Opini

Menelusuri Jejak Banjir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada Masa Kolonial Belanda

Banjir di Kabupaten Pesisir Selatan cenderung meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Foto : republika

Oleh : Yenny Narny (Dosen FIB Unand)

Hujan lebat yang mengguyur sebagian wilayah Kabupaten Pesisir Selatan sejak Selasa (23/04/2024) sore telah menyebabkan banjir di beberapa kecamatan, merendam ratusan rumah penduduk di daerah tersebut. Sebanyak 10 kecamatan yaitu Koto XI Tarusan, Bayang, Batang Kapas, Sutera, Lengayang, Ranah Pesisir, Linggo Sari Baganti, Basa Ampek Balai Tapan, Ranah Ampek Ampek Hulu Tapan, dan Silaut, mengalami dampak yang cukup parah.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Di beberapa wilayah, air mencapai ketinggian dua meter dan beberapa sungai meluap, terutama sungai yang berada di Kecamatan Koto XI Tarusan, terutama di Kenagarian Duku dan Sawah Liat. Banjir yang terjadi kali ini tidak hanya meghilangkan harta dan benda namun juga nyawa manusia.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan melalui situs resminya melaporkan bahwa korban jiwa mencapai angka 25 orang, dan telah tercatat kerusakan yang signifikan akibat banjir dan longsor, termasuk 1.051 rumah yang mengalami kerusakan berat, 725 rumah mengalami kerusakan sedang, dan 1.661 rumah mengalami kerusakan ringan. Selain itu, bencana tersebut juga berdampak pada 54 rumah ibadah, 41 jembatan, 13 saluran irigasi, 29 fasilitas pendidikan, 64 ruas jalan, 1,09 juta hektar lahan, 81 fasilitas umum dan kantor, empat unit sarana kesehatan, dan 2.221 ekor hewan ternak. Kerugian diperkirakan mencapai 170 millar.

Laporan Kinerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pesisisr Selatan menyebutkan bahwa wilayah di Pesisi Selatan adalah wilayah yang retan terhadap berbagai jenis bencana, salah satunya bencana banjir. Wilayah ini dialiri oleh sungai-sungai besar, dan secara historis, daerah dataran rendahnya diyakini sebagai endapan aluvial akibat banjir purba. Faktor-faktor seperti morfologi lereng, kekuatan batuan, curah hujan ekstrim, dan gempa menjadi pemicu utama banjir bandang di wilayah ini (BPBD Pessel, 2017).

Cerita tentang banjir di Pesisir Selatan bukanlah cerita baru. Berbagai macam catatan sejarah tentang peristiwa banjir yang pernah terjadi jauh di masa lampau dengan mudah bisa ditemukan, terutama untuk periode kolonial, khususnya di awal abad ke-20. Ada banyak catatan terkait musibah banjir yang dapat ditemukan, terutama pada surat kabar yang pernah terbit di berbagai surat kabar pada masa itu.

Salah satunya berita pada surat kabar Sumatra Bode edisi 19 Februari 1903 melaporkan bahwa pada bulan sebelumnya yakni, pada tanggal 18 Januari telah terjadi banjir di berbagai wilayah yang masuk kedalam Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat saat ini. Beberapa wilayah yang dilaporkan terdampak oleh banjir adalah wilayah Air Haji, Amping Parak, dan Inderapura. Sementara itu wilayah Balai Selasa juga turut dilaporkan mengalami longsor akibat curah hujan yang tinggi. Sumatra Bode juga melaporkan bahwa terdapat jalanan yang rusak parah hingga jembatan putus akibat diterjang banjir.

Berikutnya pada tanggal 27 Januari terjadi lagi musibah banjir yang menyebabkan banyak perkebunan hancur. Banjir juga menyebabkan aliran sungai mengalami pergeseran sehingga mulai mengancam pemukiman penduduk sehingga beberapa tindakan kemudian diambil guna memperbaikinya. Meskipun banjir yang terjadi cukup besar, tidak dilaporkan adanya korban jiwa akibat musibah tersebut.

Banjir juga dilaporkan terjadi pada tahun 1907 oleh surat kabar De Preanger Bode edisi 5 Oktober 1907. Banjir terjadi dikarenakan hujan lebat pada tanggal 27-28 September sebelumnya, sehingga menyebabkan sungai di Tarusan dan Batang Kapas meluap. Di wilayah Tarusan terdapat sembilan korban jiwa dengan rincian satu laki-laki, dua wanita dan enam anak-anak. Kerugian juga mencangkup hancurnya 28 buah rumah dan tenggelamnya hewan ternak berupa tiga ekor kerbau dan 50 ekor sapi. Dilaporkan juga bahwa total kerugian di sini mencapai 40 ribu gulden. 

