Opini

Pelajaran dari Insiden Turbulensi Singapore Airlines SQ-321, Mengelola Krisis dengan Memprioritaskan Manusia

 Pesawat dengan nomor penerbangan SQ-321 milik Singapore Airlines mengalami turbulensi. Foto: X@fl360aero

Oleh: Frans Ruffino A, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

Kampus--Insiden turbulensi yang menimpa pesawat Boeing 777-300ER milik maskapai penerbangan Singapore Airlines dengan rute Heathrow London - Singapura akhir Mei 2024 sontak menarik perhatian seluruh warga dunia. Betapa tidak, insiden ini terjadi pada maskapai yang menyandang sederet gelar ”terbaik sedunia” setiap tahun tanpa henti dari beragam lembaga pemeringkat penerbangan. Terakhir, 20 Juni 2024, Singapore Airlines untuk kelimakalinya menyabet penghargaan sebagai maskapai terbaik di planet bumi 2023 versi Skytrax, lembaga independen pemeringkatan penerbangan yang berada di Inggris. Sebelumnya, Januari 2024, SIA, sebutan maskapai asal Singapura ini juga menorehkan prestasi sebagai The Best Airliner dari City Traveler Magazine China.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Akibat turbulensi hebat, pesawat dengan nomor penerbangan SQ-321 dialihkan mendarat di Bangkok, Thailand, 21 Mei 2024 pukul 15.45 waktu setempat. Dalam hitungan jam setelah pesawat mendarat, pihak maskapai langsung menyampaikan keterangan resmi melalui cuitan di X (sebelumnya Twitter) dan laman resmi Facebook, sejumlah penumpang mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia. Singapore Airlines menyatakan duka mendalam terhadap keluarga korban.

Hal menarik dan menjadi catatan adalah pernyataan Singapore Airlines di X yaitu, ”Prioritas kami adalah memberikan semua bantuan yang mungkin kepada semua penumpang dan kru di pesawat. Kami bekerja sama dengan pihak berwenang setempat di Thailand untuk memberikan bantuan medis yang diperlukan, dan mengirimkan tim ke Bangkok untuk memberikan bantuan tambahan yang dibutuhkan.”

Pernyataan tersebut menunjukkan sikap maskapai sebagai respon atas krisis mendadak yang menimpa perusahaan dengan langkah cepat, sigap dan tanggap dengan prioritas utama keselamatan penumpang. Mengutip pernyataan Benjamin Franklin, ”Diperlukan banyak perbuatan baik untuk membangun reputasi yang baik, dan cukup satu perbuatan buruk yang mampu menghilangkannya.”

Maskapai penerbangan yang kini sudah berusia 74 tahun menyadari sepenuhnya citra dan reputasi perusahaan dipertaruhkan dalam penanganan insiden turbulensi ini. Langkah-langkah dalam penanganan krisis tersebut sesuai yang disampaikan Andre Griffin dalam tulisannya Crisis, Issues and Reputation Management mengenai external incident-driven risk yaitu, kejadian yang bukan kesalahan perusahaan tetap dapat merusak reputasi jika tidak dikelola dengan baik.

Alih-alih berlindung pada masalah alam ataupun mencari dalih kesalahan teknis sebagai penyebab turbulensi, perusahaan memilih untuk jujur dan terbuka serta fokus memberikan bantuan korban luka dan meninggal juga penumpang yang selamat tetapi tertunda jadwal penerbangannya karena masalah ini. Dalam menghadapi kasus ini, perusahaan mengesampingkan perhitungan untung rugi. Mendasarkan diri pada pemikiran Griffin, saya menilai Singapore Airlines tidak ingin gagal dalam melindungi masyarakat dari skenario terburuk. Maskapai sadar sepenuhnya, apabila gagal dalam mengkomunikasikan situasi terkini, gagal merespons secara operasional dan emosional akan berdampak buruk atau bahkan menghancurkan reputasi.

Dalam menangani krisis, Griffin berpendapat setiap insiden eksternal –seperti halnya turbulensi-- hampir selalu memerlukan respons operasional, strategis, dan komunikasi. Tak heran jika sehari pasca pengalihan pendaratan SQ-321 ke Bangkok, pimpinan puncak organisasi, CEO Singapore Airlines Goh Choon Phong dalam laman resmi Facebook dan X memberikan pernyataan dan tanggapan atas insiden turbulensi melalui pesan video. Selain menyampaikan ungkapan dukacita mendalam, Goh Choon Phong menjelaskan kejadian turbulensi hebat di atas langit Myanmar pada ketinggian 37 ribu feet tersebut.

