Serba Serbi

Toxic Friendship Itu Berbahaya, Bagaimana Cara Menghadapinya ?

Pertemanan toksik (toxic friendship) bukan saja tidak sehat, tetapi juga berbahaya.  Foto : careergirlnetwork.com
Pertemanan toksik (toxic friendship) bukan saja tidak sehat, tetapi juga berbahaya. Foto : careergirlnetwork.com

Kampus—Dalam sebuah pertemanan sering seseorang dimanfaatkan dan bahkan disakiti oleh temannya. Namun, di sisi lain, mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari pertemanan yang merusak.

Kondisi ini dikenal sebagai pertemanan toksik (toxic friendship). Dosen Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Nurchayati, PhD, menyatakan bahwa pertemanan toksik bukan saja tidak sehat, tetapi juga berbahaya.

Dia memaparkan ciri-ciri teman toksik yaitu suka merendahkan, mempermainkan dan menjadikan teman sebagai bahan gosip serta senang bikin jiwa kurang tenang dan nyaman. “Teman toksik juga tak segan menyakiti, membanding-bandingkan dan memperlakukan kita sebagai sekadar alat untuk mencapai tujuan pribadinya. Mereka bahkan meracuni pertemanan dengan kebohongan,” jelasnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut Nurchayati, kalau sudah telanjur terjebak dalam toxic friendship, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, batasi pergaulan dengan mereka dan minimalkan interaksi dengannya. Kedua, beri dia saran perbaikan secukupnya. Ketiga, secara langsung dan santun, bicarakan dengannya ketidaksehatan dalam relasi. Keempat, harus berani berkata ‘tidak’ kepadanya. Kelima, utamakan berkawan dengan orang non-toksik.

“Intinya, kita terapkan pembatasan. Jauhkan si teman toksik dari toxic friendship kita. Dengan dia, kita jangan pernah berbagi urusan pribadi, problem keluarga, dan informasi apa pun yang bukan bahan konsumsi umum,” tandas Nurchayati.

Agar kawula muda terhindar dari pertemanan toksik, Nurchayati merekomendasikan empat jurus. Pertama, pelajari dulu karakter umum lingkar pertemanan dan pola perilaku di dalamnya. Kedua, jangan buru-buru dan terlalu gampang melibatkan teman dalam ranah intim kehidupan, seperti urusan pribadi dan keluarga.

Ketiga, jauhi ‘tongkrongan’ atau lingkar pertemanan yang memberlakukan persyaratan keanggotaan. “Misalnya sebelum boleh bergaul dengan teman-teman itu, kita diharuskan membeli dulu barang tertentu. Ini indikator ketoksikan. Maka, hindari berteman dengan mereka,” terangnya.

Keempat, bangun dan rawat rasa percaya diri, misalnya dengan melakukan berbagai kegiatan positif, yang kiranya dapat meningkatkan kualitas hidup di masa kini dan di masa depan.

Dalam menangkal toxic friendship, orang tua memainkan peran strategis, yaitu menjadikan rumah sebagai ‘zona nyaman’ bagi si anak untuk mencurahkan segala aspirasi, unek-unek, dan keluh-kesah, termasuk tentang pertemanan.

Komunikasi lancar dua-arah memungkinkan ayah dan ibu memantau sehat-tidaknya pergaulan anak mereka di luar rumah. "Misalnya, kalau cerita si anak tentang teman-temannya mengindikasikan gejala ketoksikan, maka orang tua bisa lekas menyarankan dia melakukan pencegahan dini.”

Menurut Nurchayati, iperlukan kolaborasi kompak dan komunikasi sehat antara orang tua dan anak. Kedua benteng psikologis ini harus dibangun sejak dini dan dirawat selamanya. “Kolaborasi dan komunikasi dengan orang tua membantu si anak melindungi diri dari bahaya toxic friendship," tegasnya.



Baca juga :

Tips Mengerjakan Skripsi agar Lulus Tepat Waktu dari Dosen UM Surabaya

Bagaimana Mencari Passion di Dalam Diri Kita? Ini Tips dari Pakar

Begini Tips Berinvestasi Menghadapi Resesi 2023 dari Pakar Unair

Merasa Insecure ? Begini Tips Menghadapinya dari Dosen Psikologi UGM

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id.Silakan sampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com