Untuk wilayah Batang Kapas kerugian akibat banjir jauh lebih ringan, bahkan dilaporkan tidak ada korban jiwa di wilayah ini. Selain ada lima buah rumah yang rusak kerugian juga mencangkup tenggelamnya satu ekor kerbau dan 30 ekor sapi. Jembatan di jalan utama Painan-Padang juga dilaporkan hancur akibat banjir tersebut.

Lompat ke tahun 1915, surat kabar De Sumatra Post dan De Preanger Bode edisi 31 Desember juga mengabarkan bahwa telah terjadi banjir di Painan akibat meluapnya Sungai Salido sehingga mengakibatkan kerusakan yang sangat parah. Setidaknya terdapat tujuh korban jiwa akibat banjir tersebut dengan rincian enam orang wanita pribumi dan satu orang Tionghoa. Banjir juga mengakibatkan sawah dari Salido hingga Painan hancur lebur.

Di Pasar Baru 10 buah rumah terendam banjir dan lima lainnya lainnya roboh. Di daerah Lumpo, banjir mengakibatkan dua buah rumah terendam dan menghancurkan persawahan warga. Tambang emas di Sungai Salida juga dikatakan rusak parah akibat banjir tersebut.

Beberapa peristiwa diatas hanyalah sebagai gambaran bahwasanya banjir memang sudah menjadi sebuah bencana yang berulang kali terjadi di Pesisir Selatan. Bahkan di masa-masa yang jauh di masa lampau, ketika wilayah Pesisir Selatan belum dihuni oleh banyak orang seperti saat ini, banjir sudah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat ketika itu. Kita bisa menemukan banyak sekali catatan sejarah mengenai kengerian banjir di wilayah Pesisir Selatan saat itu, baik dalam skala besar maupun kecil sehingga dapat menjadi sebuah daftar yang terlalu panjang untuk dituliskan di sini. 

Baca Juga: Tambang Batubara Ombilin: Riwayatmu Dulu

Pemerintah kolonial pada dasarnya tidak menutup mata atas musibah banjir yang acapkali melanda wilayah Pesisir Selatan, Sumatera Barat tersebut. Seperti dipublikasikan oleh Sumatera Bode edisi 30 Mei 1903, disebutkan adanya pembangunan drainase untuk menampung air rawa di sebuah jalan utama antara perbatasan Air Haji dan Amping Parak.

Drainase dianggap cukup berguna dalam menghadapi banjir, sehingga pembangunan ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kepedulian pemerintah kolonial terhadap persoalan banjir di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan. Namun demikian apapun langkah yang dibuat oleh pemerintah kolonial, tidak benar-benar mampu mengatasi banjir yang terjadi tiap tahunnya di berbagai wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, bahkan hingga saat ini banjir terus menghantui masyarakat dari tahun ke tahun. 

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) intensitas banjir di Kabupaten Pesisir Selatan bahkan cenderung meningkat dalam beberapa tahun belakangan. Dari laporan tersebut diketahui bahwa jumlah banjir di Pesisir Selatan pada tahun 2020 adalah sebanyak 22 kali kejadian. Jumlahnya kemudian meningkat menjadi 40 kali kejadian pada tahun 2021 dan melonjak tajam pada tahun 2022 yang mencapai 77 kali kejadian. Sedangkan untuk tahun 2023 kemarin, belum ada data resmi yang dapat ditemukan.

Oleh karena itu, pada akhirnya banjir di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan merupakan suatu keniscayaan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh masyarakat di sana. Kita mungkin tidak akan pernah bisa benar-benar menghilangkan persoalan banjir di Kabupaten Pesisir Selatan.

Namun kita bisa melakukan langkah-langkah yang dapat mengurangi kerugian akibat banjir, misalnya dengan tidak membangun rumah sekitar daerah aliran sungai. Disamping itu kita juga bisa mencegah banjir jadi makin parah dengan tidak melakukan hal-hal seperti membuang sampah ke sungai, melakukan perambahan hutan, ataupun melakukan pertambangan ilegal di sekitaran sungai.(*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan mengirimkan tulisan, menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com.

Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika