Cerpen : Saat Mendaki Gunung
Cerpen : Saat Mendaki Gunung
Karya Titien Suprihatien
Mata Lorena menatap pesan yang baru saja masuk di grup whatsApp prodinya. Lorena tidak habis pikir, mengapa ia harus masuk kelompok yang kawal oleh Giano. Senior resek yang kerap menjadikan Lorena bahan candaan.
Lorena memang tipe gadis pendiam, tetapi bukan berarti ia wanita bodoh yang bisa diolok-olok. Ia mengalah bukan karena kalah, melainkan karena Lorena tidak ingin menghabiskan energi untuk hal-hal sepele. Lorena tidak ingin mempersulit diri sendiri, ia sudah berjanji kepada neneknya untuk menyelesaikan kuliah dalam tiga setengah tahun.
Lorena bukanlah gadis kaya, ia yatim piatu semenjak kecil dan hanya hidup berdua dengan Syarifah neneknya, seorang wanita tua yang bekerja sebagai tukang pijit bayi.
“Re, kamu jadi naik gunung, Cu? Hati-hati, jangan gegabah dan jaga diri,” nasihat Syarifah. Kemarin Lorena memang sudah mengabarkan kepada Syarifah bahwa kegiatan akhir masa orientasi kampusnya adalah mendaki gunung.
“Jadi, Nek, pagi ini Re berangkat.” Memeluk Syarifah erat, Lorena sangat berterima kasih karena neneknya yang selalu mendukung semua kegiatan Lorena.
Semua mahasiswa baru prodi arsitektur yang sedang mendaki gunung tengah istirahat. Lebatnya hutan ditambah suasana lembab khas gunung membuat suasana menjadi temaram karena sinar matahari tidak sempurna mencapai lantai bumi.
Ke mana pun mata memandang yang terlihat adalah gradasi warna hijau dan warna kayu. Pemandangan itu menjadi sangat indah ketika mata menangkap hutan lumut yang hidup menempel di pohon-pohon dan bebatuan.
“Semua silakan lanjutkan perjalanan, kecuali bus malam!” perintah Giano, mahasiswa semester akhir yang mengawal para juniornya.
Mata Giano tertuju pada Lorena, iya, bus malam yang dia maksud adalah Lorena, mahasiswi baru yang semenjak kegiatan orientasi selalu ia jadikan bulan-bulanan entah dengan alasan apa.
“Saya, Kak?” tanya Lorena.
“Ya, iya lah, siapa lagi bus malam di sini,” jawab Giano sinis.
Ia kemudian menjelaskan bahwa Lorena harus membersihkan lokasi tempat mereka istrirahat, sisa makanan dan minuman semuanya harus dibersihkan oleh Lorena seorang.
“Cepat, gue tungguin!” sergak Giano.
Lalu dengan wajah puas ia memandori Lorena yang mulai membersihkan tempat itu. Giano sangat puas bisa mengerjai juniornya. Tak sengaja mata Giano tertuju pada anggrek hutan. Anggrek itu tumbuh melekat di salah cabang pohon tua yang tidak terlalu tinggi.
“Bus malam, elo ambil anggrek itu buat gue!” perintah Giano.
“Maaf Kak, lebih baik anggrek itu hidup di habitatnya, kita jangan merusak hutan,” tolak Lorena tanpa menatap wajah senoirnya itu.
“Bilang saja elo menolak perintah senior.”
Melangkah menuju tempat anggrek tersebut tumbuh, Giano sangat bersemangat hingga tanpa perhitungan ia berusaha meraih anggreknya. Giano tidak menyadari jika pohon tua itu tumbuh miring di tepi jurang yang tertutup tumbuhan rambat liar dengan bunga-bunga ungu dan putih yang sangat rapat.
“Tolong!” teriak Giano yang terperosok ketika menginjak tetumbuhan itu. Reflek Lorena meraih tangan Giano untuk ia tarik, tetapi ia tidak mampu menahan gravitasi bumi sehingga keduanya jatuh terperosok ke dalam lembah yang tertutup lebatnya tumbuhan liar.
~~~
Remuk, itulah yang Lorena rasakan saat ini, entah apa yang terjadi, yang Lorena ingat hanyalah ketika ia berusaha menolong Giano lalu akhirnya ikut jatuh berguling-guling, tersangkut tetumbuhan lalu kembali jatuh.
Lorena berusaha bangun dan melepas ranselnya. Setelah itu ia memeriksa kondisi tubuh, berusaha berdiri dan berjalan, Lorena bersyukur ternyata ia baik-baik saja walaupun banyak lecet di sekujur tubuhnya. Beruntung Lorena menggunakan sepatu juga pelindung kelapa, lutut, dan siku.
Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, Lorena ingat dengan Giano dan pandangannya tertuju pada sesosok yang terkapar tidak jauh dari tempat Lorena saat ini. Lorena berusaha mendekati Giano dan memanggil nama seniornya itu.
“Kak, Kak Giano.” Mengoyang-goyang punggung laki-laki yang tertelungkup di atas semak-semak itu, Lorena cemas karena laki-laki itu tidak bergerak.
