News

Dewan Doktor Hukum Indonesia Soroti Pembenahan Hukum Indonesia

Dewan Doktor Hukum Indonesia menggelar Konferensi Internasionaldi Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)  21 sampai 23 Desember 2022. Foto : dok
Dewan Doktor Hukum Indonesia menggelar Konferensi Internasionaldi Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) 21 sampai 23 Desember 2022. Foto : dok

Kampus—The 1st International Conference on Ethics of Legal Endeavour yang digelar Dewan Doktor Hukum Indonesia (Indonesian PhD Council) menyoroti kekacauan pengembanan hukum praktis (chaotic legal endeavor ) di Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi alarm social yang mengingatkan semua pihak untuk segera menata ulang sistem pengembanan hukum di Indonesia.

Konferensi Internasional yang digelar Dewan Doktor Hukum Indonesia selama tiga hari di Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) menilai penataan ulang ini mencakup semua rangkaian aktifitas intelektual mulai dari penggalian, pengeksplorasian, pemformulasian, pelembagaan serta pelaksanaan hingga mempertahankannya di pengadilan, bahkan paska putusan pengadilan, yaitu pengawasan dan pengembangannya. Sistem hukum mencakup substansi, struktur dan budaya hukum. Gagasan ini mensyaratkan perilaku dan tindakan para pengemban hukum dan masyarakat yang koheren dengan pondasi dalam berkehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan Konstitusi.

Pada hari kedua the 1st International Conference on Ethics of Legal Endeavour menampilkan beberapa narasumber dan speaker. Di antaranya Prof Topo Santoso, Dr TM Luthfi Yazid, Dr Indah Cahyani, Dr Eny Suastuti, Rizania Kharismasari, MH, dan Luh Putu Vera Astri Pujayanti, MH.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Baca juga : Dewan Doktor Hukum Indonesia Gelar Konferensi Internasional

Guru Besar Fakultas Hukum UI Topo Santoso yang juga berperan sebagai salah satu anggota tim penyusun KUHP baru, mengatakan bahwa banyak pasal dalam KUHP yang baru yang merupakan ‘jalan tengah’. Topo mencontohkan Pasal 100 KUHP terkait pidana mati. Pasal ini jelas Topo, sesungguhnya menengahi mereka yang menginginkan penerapan pidana mati secara zakelijk , sementara di sisi lain ada yang menginginkan agar pidana mati tidak perlu diterapkan.

“Pelaksanaan pidana mati dalam Pasal 100 yang mengharuskan ada semacam ‘masa percobaan’ selama 10 tahun (Pasal 100 ayat 1), maka hal ini memberikan waktu jeda kepada si terpidana sebelum pelaksanaan ekseskusi mati,” jelas Topo Santoso.

Yang lainnya Topo menyebut adalah pasal 240 terkait penghinaan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Pasal ini pun dikatakan sebagai ‘jalan tengah’ karena belajar dari masa lalu saat Pasal Hatzaai Artikelen maupun UU No 11/PNPS/1963 tentang subversi.

“Karena kita mengalamai sejarah kelam masa Hatzaai Artikelen dan ketentuan tentang subversi. Di masa Orde Baru terlalu banyak korban dari Pasal Hatzaai Artikelen maupun UU Subversi. Sedikit saja mengkritik penguasa Orde Baru maka dengan mudah dijebloskan ke penjara,” terang Topo.

Di masa Presiden BJ Habibie terangnya, ketentuan tentang subversi ini dicabut. Pertanyaannya, apakah di masa Presiden Joko Widodo Pasal tersebut akan dihidupkan kembali? Menurut Topo Pasal 240 KUHP baru merupakan ‘jalan tengah’.

“Jangan sampai adanya Pasal 240 membuat pejabat pemerintah menjadi baper, misalnya sedikit-sedikit melakukan laporan karena dikritik. Harus dibedakan yang disebut dengan kritik dan fitnah. Kalau terhadap kritik maka seorang pejabat sudah seharusnya terbuka dan menerima dengan sikap positif (if you are opened for criticism, you are on the right track for improvement).”

Selanjutnya, pembicara lainnya juga menyuarakan pentingnya kekoherensian pengembanan hukum. Dr TM Luthfi Yazid menekan pentingnya menata ulang negara hukum yang bersandar pada Pancasila dan Konsitusi.

A constitution without constitutionalism tak ada artinya,” papar Luthfi.

Gagasan ini mendapat tanggapan positif dari panelis dan peserta konferensi lainnya, seperti Prof Saidin dari Sumatera Utara. Dia menekankan pentingnya pengelolaan sumberdaya berbasis keadilan yang sesungguhnya.

“Bukan sekadar artificial ungkapan dan jargon-jargon yang menyesatkan dan menipu publik,” tutur Saidin.

Menanggapi hal ini, Hayyan ul Haq, PhD menyatakan pentingnya penyelenggaraan semua urusan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bersandar pada Pancasila dan Konstitusi. Ia mengingatkan pentingnya semua elemen bangsa untuk berinteraksi, bekerjasama dan bertransformasi bersama dengan melekatkan Pancasila sebagai jiwa sekaligus fondasinya.

“Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa Pancasila bukan saja sebagai the way of life, seperti kata Bung Karno, tetapi juga sebagai ‘takdir’ dalam kehidupan bersama kita (Collective Destiny) di Indonesia,” tegasnya.



Baca juga :

Raih Predikat Summa Cumlaude, Komjen Pol Arief Sulistyanto Lulus Doktor Hukum UPH

Satu Keluarga Lulus Doktor dari FH Unair, Raih Tiga Rekor MURI

Menhub Budi Karya Terima Doktor Honoris Causa UGM

Dosen Sudan Lulus Program Doktor Ilmu Peternakan Unsoed

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id.Silakan sampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

IPC, APHKI, dan DePA-RI Gelar Pekan Apresiasi dan Pendalaman Pengemban Hukum Teoritik III

Image

Ketua Umum DePA-RI : Aparat Penegak Hukum Harus Berbenah

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image