Serba Serbi

Kisah Wartawan Meliput Gempa, Badan Bau Berhari-Hari tidak Mandi

Warga yang mengungsi akibat gempa bumi yang melanda Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/22) sekitar pukul 13.21 WIB. Foto : republika
Warga yang mengungsi akibat gempa bumi yang melanda Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/22) sekitar pukul 13.21 WIB. Foto : republika

Kampus—Media massa dan media sosial memberitakan peristiwa gempa bumi yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/22) sekitar pukul 13.21 WIB. Gempa Cianjur yang berkekuatan M 5,6 itu merenggut tak kurang dari 162 nyawa, ribuan bangunan rusak, dan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi.

Gempa bumi menarik untuk diberitakan. Bukan hanya karena peristiwanya yang luar biasa, tapi juga dampaknya bagi masyarakat sekitar. Derita yang dialami korban gempa bumi tidak hanya pada saat kejadian, tapi hari-hari sesudahnya. Apalagi jika skala gempa cukup besar dan menimbulkan banyak kerusakan.

Bagi wartawan yang meliput gempa di lokasi, kesulitan pun tak kurang banyak. Meliput di tengah bencana dalam kondisi serba terbatas tentu membutuhkan keterampilan, keuletan, dan terutama kesabaran.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Berikut adalah pengalaman wartawan Republika Subroto Kardjo saat meliput Gempa Nias tahun 2005. Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di republika.co.id dan republika.id. Tulisan ini juga dilengkapi tips bagaimana meliput di daerah bencana termasuk gempa. Ini kisahnya.

Siap Berangkat Kapan Saja

Oleh : Subroto Kardjo Wartawan, Republika

Senin 28 Maret 2005 sekitar pukul 23.00 WIB, gempa skala 8,7 SR menghantam Pulau Nias, Sumatra Utara. Goncangan bumi yang dahsyat meluluhlantakkan ibu Kota Nias, Gunungsitoli, dan sekitarnya. Tapi belum banyak informasi yang didapat dari lokasi karena saluran telepon selular terputus. Listrik juga padam.

Koresponden Republika di Medan, Sumatra Utara, Nian Poloan, melaporkan tak memungkinkan berangkat ke Nias. Penerbangan ke Nias ditutup karena Bandara Binaka di Kota Gunungsitoli rusak. Usaha untuk menggunakan kapal laut pun belum bisa. Jalur darat dari Medan ke Sibolga juga rusak. Kapal yang akan menuju ke Nias dari Sibolga juga belum tentu ada.

Di Jakarta kami khawatir dengan kondisi di Nias. Apakah Nias akan bernasib sama dengan Aceh yang dilanda gempa dan tsunami di akhir tahun 2004 ? Infomasi dari lokasi benar-benar minim. Dalam rapat finishing redaksi untuk menentukan berita, Selasa 29 Maret 2005 pukul 14.00 WIB, diputuskan harus ada yang berangkat ke Nias secepatnya. Tapi bagaimana caranya ? Nian Poloan yang lokasinya paling dekat tak mungkin berangkat.

Dalam rapat aku nekad saja mengajukan diri untuk berangkat sore atau malam itu. Caranya? Aku sendiri belum tahu. Dalam kondisi bencana, yang paling mungkin berangkat ke lokasi duluan biasanya adalah tentara, tim SAR, atau ormas yang konsen menangani bencana, termasuk gempa.

Beberapa sumber dikontak, tapi belum ada yang bisa berangkat hari itu. Kebetulan Wakil Dirut Utama Republika, Doedi Gambiro, kenal dekat dengan Pangdam Bukit Barisan Mayjen Tritamtomo. Akupun sudah mengenal Tritamtomo waktu liputan ke Natuna beberapa bulan sebelumnya. Sebagai penguasa wilayah teritorial di Sumatra Utara tentu dia akan berangkat ke Nias.

Dari kontakan Doedi dengan Pangdam, aku dipastikan bisa ikut berangkat dengan rombongan Pangdam Rabu, pukul 06.00 WIB dengan helikopter dari Medan. Jadi malam itu harus berangkat ke Medan. Jika menunggu pagi dengan pesawat paling pagi ke Medan, baru ada pukul 06.00 WIB. Jelas akan ditinggal rombongan.

Sekretariat redaksi mencarikan tiket pesawat ke Medan. Dapat. Tapi aku tak punya persiapan apapun. Padahal di Nias nanti tak tahu sampai berapa lama. Mungkin seminggu, bisa juga lebih.

Untuk pulang ke rumah di Depok mengambil barang-barang, sudah tak mungkin. Sudah pukul 16.00 WIB. Pesawat ke Medan berangkat pukul 19.00 WIB.

Jarak kantor di Pasar Minggu ke rumah sekitar 19 km. Paling tidak butuh waktu tiga jam pulang pergi. Apalagi sore hari biasanya macet berat.

