Mentariku di Pedalaman Kalimatan
Susmiatiningsih Nuswantari
Pagi itu mentari mulai terik, cahayanya memasuki tiap celah lubang rumahku. Hari-hariku dibangunkan oleh sinar mentari yang berpesan padaku bahwa Allah masih memberiku waktu untuk menikmati kehidupan ini.
Persiapan yang kubuat semalam dengan rapi tidak lupa kubawa di pundak. Sepeda sederhana adalah teman setiaku, mengantarku ke sebuah gubug di tepi sungai. Perjalananku ditemani bebatuan dan ilalang yang tinggi menjulang diselingi dengan pohon-pohon kelapa yang tinggi.
Entah mengapa aku sampai di sini, di tempat yang jarang orang lewati, dan aku hanya berbekal tas punggung beserta sepeda roda duaku yang mulai usang.
“Selamat pagi Pak Guru,” seru mereka berbaju lusuh namun memiliki wajah yang berseri ketika melihatku. Pagiku sudah tak berseri karena mentari lebih dahulu menyapaku, tetapi ketika melihat mereka ku sadari bahwa mereka adalah mentariku yang sebenarnya.
“Selamat pagi semuanya,” jawabku sambil berjalan di tengah-tengah mereka. Kursi dan meja yang terbatas membuat anak-anak berdesakan, tetapi tidak memudarkan semangat mereka.
“Joni, rambutmu tak disisirkah ?” tanyaku sambil menunjuk Joni yang duduk di bangku kedua paling pojok. Seketika teman-temannya melihatnya sambil tertawa.
“Sita, kapan ponimu kau potong? Sudah menutupi matamu.”
“Kau juga, Markus, celanamu pendek sekali, apa tak kedinginan kau?”
“Tak sempat ganti Pak, aku sekolah saja sudah untung,” sahutnya santai.
Di sini jangan harap mereka akan belajar dengan kondisi wangi, rapi, berseragam, bahkan bersepatu. Sudah datang saja itu Alhamdulillah. Kuulang kembali menulis huruf abjad di papan tulis dan mulai mengeja satu-persatu serta membuat contoh kata yang mudah dipahami anak-anak.
“Pak Guru, ketika aku besar nanti aku ingin menjadi seperti Pak Guru,” celetuk Deni. Aku yang sedang mengajarkan mereka membaca akhirnya berhenti sejenak kemudian mendekatinya.
“Kenapa kau mau jadi guru, padahal guru itu tidak bisa membuatmu kaya,” jawabku sambil bergurau dengannya. Murid lainnya hanya bisa tertawa mendengar obrolan kami.
“Sejak ada Pak Guru, aku mulai mengerti huruf. Selain belajar, Pak Guru juga mengajari kami memancing, menanam, dan banyak hal lainnya. Sebelumya kami tidak tahu apa-apa, kau bagaikan mentariku, Pak,” jelasnya di depan teman-temannya dengan lantang.
Hati siapa yang tak tersentuh mendengar ucapan anak yang polos itu. Ketika pemerintah tidak memperhatikan kami yang mengabdi di pedalaman ternyata di sini kami begitu mereka harapkan. Aku paham. Mereka tidak hanya butuh belajar materi pelajaran saja tetapi bagaimana cara dan kemampuan mempertahankan hidup. Maka ketika pembelajaran aku selalu kaitkan dengan alam. Ketika ilmu itu bisa membuat mereka bertahan hidup itulah tujuanku.
“Siapa yang mau ikut memancing, setelah itu lanjut panen singkong?” seruku pada mereka.
“Saya saya saya ” sahut mereka bersamaan sambil mengikutiku keluar kelas.
Ya begitulah keseharianku di sini, di pedalaman Kalimantan, di mana kami dipuji mereka yang ingin belajar. Walaupun perhatian untuk kami masih kurang, yang kami tahu ini adalah ibadah dan mereka, anak-anak pedalaman Kalimatan adalah titipan Allah yang harus dijaga dan dibimbing dengan baik. Salam dari kami di pedalaman, jangan menyerah belajar dan mengajar.
Susmiatiningsih Nuswantari
Guru SD Muhammadiyah 2 Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah
Baca juga :
Cerpen : Bella yang Kini Pendiam
Ikuti informasi penting dan menarik setiap saat dari kampus.republika.co.id. Anda juga dapat berpartisipasi mengisi konten, kirimkan tulisan, foto, info grafis, dan video melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com