Opini

Ketahanan Nasional dalam Ancaman Kesehatan

Foto: www.freepik.com
Foto: www.freepik.com


Oleh Abidinsyah Siregar *)

Kemampuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia, menjadikan salah satu dari kekuatan spiritual bangsa dan penyelenggara negara untuk menunaikan amanat Kemerdekaan Republik Indonesia. Amanat ini tertuang dalam tujuan nasional sebagaimana tertera pada Pembukaan UUD 1945.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kemampuan ini sangat menegaskan cita-cita untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kuat dan sejahtera. Atas dasar itu, Ketahanan Nasional menjadi prinsip point dalam tata kelola negara, dimana ada harmoni dan sinergi antara pemerintah dan masyarakatnya.

Ketahanan Nasional adalah keuletan daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia (Lemhannas RI). Ketahanan Nasional harus didukung kesiapan pada lima pilar ketahanan, yaitu ketahanan militer, ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan kesehatan, dan ketahanan mental spiritual.

Dalam ancaman global yang sedang terjadi, yaitu pandemi Covid-19, tampak pilar ketahanan kesehatan mengalami tekanan yang massif dan panjang, yang melebar menggoyahkan semua pilar lainnya. Termasuk ketertiban nasional, pangan, energi, mental spititual, tentu termasuk turunannya dibidang ekonomi, pendidikan, dan kehidupan beragama.

Sejalan dengan apa yang sudah pernah terjadi, Indonesia selalu menggagas banyak deklarasi internasional, untuk mendorong adanya gerakan bersama menciptakan dunia yang damai, seimbang dan sejahtera. Tahun 1997, saat jelang memasuki era millenium abad 21, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Bidang Kesehatan Masyarakat ke-4 pada 21-25 Juli 1997 dengan tema “The Players for a New Era”. Di akhir konferensi disepakati deklarasi “Jakarta Declaration on Leading Health Promotion into the 21st Century”. Pesan penting dari Deklarasi ini antara lain adalah “Poverty is the greatest threat to health”.

Dua sisi mata uang

Sejak Direktur Jenderal WHO Mr Tedros Adhanom mengumumkan bahwa dunia dalam status pandemi Covid-19, seluruh negara mengalami tekanan keras dan tak terduga. Ternyata outbreak virus ini tidak sekedar masalah kesehatan, tetapi juga berdampak luas kepada aspek ekonomi, pendidikan, sosial, keluarga dan juga keagamaan.

Di bidang ekonomi, termasuk industri dan perdagangan, memengaruhi rantai pasok global untuk semua kebutuhan manusia. Terjadi kekurangan dukungan dari kedua ujung rantai pasok, yaitu pasokan dan distribusi. Belakangan diperparah dengan menurunnya daya beli karena pendapatan masyarakat yang sangat menurun akibat kehilangan pekerjaan. Sementara alternatif pekerjaan lainpun tertutup. Dampaknya diikuti dengan terjadinya peningkatan pengangguran, kemiskinan dan turunnya daya saing nasional.

Di bidang sosial-politik dan pemerintahan, terlihat lemahnya kapasitas birokrat dan munculnya ego dalam relasi pusat dan daerah. Tampak kebijakan pusat dalam penanganan pandemi dengan konsep PSBB dan PPKM dengan 4 level tidak serta merta daerah berkenan menerima dan melaksanakan. Sehingga episentrum atau pusat ledakan kasus berputar-putar dari satu daerah ke daerah lain silih berganti, sehingga naik-turun kasus terjadi silih berganti.

Belum sempat manusia meningkatkan imunitasnya dan mempraktikkan adaptasi kebiasaan baru, maupun melakukan vaksinasi, sang virus Covid-19 terus bermutasi menjadi varian baru. Akhir 2019 dimulai dengan SAR-Cov 2 varian Wuhan, kemudian bermutasi menjadi varian Alfa (Kode B.1.1.7) yang virusnya berasal dari Inggris. Kemudian varian Beta (B.1.351) yang berasal dari Afrika Selatan, berlanjut mutasi varian Delta (B.1.617.2) yang meledak dari India. Kini varian Omikron dari Afrika, yang lebih luas daya infeksinya namun lebih ringan fatalitasnya.

Semua sudah masuk ke Indonesia. Dan semua masih menularkan. Betapa terbukanya Indonesia. Betapa tingginya lalu lintas manusia keluar dan masuk Indonesia. Virus Covid-19 tidak bergerak, tetapi manusialah yang menggerakkannya.