Akhirnya aku berangkat dengan bekal seadanya. Pinjam jaket teman dan dua t-shirt dari toko koperasi karyawan Repubika. Selebihnya adalah kemeja dan celana jeans yang kupakai. Kepada istri aku hanya pamit akan liputan gempa di Nias. “Nggak ada reporter yang bisa berangkat?” tanyanya. “Nggak ada,” jawabku.

Di Medan aku dijemput kenalan waktu berangkat haji tahun 2004. Dia membawa berkeliling mencari minimarket yang buka. Sebagian Kota Medan masih gelap gulita. Sebagian besar listrik padam. Kebanyakan tokok tutup. Beruntung ada satu minimarket yang masih buka. Aku membeli pakaian dalam dan snack. Tas ransel penuh dengan makanan ringan. Kira-kira cukuplah untuk bertahan hidup beberapa hari kalau-kalau di Nias nanti tak menemukan makanan.

Malam itu aku tidur di wisma tak jauh dari Markas Pangdam Bukit Barisan. Ajudan Pangdam mewanti-wanti tidak boleh terlambat. Sudah harus sampai di bandara pukul 05.30 WIB. Karena takut kesiangan, tidur pun tak bisa pulas.

Beruntung tidak terlambat sampai di base ops bandara. Sebagian anggota rombongan sudah menunggu termasuk Pangdam. Helikopter super puma berangkat tepat pukul 06.00 WIB. Selain Pangdam ada juga Kasdam dan sejumlah perwira. Aku satu-satunya wartawan yang ikut.

Helikopter mendarat di lapangan bola di Gunungsitoli Kondisi Nias masih luluh lantak karena gempa. Rumah-rumah roboh dan tenggelam ke dalam tanah. Jalan-jalan tak bisa dilalui. Pohon dan tiang listrik bertumbangan menghalangi jalan raya. Listrik masih belum menyala.

Saluran telepon selular tak berfungsi. Beruntung kantor membekali handphone satelit. Karena itu tak kesulitan mengirim berita ke Jakarta.

Selama seminggu berada di Nias, meliput gempa dengan kondisi sulit. Makan seadanya dari dapur umum di basecamp tentara. Kadang terpaksa makan ransum tentara yang rasanya membuat perut mual. Tapi untung persediaan coklat cukup, sehingga tak mengalami kelaparan. Pengalaman bertahun-tahun menjadi pramuka ternuata sangat berguna dalam kondisi meliput gempa begini.

Yang menjadi masalah adalah mandi. Selama seminggu aku hampir tak pernah mandi. Paling bisa cuma cuci muka. Pernah mencoba mandi di sumur warga pada malam hari. Usai mandi badan gatal-gatal semua. Besok paginya aku lihat ternyata air sumur yang dipakai mandi semalam warnanya sudah kecoklatan.

Aku meninggalkan Nias setelah kondisi akibat gempa agak pulih. Sebagian jalan sudah bisa dilalui kendaraan. Bandara bermulai beroperasi. Presiden SBY dan rombongan datang. Kehidupan warga pun mulai berangsur normal.

Di Bandara Polonia, Medan, semua mata memandangiku dengan aneh. Pantaslah, kaos putih yang kukenakan sudah berubah menjadi belang-belang. Jeans biru sudah menjadi kecoklatan. Sepatu tak tahu lagi warnanya apa. Persis gembel. Dan yang paling mengganggu orang-orang mungkin bau. Bisa dibayangkan seminggu tidak mandi.

Aku membeli kaus baru dan sandal. Lalu mandi sepuasnya di toilet bandara. Mungkin inilah mandi ternikmat dalam hidupku. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tak bertemu air bersih.

Tips  Meliput di Daerah Bencana termasuk Gempa

1. Kenali wilayah bencana

2. Jika tak memungkinkan berangkat sendiri, cari cara bisa berangkat bersama tentara atau Tim SAR

3. Persiapan pakaian cukup

4. Bawa makanan ringan, terutama coklat

5. Sebaiknya memakai sandal gunung

6. Jika memungkinkan bawa telepon satelit

7. Pastikan membawa battery HP cadangan

8. Jangan memaksa diri ke lokasi berbahaya sendirian

9. Waspada dengan bencana susulan

10. Cari narasumber yang kompeten saat liputan

Baca juga :

Gempa Cianjur Adalah Gempa Tektonik, Apa Itu Gempa Bumi Tektonik ?

Ini yang Harus Dilakukan Sebelum, Saat, dan Sesudah Gempa Bumi Menurut BMKG

Nagari Malampah Luluh Lantak Akibat Gempa Pasaman, Tim Unand Turun

Unand Padang Kirim Tim Tanggap Darurat ke Lokasi Gempa Pasaman Barat, Sumatera Barat

Rektor Unand Tinjau Langsung Lokasi Gempa di Pasaman Barat

Hindari Dampak Angin Kencang, Ini Layanan Infomasi Cuaca 24 Jam dari BMKG

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id.Silakan sampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com