Singapore Airlines berkomitmen memberikan semua dukungan dan bantuan yang diperlukan kepada para penumpang dan kru serta keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Goh Choon Phong juga melaporkan dari 211 penumpang dan 18 kru pesawat SQ-321 yang mendarat di Bangkok, 143 penumpang dan kru telah diterbangkan ke Singapura 22 Mei 2024 pagi. Sementara 79 penumpang lainnya dan enam kru kabin tetap berada di Bangkok. Angka ini termasuk yang dirawat dan anggota keluarga penumpang.

Dalam kaitan manajemen krisis, untuk memudahkan mencari informasi, pihak maskapai juga memberikan nomor hotline di Singapura, Australia dan Inggris. Laman baik di Facebook maupun X juga terbuka dan menanggapi dengan cepat setiap keluhan. Khusus mengenai tindakan investigasi insiden turbulensi, pihak maskapai siap dan bekerjasama penuh dengan otoritas penerbangan yang relevan.

Masih dalam tahapan krisis menuju pemulihan, lalu bagaimana bentuk kompensasi yang diberikan kepada penumpang baik yang luka maupun selamat? Keputusan yang diberikan perusahaan dalam situasi krisis ini menuai pujian dari masyarakat.

Setiap penumpang mendapatkan uang tunai 1.000 dolar AS sekitar Rp, 16,35 juta saat di Bangkok, semua uang tiket dikembalikan penuh dan mendapat tambahan uang kompensasi ganti rugi akibat penundaan penerbangan sesuai aturan yang berlaku. Pada tanggal 10 Juni 2024, SIA memberikan penawaran uang kompensasi. Bagi penumpang yang mengalami luka ringan mendapat kompensasi 10 riu dolar AS atau Rp 163 juta, sementara penumpang yang mengalami luka serius dan perlu perawatan jangka panjang mendapatkan tawaran kompensasi 25 ribu atau sekitar Rp 407,5 juta.

Uang kompensasi, biaya perawatan rumah sakit, ganti rugi penundaan (delay) untuk ratusan penumpang jelas bukan biaya yang sedikit. Namun, apabila dibandingkan dengan reputasi dan citra yang telah dibangun Singapore Airlnes selama puluhan tahun jelas tidak sebanding. Reputasi merupakan intangible assets, aset yang tidak berwujud, memiliki pengaruh yang sangat luas, tidak ternilai, rentan terhadap perubahan dan apabila jatuh, sulit untuk kembali.

Saat memasuki fase pasca krisis terkait pemulihan reputasi, Griffin menyatakan perlu tindakan memetik pelajaran dengan menerapkan perubahan pada kesiapsiagaan krisis (struktur, proses dan pelatihan) sehingga perusahaan berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengelola krisis di masa depan. Sejalan dengan pemikiran Griffin ini, pasca turbulensi hebat, Singapore Airlines mengubah aturan pelayanan makanan dan minuman panas saat tanda dikenakan sabuk pengaman menyala. Aturan baru ini diterapkan untuk menjamin keselamatan baik penumpang maupun awak pesawat. Memang tidak ada jaminan, turbulensi tidak akan terjadi lagi sehingga langkah-langkah pencegahan jatuhnya korban patut mendapat apresiasi.

Pasca musibah, SQ-321, pesawat Qatar Airways dengan nomor penerbangan QR -107 rute Doha-Dublin, Irlandia, pada tanggal 26 Mei 2024 mengalami turbulensi di atas Turkiye yang mengakibatkan 12 orang terluka. Kasus serupa, seperti dikutip Republika, pesawat Boeing 737 Max 8 milik Korean Airlines KE-189 dengan rute penerbangan Inchoen, Korea ke Taichung, Taiwan mengalami insiden fatal terjun bebas 8.000 meter dalam 15 menit pada tanggal 22 Juni 2024. Akibatnya, 17 orang terluka dan dirawat di rumah sakit.

Semoga penanganan krisis akibat insiden fatal yang terjadi seperti halnya turbulensi yang menimpa SQ-321 akhir Mei 2024 dapat menjadi contoh dan cermin bagi maskapai lain dalam menghadapi situasi krisis yaitu selalu memprioritaskan keselamatan manusia daripada sekadar penyelesaian masalah teknis dan lari dari tanggungjawab dengan mencari kambing hitam.(*)