Saat ini, Februari 2022, melihat pertambahan kasus Covid-19, diperkirakan akan melampaui puncak kasus sebelumnya di Januari 2021 dan Juli 2021. Jika itu terlampaui maka Indonesia menyusul dunia memasuki gelombang ke-3. Langsung atau tidak, boleh jadi situasi yang ada karena tidak diterapkannya sepenuhnya Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dampak terhadap Ketahanan Nasional

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) telah mengukur Indeks Ketahanan Nasional melalui lima gatra ketahanan nasional Indonesia, yaitu : Indeks ketahanan politik, ekonomi, ideologi, sosial dan budaya di setiap provinsi di Indonesia.

Dadan Umar Daihani (Tenaga Profesional Lemhannas) pada suatu webinar menyampaikan bahwa Indeks Ketahanan Nasional sejak terjadinya epidemi Covid-19 menurun dari skore 2,82 pada Desember 2019, menjadi 2,70 pada Juli 2020. Kondisi ini seolah kembali pada tahun 2015. Tidak mengherankan jika sehari-hari banyak muncul “kegaduhan” yang sebenarnya tidak substansial, penuh emosi dan kebencian. Seakan hilang rasa sebangsa.

Kelompok negara G-20 yang sejak 1 Desember 2021 sampai akhir 2022 akan diketuai (presidensi) oleh Indonesia, tetap berkomitmen memelihara Ketahanan Nasional suatu negara dan global menjadikan kesehatan sebagai pilar penting.

Dari negara G-20 diperoleh rata-rata Skor Indeks Ketahanan Kesehatan global sebesar 38,9 poin dari skor 100 poin. Indonesia menempati peringkat ke-13 di antara negara G 20 pada 2021 dengan skor 50,4 poin. Amerika Serikat tertinggi skor 75,9. Menyusul Australia (71,1), Kanada (69,8), Inggris (67,2), Jerman (65,5) dan Korea Selatan (64,4). India yang terendah dengan skor 42,8.

Melihat daftar nama negara di atas, dan melihat fakta sukses/gagalnya dalam penanggulangan Covid-19, dapat dipahami bahwa Ketahanan Nasional ada yang utuh dan ada yang rapuh (fragile state). Negara besar bahkan makmur, bisa jatuh rapuh jika Ketahanan Nasionalnya tidak dibarengi kepemimpinan (komando) yang kuat, serta masyarakat dengan partisipasi dan kepatuhan yang tinggi, bukan kebandelan/stupidity.

Kapasitas dan legitimasi

Cepatnya mutasi virus dengan berbagai varian, mengancam Ketahanan Nasional. Itu menuntut respons cepat dari pemerintah dan masyarakat. Tidak bisa hanya menunggu pemerintah. Semakin lambat upaya pengendalian Covid-19, lambatnya adaptasi kebiasaan baru, akan menyeret kondisi sosial dan ekonomi pada situasi yang memburuk dan mengundang kerawanan serta melemahnya kemampuan Nasional, karena sumberdaya yang semakin terkuras, terbatas dan keraguan yang meluas.

Mengapa Indonesia belum bisa mengatasi dan mengendalikan Covid-19. Upaya vaksinasi Covid-19 yang sudah berjalan 13 bulan sejak Januari 2021 hingga 19 Februari 2022, dari sasaran 208.265.720 orang, telah tercapai vaksinasi 1 diatas 90 persen. Namun vaksinasi ke-2 baru mencapai 67,20 persen. Dengan belum mencapai total minimal 70 persen yang di vaksinasi 1 dan 2, artinya herd immunity (kekebalan komunitas, saling melindungi) belum tercapai. Presiden Jokowi semula mengungkapkan target herd immunity sudah dicapai pada Desember 2021 (CNN, 19 Juli 2021).

Herd immunity yang sesungguhnya bukan rata-rata 70 persen. Tetapi tercapainya herd immunity pada semua level pemerintahan. Dimulai dari tercapainya herd immunity di level desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten dan kota, hingga di level provinsi.

Disinilah makna sesungguhnya Ketahanan Nasional di bidang kesehatan. Seluruh pemerintah sejak level terendah memiliki komando yang kuat berbasis persuasi dan empati, didukung partisipasi kuat dengan kepatuhan yang tinggi dari masyarakat.

