny Narny
Dosen FIB Unand
Di negeri kepulauan seperti Indonesia, laut seharusnya menjadi penghubung harapan. Namun terlalu sering, ia justru berubah menjadi lorong duka yang terus berulang. Setiap tahun, kita membuka lembaran baru tragedi: kecelakaan kapal, korban jiwa, dan berita duka yang kembali memenuhi ruang publik. Namun entah mengapa, setiap tangis itu seperti tak pernah benar-benar mengakar menjadi pelajaran.
Ambil contoh peristiwa 2 Juli 2025: KMP Tunu Pratama Jaya karam hanya setengah jam setelah meninggalkan pelabuhan Banyuwangi menuju Bali. Dalam waktu singkat, 19 orang meregang nyawa dan 16 lainnya lenyap ditelan ombak. Dua pekan kemudian, giliran KM Barcelona 5 terbakar di Laut Sulawesi. Meski ratusan penumpang selamat, tiga orang, termasuk seorang ibu hamil, tetap menjadi korban. Ini bukan sekadar statistik; ini luka yang terulang, lagi dan lagi.
Sejarah maritim kita memang sarat luka. Seperti laut yang luas, jejak kecelakaan di atasnya kerap hilang ditelan waktu dan dilupakan. Tenggelamnya kapal tak hanya bicara soal logam yang karam, tapi juga tentang nama-nama yang tak pernah kembali. Pada 1927, kapal uap Jepang Saka Maroe hilang saat diterjang topan dalam pelayaran dari Manila ke Cilacap. Kapal itu membawa 600 kuli asal Tiongkok. Semuanya tenggelam. Tak satu pun nama dicatat, hanya secuil berita radio yang nyaris hilang ditelan debu arsip.
Tiga dekade setelahnya, tragedi Van der Wijck milik KPM menjadi simbol ketimpangan memori. Kapal ini karam dalam pelayaran dari Makassar ke Batavia. Dari total 55 korban jiwa, 42 adalah penumpang pribumi. Namun dalam laporan resmi, nama-nama mereka hampir tak disebut. Hanya orang Eropa yang mendapatkan tempat dalam catatan sejarah—dengan nama, kisah, dan pemakaman yang layak.
Setelah kemerdekaan, harapan baru muncul. Tapi nyatanya, kecelakaan tetap terjadi, bahkan terus berulang. Pada 1950, kapal Balanta tenggelam di Selat Salayer akibat pusaran air raksasa. Delapan belas awak kapal hilang. Lalu pada 1957, kapal Labadjau milik Pelni karam di Laut Cina Selatan. Enam awak tewas. Ini menjadi kasus pertama yang disidangkan oleh Pengadilan Pelayaran Indonesia. Sebuah awal yang baik, namun sayangnya tak cukup menular menjadi sistem yang lebih kokoh.
Mengapa tragedi ini terus terjadi? Banyak studi menunjukkan bahwa masalahnya bukan tunggal. Kita menghadapi sistem yang rapuh, tak terintegrasi, dan terlalu reaktif. Begitu ada korban, kita buru-buru bertindak, lalu lupa ketika berita tak lagi viral. Padahal, beberapa penelitian telah memberikan rujukan solusi itu. Penelitian Nurwahyudy dkk (2024) menyarankan penggunaan teknologi berbasis Internet of Things (IoT) dan audit keselamatan mandiri. Ini memungkinkan pemantauan kapal secara real-time—mulai dari stabilitas, suhu mesin, hingga distribusi beban. Jika teknologi seperti ini menjadi standar, bukan sekadar proyek percontohan, kita bisa mencegah bencana sebelum terjadi.
Namun Nurwahyudy juga menekankan bahwa teknologi bukan juru selamat tunggal. Kita juga butuh sistem pelabuhan yang aktif mendeteksi potensi deviasi—bukan hanya memeriksa manifest penumpang sekadar menggugurkan kewajiban. Konsep Safety–II mengajarkan bahwa keselamatan lahir dari kemampuan merespons hal-hal kecil sebelum ia menjadi fatal.
Sumber daya manusia adalah mata rantai penting lainnya. Awak kapal harus dibekali pelatihan reguler, bukan sekadar sertifikasi formalitas. Tragedi Zahro Express dan Lestari Maju membuktikan bagaimana kru yang tidak siap bisa memperparah kekacauan saat krisis.
Dan di atas semua itu, dibutuhkan regulasi yang tegas, berani, dan berpandangan jauh ke depan. Banyak kapal di Indonesia yang pada dasarnya adalah kapal barang yang disulap menjadi kapal penumpang. Tanpa penyesuaian struktur keselamatan, ini sama saja seperti menantang maut. Seperti disorot Baig dkk (2024), negara-negara berkembang kerap tertinggal bukan karena tak bisa, tapi karena keselamatan dianggap beban, bukan investasi.
Kalau semua elemen ini—teknologi, sistem, manusia, hukum—bisa kita satukan, maka kita punya peluang besar untuk mengubah wajah pelayaran Indonesia. Dari yang sekadar responsif menjadi benar-benar preventif. Dari laut yang menelan, menjadi laut yang melindungi.
Karena setiap nyawa yang tenggelam seharusnya tidak hilang sia-sia. Mereka layak dikenang, tidak hanya sebagai angka, tetapi sebagai alasan kita untuk berubah. (*)
