Info Kampus

Penelitian Mahasiswa Unesa : Makanan Khas Kalimantan, Cincalok Jadi Antibiotik Alami Melawan TB

Penelitian mahasiswa Unesa tentang cincalok berhasil meraih pendanaan Belmawa, Kemendikbudristek RI. Foto : unesa

Kampus—Penelitian mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menemukan cincalok yang merupakan makanan khas Kalimantan bisa menjadi antibiotik melawan Tuberculosis (TB). Penelitian berjudul “Potensi Peptida Bioaktif dari Makanan Lokal Cincalok sebagai Antibiotik Alami terhadap Mycrobacterium tuberculosis” itu berhasil meraih pendanaan Belmawa, Kemendikbudristek RI.

Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta (PKM-RE) dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unesa yang melakukan penelitian itu terdiri dari empat mahasiswa. Mereka terdiri dari Maharani Dyah Arumsari (S1 Pend Kimia, 2021), Ariij Hady Tsana (S1 Biologi, 2021), Bilqis Imroatus Sholiha (S1 Biologi,2021), Firnanda Ayu Rizki (S1 Biologi, 2022), Rihan Ali Abdillah (S1 Biologi, 2022). Mereka di bawah bimbingan Dwi Anggorowati Rahayu, S.Si., M.Si., dan sejumlah alumni seperti A Misbakhus Sururi , Nur Anisa Rosyidah, Dhea Anggraeni dari prodi S1 Kimia, 2019.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Cincalok atau dikenal dengan kecalok merupakan makanan khas daerah Kalimantan Barat yang terbuat dari udang rebon difermentasi. Bahan yang digunakan yaitu udang, garam, gula, serta serbuk bawang,” kata Ketua Tim penelitian Maharani Dyah Arumsari.

Maharani menjelaskan, fungsi penambahan garam yaitu untuk menyeleksi dan menghambat mikroba patogen, sedangkan gula sebagai penyedia glukosa yang menunjang pertumbuhan bakteri, kemudian serbuk garam sebagai penyedap rasa.

“Jadi fermentasi dikatakan berhasil apabila tekstur udang menjadi hancur, berwarna kemerah mudaan, serta memiliki rasa dan aroma yang asam,” jelasnya seperi dilansir laman Unesa.

Fermentasi yang terjadi dalam proses pembuatan cincalok terjadi secara alami, Tim PKM memanfaatkan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus sp., Lactococcus lactis, dan Streptococcus sp. Bakteri tersebut mendegradasi karbohidrat menjadi asam laktat. Selain itu, kandungan protein dalam udang rebon dipecah menjadi peptida bioaktif melalui proses hidrolisis dan fermentasi oleh BAL Lactococcus lactis.

“Tim kami juga melakukan penambahan bakteri Lactococcus lactis subsp. Lactis FNCC 008 dalam pembuatan makanan cincalok yang bertujuan untuk membantu proses fermentasi terjadi dengan optimal serta meningkatkan mutu cincalok,” ucapnya.

Dengan begitu makanan lokal cincalok memiliki kandungan peptida bioaktif yang berpotensi sebagai alternatif pengobatan alami, aman dan efektif untuk melawan Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab penyakit TB.

Maharani menuturkan, penelitian ini melibatkan berbagai tahap, mulai dari pembuatan cincalok, ekstraksi peptida bioaktif dari cincalok, pengujian mutu cincalok meliputi perhitungan jumlah bakteri asam laktat dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC) dan pengukuran pH.

Selain itu dilakukan uji aktivitas antimikroba secara in vitro yang dibandingkan dengan kontrol obat. Sebelum dilakukan pengujian in vitro dilakukan identifikasi senyawa peptida bioaktif yang dihasilkan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan high performance chromatography (HPLC).

Dosen Pembimbing Dwi Anggorowati Rahayu menuturkan bahwa penelitian ini sangat penting mengingat meningkatnya resistensi bakteri TB terhadap antibiotik konvensional.

Penggunaan peptida bioaktif dari cincalok sebagai alternatif alami dapat menjadi solusi dalam upaya pengobatan TB. Selain itu penelitian ini menunjukkan bagaimana kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal dapat menghasilkan inovasi yang berdampak luas.

“Kami berharap, penelitian ini bisa berkontribusi dalam meningkatan mutu makanan lokal cincalok sehingga memiliki manfaat bagi kesehatan serta mengatasi masalah tuberculosis melalui pengembangan obat-obatan alami yang lebih aman dan efektif,” tegasnya. (*)