Ada beberapa contoh memahami Ketahanan Nasional yang digunakan negara-negara di dunia. Antara lain yang digunakan kelompok negara OECD dan model yang digunakan negara Malawi. Margaretha Hanita (Program Studi Kajian Ketahanan Nasional UI) menulis dalam judul Paradoks Ketahanan Nasional Di Masa Pandemi (2021).

Organisation For Economic Co-operation and Development / Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), mendefinisikan Ketahanan Nasional adalah negara yang mampu menyerap guncangan dan mengubah serta menyalurkan perubahan atau tantangan radikal sambil menjaga stabilitas politik dan mencegah kekerasan. Ketahanan Nasional menunjukkan kapasitas dan legitimasi untuk mengatur populasi dan wilayahnya. OECD menekankan Ketahanan Nasional pada negara/pemerintah yang harus kuat memegang komando pengendalian Covid-19.

Malawi Department of Disaster Management Affair, mendefinisikan Ketahanan Nasional adalah kemampuan masyarakat perkotaan dan pedesaan, rumah tangga, dan individu, untuk bertahan, pulih dan mengatur kembali dalam menanggapi krisis, sehingga semua anggota masyarakat dapat mengembangkan dan mempertahankan kemampuan mereka dari peluang untuk berkembang. Disini, pendekatan Malawi, memperkuat kapasitas orang untuk melawan, mengatasi, memulihkan, dan bangkit kembali.

Merujuk kepada definisi OECD dan pengalaman Malawi, Indonesia perlu menemukan cara baru dan kuat, berbasis komando yang bersih dan kepatuhan masyarakat yang bermuara kepada efektifnya penanganan Covid-19 secara luas, mendidik dan tuntas.

Adaptasi kehidupan baru

Dunia akan terus mengalami ancaman akibat mutasi virus dengan turunan varian yang semakin cepat perkembangannya, disamping kerusakan lingkungan dan masih rendahnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kondisi ini harus mendapat respons dari unsur yang paling dinamis dan menentukan yaitu manusia itu sendiri.

Adaptasi kehidupan baru merupakan keniscayaan (keharusan) yang harus memotivasi seluruh rakyat Indonesia, untuk keluar dari tekanan masalah kesehatan yang semakin membesar.

Ancaman penularan dan kematian, adalah ancaman terhadap Ketahanan Nasional yang sekaligus mengancam tata kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tidak pada tempatnya jika ada unsur pemerintah termasuk di daerah yang tidak memposisikan diri dalam satu-kesatuan komando dalam pengendalian Covid-19.

Manusia adalah pusat dan unsur utama yang dapat mengendalikan kesehatan. Sakit dan sehat sangat ditentukan pola fikir dan gaya hidup manusia. Tingginya prevalensi penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit paru, hipertensi, penyakit ginjal, juga kanker menunjukkan buruknya kualitas kesehatan.

Saatnya pemerintah, masyarakat, serta semua media berkontribusi dan sinergi mencegah dan mengendalikan penyebaran infeksi Covid-19. Dan saatnya pula seluruh unsur melakukan adaptasi kehidupan baru.

Dr Abidinsyah Siregar, DHSM, MBA, MKes

*) Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Mantan Deputi BKKBN/ Mantan Komisioner KPHI/ Mantan Sekretaris KKI/ Kepala Pusat Promkes Depkes RI/ Ses Itjen Depkes RI/ Direktur Pelay,Kestrad Komplementer Kemenkes RI/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand/ Sekretaris Jenderal PP IPHI/ Mantan Ketua Harian MN Kahmi/ Mantan Ketua PB IDI/ Ketua PP ICMI/ Ketua PP DMI/ Waketum DPP JBMI/ Ketua PP ASKLIN/ Penasehat PP PDHMI/ Waketum PP Kestraki/ Penasehat BRINUS/ Klub Gowes KOSEINDO/ Ketua IKAL FK USU/ PP KMA-PBS/ Wakorbid-1 DPP IKAL Lemhannas. Founder GOLansia.com dan pengasuh Kanal-kesehatan.com.Pegiat Kesehatan Tradisional.

Baca juga :

Transformasi Kesehatan Tradisional Indonesia

Ibukota Negara Baru Seharusnya NUSANTARAPURA

Mahasiswa, Teknologi dan Potensi yang Terasah karena Pandemi

Ikuti informasi penting hari dari kampus.republika.co.id. Anda juga dapat berpartisipasi mengisi konten, kirimkan tulisan, foto, info grafis, dan video melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Opini : Pengusaha

Image

Opini : Keluarga

Image

Opini : Tahun

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image