Disrupsi dan Transformasi Jurnalisme
Oleh : Musfialdy
Selama ini industri media dihadapi disrupsi atau persoalan yang menyebabkan gangguan secara signifikan. Disrupsi ini menyebabkan banyaknya industri media mengalami penurunan pendapatan (financial distress). Beberapa industri media harus memberhentikan (PHK) karyawan untuk efisiensi opresionalnya. Bahkan banyak perusahan harus gulung tikar atau menutup oprasionalnya akibat mengalami kerugian yang besar.
Menurut Kovach & Rosenstiel pada tahun 2007, disrupsi yang melanda media dan industrimedia selama ini disebabkan, Pertama, perkembangan teknologi. Teknologi informasi atau teknologi digital seperti internet, telah membuat orang berkomunikasi secara efisien dan efektif. Artinya, teknologi digital memudahkan orang untuk mengakses informasi secara cepat. Di samping itu media digital lebih banyak menyajikan informasi dibandingkan media lain. Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini menyebabkan media digital lebih cepat dan banyak menyampaikan informasi daripada media konvensional.
Dampak lain dari perkebangan teknologi, para jurnalis pada awal-awal perubahan mengalami stres. Akibat perubahan percepatan penggunaan teknologi, banyak jurnalis yang mengalami stres. Namun seiring jalannya waktu, para jurnalis biasa menyesuaikan dan menguasai teknologi tersebut.
Kedua, globalisasi. Globalisasi adalah salah satu yang menyebabkan gangguan pada media (Kovach & Rosenstiel, 2007). Globalisasi adalah dimana informasi diakses dan disebar tidak hanya terbatas pada beberapa negara yang ada. Globalisasi menyebabkan meluasnya cakupan informasi ke seluruh wilayah di dunia. Informasi telah menembus batas-batas negara yang selama ini didukung oleh aturan birokrasi yang kaku. Industri media penyiaran, khususnya televisi sebagai interaksi bisnis yang mereka lakukan secara langsung akan masuk pada pusaran globalisasi.
Globalisasi berdampak pada banyak informasi yang bisa diakses oleh masyarakat pada waktu bersamaan. Dengan meningkatnya informasi secara kuantitas, semakin meningkat pula persaingan dalam merebut perhatian masyarakat. Persaingan yang ditimbulkan oleh globalisasi menjadi pressure bagi media-media mainstream khususnya media televisi. Media mainstream khususnya televisi akan sulit memilih dan menentukan informasi yang disampaikan berdasarkan pangsa pasar yang telah ditetapkan.
Ketiga, konglomerasi. Konglomerasi juga terjadi di industri media saat ini. Konglomerasi saat ini merupakan salah satu yang menyebabkan gangguan terhadap industri media. Banyak perusahaan yang memiliki media-media dalam satu kepemilikan. Konglomerasi menyebabkan media bisa berbagi produksi serta dapat saling memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing unit media yang tergabung dalam satu perusahaan.
Dampak dari konglomerasi media adalah terjadinya penyeragaman isi atau informasi yang sampaikan kepada publik. Tidak ada lagi keberagaman isi (diversity of content) dan keberagaman pendapat (diversity of voice) dalam menyampaikan informasi tentang suatu fenomena yang terjadi. Hal ini dapat mengarah pada penyeragaman opini yang terjadi di masyarakat dalam memandang fenomena.
Dampak konglomerasi yang dirasakan media adalah kuatnya intervensi dari pemilik terhadap isi yang disajikan. Intervensi pemilik ini sering didasari pada kepentingan bisnis dan politik dari pemilik media tersebut. Akibatnya tampilan media menjadi homogen dan informasi sering didasari oleh kepentingan tertentu. Dan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan prinsip media yang harus menjadi lembaga yang independen, objektif, jujur dan netral. Tidak adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) akan membuat penyeragaman opini publik.
Selain tiga distrupsi tersebut pandemi Covid-19 juga menyebabkan distrupsi pada media dan jurnalis. Pandemi Covid 19 telah menghancurkan industri media. Dampak Covid 19 terjadi penurunan pendapatan pada industri media massa seperti media cetak, media penyiaran, media online. Pada media cetak, 71 % dari 434 perusahaan surat kabar yang ada di Indonesia, mengalami penurunan omzet sekitar 40 % (Agus Sudibyo 2020). Sebanyak 50% perusahaan pers cetak telah memotong gaji karyawan sebesar 2%-30% dari jumlah karyawan yang ada. sebanyak 43% media cetak telah melakukan opsi merumahkan karyawan tanpa digaji Terakhir sebanyak 50% perusahaan pers cetak telah melakukan PHK terhadap karyawannya. (IJTI, 2020)
Pada media online terjadi penurunan drastis pendapatan iklan media online sebesar 25%-80% (penurunan revenue). Sebanyak 15 % media online sudah menunda pembayaran gaji dengan penundaan yang bervariatif. Dari data yang dilaporkan Persatuan Radio Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) ke dewan pers sebanyak 600 perusahaan radio telah terjadi penurunan pendapatan sebesar 70%. Sekitar 60% penjualan iklan di radio mengalami penurunan dan pendapatan dari off-air menurun 40%. (IJTI, 2020) Perusahaan radio adalah sebanyak 30% perusahaan radio melakukan pemotongan gaji, sebanyak 60% sampai bulan Maret 2020 sudah mengurangi jam siaran serta hampir semua radio melakukan pengurangan daya pancar. (IJTI, 2020). Menurut Neil R Tobing Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menjelaskan, bahwa menurut hitungan ATVSI terjadi penurunan pendapatan iklan rata-rata sebesar 21% selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia. (ATVSI 2020).
Namun dirupsi ini juga mengakibatkan tranformasi atau perubahan jurnalis dan media. Untuk bertahan industri media dan jurnalis harus bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Transformasi pada jurnalis terjadi pada, seorang juranlis harus bisa menguasai teknologi komunikasi. Jurnalis harus bisa beradaptasi ke teknologi digital, dari segi proses peliputan, koordinasi hingga produksi pemberitaan. Perkembangan industri media juga mengalami transformasi berupa dalam memproduksi baik memperoleh, mengirim dan mengkonsumsi pesan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.(*)
Penulis : Dosen Komunikasi Fak, Dakwah dan KomunikasiUIN Suska Riau