Aceh dan Sejarah Kegempaannya
Yenny Narny
Dosen FIB Universitas Andalas (Unand)
Gempa bumi adalah bencana alam yang sering mengancam kehidupan masyarakat di Aceh sepanjang sejarah. Salah satu gempa bumi terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia bahkan dunia terjadi di wilayah ini pada akhir tahun 2004, yang dengan jelas menunjukkan ancaman mengerikan dari gempa bumi di bagian barat jauh kepulauan Indonesia.
Bencana tahun 2004 bukan yang pertama dari jenisnya; banyak gempa bumi kuat dan merusak telah tercatat di Aceh dalam berbagai era. Meskipun catatan sejarah gempa bumi setelah era kemerdekaan relatif lengkap, dokumentasi gempa bumi yang jauh lebih tua belum terpelihara dengan baik. Dokumentasi gempa bumi di Aceh baru dimulai selama periode kolonial Belanda. Sebelum itu, tidak ada catatan tertulis tentang gempa bumi di daerah tersebut yang dapat ditemukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Danny Hilman Natawijaya (2015) menggunakan metode Paleoseismologi dan Paleotsunami mengungkapkan bahwa di masa lalu yang jauh, terdapat dua gempa bumi besar dan tsunami di Aceh, tepatnya pada tahun 1390 dan 1450. Berdasarkan penelitiannya, ia memperkirakan bahwa kedua gempa bumi ini setidaknya sekuat gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004.
Menariknya, pada masa itu, Aceh berada di bawah kekuasaan Kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama di nusantara, yang berkuasa dari tahun 1267 hingga runtuh pada tahun 1524. Sayangnya, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan gempa bumi ini dalam berbagai tulisan tentang Kerajaan Samudra Pasai.
Danny (2015) menduga gempa bumi dan tsunami mungkin berperan signifikan dalam runtuhnya Kerajaan Samudra Pasai. Setelah masa pemerintahan Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir (1412–1455), Samudra Pasai tampaknya menghilang dari catatan sejarah. Meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa masih ada penguasa Samudra Pasai setelah itu, hanya sedikit catatan yang ditemukan.
Pendapat ini mungkin benar, karena kerusakan besar yang disebabkan oleh tsunami dapat melemahkan Kerajaan Samudra Pasai dan berkontribusi pada kemundurannya. Temuan dari Earth Observatory of Singapore (EOS), LIPI, dan Ancient Catastrophic Team menunjukkan adanya banyak sisa-sisa bangunan kota kuno beberapa meter di bawah laut di lepas pantai Banda Aceh.
Studi ini menunjukkan bahwa kota kuno ini kemungkinan dihancurkan oleh tsunami pada abad ke-14 atau sebelumnya. Sayangnya, masih belum ada bukti tertulis atau penelitian lebih lanjut untuk mendukung klaim ini.
Pada akhir abad ke-15, tepatnya pada tahun 1496, Kerajaan Aceh Darussalam didirikan, menguasai wilayah Aceh hingga ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1904. Namun, tidak ada catatan tertulis tentang gempa bumi dari Kerajaan Aceh Darussalam yang ditemukan. Dengan demikian, dokumentasi gempa bumi tertua di wilayah ini berasal dari periode kolonial Belanda.
Menurut Katalog Tsunami Indonesia 416–2021, yang disusun oleh Yudhicara et al. (2023), gempa bumi terdokumentasi tertua di Aceh terjadi pada tahun 1837. Bencana ini dilaporkan oleh Wichmann (1918) berdasarkan laporan seorang kapten kapal tentang letusan Gunung Peutsugu (Peuet Sagoe) dan gempa bumi yang terjadi di Lhokseumawe dan tempat-tempat lain, khususnya Banda Aceh. Gempa bumi pada bulan September 1937 dilaporkan berlangsung selama tujuh hari dan menyebabkan kerusakan signifikan di beberapa lokasi, serta gelombang pasang yang kuat di Singapura.
Banyak catatan yang mendokumentasikan gempa bumi dan tsunami di Aceh selama era kolonial Belanda. Gempa bumi dan tsunami selama periode kolonial terjadi pada tahun 1837, 1861, 1885, 1886, 1887, 1888, 1891, 1907, 1922, 1929, dan 1936. Gempa bumi tahun 1936 memiliki dokumentasi terlengkap dari era kolonial, dengan laporan ekstensif di berbagai surat kabar dan foto-foto yang menunjukkan kerusakan di Kuta Raja, area yang paling terkena dampak.
Gempa bumi pada 23 Agustus 1936 menyebabkan kerusakan signifikan di Kuta Raja, dengan sembilan orang tewas dan dua puluh orang terluka. Banyak bangunan yang rusak parah, dan ada gangguan listrik, air, dan layanan kereta api ke Kuta Raja. Dampak gempa bumi ini juga dirasakan di Sabang, Sigli, Lhokseumawe, dan Lhoksukon, meskipun tidak separah di Kuta Raja (Deli Courant, 24 Agustus 1936).
Menurut laporan resmi, kerusakan pada bangunan pemerintah sebesar 25.000 Gulden, bangunan militer sebesar 65 ribu Gulden, dan kerugian pribadi berdasarkan klaim asuransi sebesar 82 ribu Gulden (De Locomotief, 5 September 1936).
Catatan sejarah dengan jelas memperlihatkan bahwa gempa bumi dan tsunami di Aceh adalah bencana kemungkinan akan terus berulang di masa depan. Masyarakat Aceh harus memahami situasi ini dan melakukan upaya kesiapsiagaan serta mitigasi bencana. Pemerintah juga harus mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami untuk mencegah tragedi berulang seperti yang terjadi pada tahun 2004.(*)