Kecemasan Lorena bertambah setelah ia melihat ke sekeliling, suasana mulai gelap suara-suara rimba juga mulai riuh terdengar. Melirih jam tangannya ternyata sudah pukul lima sore, itu artinya hampir lima jam ia tergeletak tidak sadarkan diri di tempat itu.
Lorena bernapas lega, ia berhasil membuat api unggun setelah berusaha hampir setengah jam, ia kesulitan mendapatkan ranting kering sehingga cukup sulit untuk menghidupkan api. Suhu panas dari api membuat kondisi di sekitar Lorena menjadi lebih hangat, ia juga sudah membuat bivak sederhana dari daun-daun lebar yang ada di sana.
Berusaha memindahkan Giano, Lorena menarik tubuh kekar yang tidak sadarkan diri itu. Namun bukannya berpindah, laki-laki itu malah menjerit kesakitan.
“Arrrgh, sakit!” jerit Giano.
“Alhamdulillah, Kak sudah sadar, ayo istirahat di bivak, ini sudah mau malam,” kata Lorena.
“Elo, sial, gara-gara elo nih,” umpat Giano.
“Kita terperosok ke dalam jurang, Kak, dan tidak ada sinyal internet di sini, ini sudah mau malam, jika kakak tidak mau istirahat di bivak ya sudah.” Berdiri, Lorena melangkah meninggalkan Giano yang kesakitan.
“Eh, enak aja, tolongin, tangan gue sepertinya patah.” Memegang tangan kirinya, Giano menahan sakit karena ternyata sendi di sikunya nyaris lepas. Lorena merasa kasihan, ia kemudian kembali mendekat dan mencoba memeriksa siku Giano.
“Tahan dikit,” kata Lorena.
“Eh, mau lo apain, sakit banget!” teriak Giano. Namun, tanpa memberikan aba-aba, Lorena melakukan gerakan seperti memasangkan tangan boneka yang lepas, hingga terdengar lulungan kuat Giano yang kesakitan.
“Aaaaak sakit!” jerit Giano pilu.
“Lagaknya sama junior bukan main, digituin saja sudah menjerit, senior cemen.” Cuek, Lorena melepaskan syal hijau dari pinggangnya, ia memang sengaja mengikatkan syal itu di pinggang bukan di leher. Cekatan Lorena mengikat lengan hingga siku Giano tidak peduli dengan jeritan seniornya itu yang kesakitan.
“Sadis, awas kalau mal praktek,” maki Giano setelah Lorena selesai mengikat tangannya.
“Apa mau, aku lepas lagi?” tanya Lorena.
“Gila!” umpat Giano. Laki-laki itu kemudian berusaha bangun, tetapi sepertinya kakinya terkilir sehingga ia tidak bisa berdiri.
Membuang napas panjang, Lorena mengambil minyak kayu putih dari ranselnya, lalu tanpa permisi ia melihat kaki Giano. Tidak peduli seniornya itu mengaduh menahan sakit, Lorena kemudian mengoleskan minyak kayu putih ke bagian mata kaki Giano yang bengkak. Tidak salah ia menjadi cucu tukang pijat bayi, Lorena memang sering berlatih teknik urut dengan neneknya.
“Ampun! Sudah! sakit!” teriak Giano sahut menyahut tiada henti, tetapi semua lulungan pilu Giano itu tidak digubris oleh Lorena, ia menulikan telinganya.
Lorena terus konsentrasi mengurut dan berusaha mengembalikan posisi otot agar Giano bisa berjalan. Tidak tahan dengan semua rasa sakit, laki-laki itu kembali pingsan.
~~~
Lorena menambahkan ranting-ranting untuk membesarkan api unggun yang mulai redup. Saat ini sudah tengah malam, Giano baru saja sadar dari pingsannya, dan melihat itu Lorena tersenyum karena ia bisa makan. Sungguh dari tadi Lorena sudah kelaparan, tetapi ia tidak tega jika makan tanpa mengajak Giano.
“Aku cuma punya ini.” Mengeluarkan dua bungkus biskuit gandum dan sebotol air mineral dari ranselnya, Lorena tahu jika Giano juga lapar dan haus. Ia memberikan biskuit dan botol air mineral itu kepada Giano, tetapi Giano menolaknya.
“Kita nggak tahu sampai kapan berada di sini, aku bisa jalan dan mencari minum dari embun atau apalah, sedangkan Kakak, tidak bisa, atau mau aku urut lagi kakimu?” ancam Lorena.
Bukannya marah, Giano malah tersenyum dan merasa lucu. Mengapa ia harus mengalami musibah ini?
“Kamu balas dendam?” tanya Giano, yang kemudian dijawab Lorena dengan senyuman dan kepala yang menggeleng.
~~~
Seingat Lorena ia dan Giano sudah dua malam terjebak di lembah itu, sejak kemarin tidak ada lagi makanan, minum pun Lorena dapatkan dari mengumpulkan air yang menetes dari ujung-ujung daun dan bebatuan. Dirinya dan Giano juga mulai demam sejak kemarin. Empat buah obat pereda nyeri dan demam yang dibawa Lorena sudah habis. Lorena mulai merasa tidak akan bisa ditemukan jika hanya menunggu di tempat itu.
