Banjir Jakarta dalam Catatan Kolonial
Oleh : Yenny Narny (Dosen FIB Universitas Andalas)
Baru dua bulan memasuki tahun 2024, Jakarta telah digenangi oleh banjir untuk yang kesekian kalinya. Terbaru, banjir kembali menggenangi sejumlah kawasan di Jakarta pada Kamis (29/02/2024) dengan ketinggian air rata-rata 15-50 cm. Akibatnya, aktivitas lalu lintas terganggu hingga menyebabkan macet di beberapa ruas jalan, terutama di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, banjir juga turut memeriahkan pesta demokrasi rakyat Indonesia pada 14 Februari 2024 lalu. Kegiatan Pemilihan Umum untuk presiden dan wakil presiden serta Badan Legislatif ini harus mengalami penundaan akibat beberapa TPS di kawasan Jakarta terendam oleh banjir yang disebabkan oleh hujan yang tak henti dari sehari sebelumnya.
Seakan tak ada usainya, banjir terus menghantui Kota Jakarta. Banjir selalu menghampiri Jakarta setiap musim penghujan tiba hingga membuat kota ini diberi julukan “Jakarta Kota Banjir”. Akibatnya, hujan yang berkepanjangan menjadi suatu ancaman bagi masyarkat kota, karena setelahnya wilayah mereka akan terendam oleh banjir yang mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu bahkan dapat menimbulkan korban jiwa serta kerugian materil yang tidak sedikit.
Pemerintah Kota Jakarta harusnya mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut mengingat banjir bukanlah persoalan baru bagi kota dan masyarakat Jakarta. Sejak VOC membangun kota ini di awal abad ke-17, banjir menjadi persoalan yang serius yang diakibatkan oleh berbagai faktor terutama kondisi geografis Batavia (nama Jakarta saat itu) dan perilaku masyarakat yang sulit diubah. (Hanggoro, 2013).
Berbagai surat kabar memberitakan persoalan banjir di Batavia ini. Tak sedikit dari mereka pun turut mengkritik pemerintah yang tidak dapat mengatasi persoalan banjir. Sebut saja surat kabar De locomotief dan Soerabaija Handelsbald yang memberitakan banjir di Batavia pada tahun 1895. Banjir yang terjadi pada tanggal 3 Juli ini disebabkan oleh meluapnya meluapnya air Sungai Tjiliwung (Ciliwung) akibat hujan deras (Telegrammen van het Soerabiasch-Handelsblad Officieel 1985). Untungnya, catatn majalah yang sama menyebutkan bahwa tidak ada korban jiwa karenanya
Empat tahun kemudian, kembali diberitakan Batavia dilanda banjir yang mengakibatkan sejumlah bangunan dan permukiman penduduk terendam (De Locomotief,1899).
Di awal abad ke 20, tepatnya 12 Februari 1904, koran De Sumatra Post (1904), kembali melaporkan banjir di daerah bawah Batavia hingga Weltevreden dan tepat sebulan setelahnya koran Algemeen Handelsblad yang bermarkas di Amsterdam memberitakan (1904), Batavia kembali digenangi oleh banjir.
Masih dalam kurun waktu yang berdekatan, Oktober 1907, air Sungai Tjiliwung kembali meluap akibat ketidakmampuannya dalam menampung air dengan volume yang besar hingga menggenangi kawasan di sekitarnya. Koran Soerabaija Handelsblad melaporkan bahwa banjir ini telah menyebabkan jembatan besar di kampung Melajoe terancam runtuh olehnya.
Banjir besar di Batavia yang pernah tercatat yaitu banjir tahun 1918, ketika Jakarta diguyur hujan lebat selama 22 hari sejak bulan Januari hingga Februari 1918. Akibatnya, separuh wilayah Batavia seperti Weltevreden, Permukiman Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang, Glodok, dan kawasan di sekitarnya terendam banjir dengan ketinggian mencapai 1,5 m. Beberapa kampung pun dilaporkan terbawa air dan ribuan orang mengungsi menyelamatkan diri (De Tribune, 1918).