“Kak, aku tinggal dulu.” Tanpa menunggu jawaban Giano, Lorena berjalan menuju sebuah pohon yang sudah ia amati sejak kemarin. Perlahan tetapi pasti, Lorena berusaha memanjat pohon itu setinggi mungkin, setidaknya hingga pesan yang sudah ia kirim kirim sejak dua hari lalu terkirim, agar mereka segera mendapatkan pertolongan.
Lorena lelah, ia sudah memanjat cukup tinggi, luka di sekujur tubuhnya sudah tidak terhitung lagi, tetapi belum ada tanda-tanda ponselnya yang lowbatt itu disambar jaringan internet. Pasrah, beberapa saat Lorena hanya duduk di salah satu dahan pohon, hingga ia tersadar bahwa bukan hanya dirinya yang butuh pertolongan, tetapi juga Giano yang sudah demam tinggi dan harus segera ditangani.
Dengan semangat yang kembali muncul Lorena terus memanjat hingga ponselnya bergetar. Ia mengucapkan syukur dan tanpa membuang waktu ia mengirimkan lokasinya saat ini, mengirim pesan suara dan beberapa detik video kepada ketua tingkatnya.
Bersyukur dan berdoa, Lorena memiliki harapan untuk hidupnya dan Giano. Perlahan Lorena berusaha turun, tetapi turun dari pohon besar itu, ia terus berusaha sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya.
~~~
Lorena membuka mata, hanya langit-langit kamar dan dinding serba putih yang ia lihat sebelum seseorang datang mendekat.
“Alhamdulillah, Kamu sudah sadar.” Menatap Lorena intens Giano sangat bahagia, setelah penantian lebih dari tiga bulan akhirnya Lorena membuka mata. Lorena mulai membaik, dengan sabar Giano menceritakan semua kejadian, bahwa Lorena jatuh dari pohon, tetapi berkat usaha Lorena akhirnya mereka ditemukan.
“Maaf, semua karena salahku.” menatap wajah pucat Lorena, Giano tidak kuasa menahan air mata. Walau bagaimana pun ia lah yang menyebabkan gadis itu menderita.
“Aku akan bertanggung jawab, jadi istriku ya,” bisik Giano dan dijawab Lorena dengan pandangan bingung. Ia memang sudah dipindahkan dari ruang ICU dan kondisinya sudah membaik.
“Istri? Kakak demam?” berusaha duduk, tetapi ia belum bisa melakukannya sendiri, tangannya yang patah belum sembuh sempurna seperti tangan giano sudah pulih.
“Demam? Hehe, Aku sehat, Re, Aku yang menyebabkan kamu jadi seperti ini, aku akan bertanggung jawab atas dirimu, Lorena,” jawab Giano.
“Semua ini takdir, Kak, Kakak, tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun, apa yang kita alami adalah musibah.” Tersenyum hambar, Lorena tidak mungkin akan menikah muda sementara ia baru mulai kuliah. Lorena tidak akan mau membuat nenek sedih dan kecewa.
“Tapi, aku mau menjaga kamu seumur hidupku, Re,” sahut Giano.
“Tidak perlu, Kak, insya Allah, aku bisa menjaga diri sendiri.” Merasa risih, Lorena memalingkan wajahnya.
“Aku berhutang nyawa, Lorena,”
“Aku belum memikirkan pernikahan, aku mau kuliah dan membahagiakan nenekku,” jawab Lorena ketus. Giano tersenyum melihat Lorena yang mulai marah. Lorena memang belum tahu bahwa nenek Syarifah sudah merestuinya. Memang Giano yang membantu Syarifah menjaga Lorena selama ia koma.
“Nenek sudah setuju.” Menyilakan Syarifah duduk, Giano senang karena akhirnya bisa melihat senyum menghiasi wajah Nenek Syarifah.
“Re, Giano laki-laki baik, dia yang membantu nenek merawat dan menjaga kamu selama kamu koma, ia tulus mencintai kamu, sayang.” Tersenyum Syarifah tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan karena cucunya sudah bisa melewati masa kritis.
“Nek, tapi, Re, masih ingin melanjutkan kuliah,” bantah Lorena.
“Tentu saja, kuliah sambil menikah, ya, nenek akan tenang jika kamu ada yang menjaga.
“Tapi, Nek,”
“Selama kamu koma, sudah banyak hal yang terjadi, dan Giano dengan setia menemani nenek di rumah sakit menjaga kamu, Re, Nenek yakin, Giano akan bisa membahagiakan cucu Nenek satu-satunya.” Tersenyum, Nenek Syarifah kemudian memeluk Lorena.
“Bagaimana?” tanya Syarifah mengeratkan pelukan. Ia tidak bisa menahan haru ketika merasakan anggukan Lorena di pundak rentanya.(*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan melalui e-mail : [email protected].
Kampus Republika partner of @republikaonline
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika
Email: [email protected]