Berdasarkan surat kabar De Tribune edisi 26 Februari 1918, banjir yang melanda Batavia ini lebih besar daripada banjir yang pernah melanda wilayah Eropa dalam 30 tahun terakhir. Hingga dua hari setelahnya, volume air sungai-sungai di Batavia masih terus meningkat hingga menjadikan peristiwa ini salah satu peristiwa banjir terbesar di Batavia yang pernah terjadi (Nieuwe Tilburgsche, 1918).
Beberapa usaha pemerintah Hindia Belanda pada masa itu seperti membangun dan mempelebar kanal serta bendungan untuk mengontrol aliran air seringkali hanya memperparah masalah alih-alih mengatasinya. Terlebih lagi, pembangunan dan pemeliharaan kanal yang membutuhkan biaya yang besar menjadi alasan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali hal tersebut. Tak hanya itu, pembentukan Burgelijk Openware Werken (BOW) selaku Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 1918 dan Departemen van Verkeer en Waterstaat (Departemen Perhubungan dan Perairan) pada tahun 1933 juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Surat Kabar Soerabaija Handelsblad 13 Maret 1935 menuliskan kritiknya terhadap kinerja pemerintah dalam pembangunan kanal ini. Di mana, meskipun telah terdapat sejumlah kanal, tidak dapat membebaskan Batavia dari banjir. Terutama kawasan yang terletak di sepanjang jalur kereta api Batavia-Priok, Goenoeng Sahari-Antjol, dan Sungai Kali Mati selalu tergenang air selama musim hujan. Hal yang sama berlaku untuk lokasi yang terletak di sebelah barat laut kota, di sekitar parit kota serta di sebelah utara jalan Gang Bebek, Jakarta Utara (Soerabaija Handelsblad, 1935).
Baca Juga: Universitas Terbaik di Asean yang Masuk Top 100 Asia, Kampus Mana Wakil Indonesia ?
Selain Soerabija Handelsblad, surat kabar De Locomotif (1934) juga mengkritik pemerintah melalui artikelnya dengan judul Batavia Onder Water yang jika disingkat, sama dengan nama kementerian pekerjaan umum miliki Belanda tersebut. Koran De Locomotif menengarai hal ini dilakukan sebagai sindiran terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang tidak becus dalam menanggulangi persoalan banjir di kota ini (De Locomotif, 1934).
Jika melihat dari upaya Pemerintah Hindia Belanda yang lebih berfokus pada penambahan, pengerukan, maupun pelebaran kanal terlihat bahwa pendekatan tersebut tidaklah efektif dan cenderung mengabaikan aspek lingkungan serta sosial yang penting. Tanpa memperhatikan ekosistem dan kebutuhan masyarakat lokal, upaya-upaya tersebut dapat menjadi kontraproduktif dan bahkan memperburuk kondisi lingkungan serta risiko bencana seperti banjir.
Bercermin dari kondisi tersebut, Pemerintah Jakarta saat ini harus mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya mengintegrasikan aspek lingkungan, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan pembangunan kota. Refleksi sejarah sangat penting untuk disertakan dalam menanggulangi banjir karena menghadirkan perspektif yang lebih luas. Mencermati kegagalan demi kegagalan dalam pengendalian banjir dari periode kolonial hingga kini, harus dilakukan lebih konseptual dengan mengatasi akar penyebabnya (Gunawan, 2024).
Untuk itu, diharapkan Pemerintah Kota dapat mengambil langkah-langkah strategis yang tidak hanya memperbaiki infrastruktur fisik, tetapi juga menggali solusi berkelanjutan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat serta melindungi ekosistem lingkungan. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, Jakarta dapat menjadi kota yang lebih tahan terhadap ancaman banjir dan menghadirkan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakatnya. (*)
Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : [email protected].
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika