Opini : Berita Gempa Bumi dan Tsunami di Ambon Dalam Catatan Koran Periode Kolonial
Oleh Yenny Narny
Dosen FIB Universitas Andalas (Unand)
Pulau Ambon merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sangat rawan terhadap bencana alam. Kondisi ini dipengaruhi oleh geologi Ambon yang terletak di ujung utara Busur Banda Dalam (Banda Volcanic Inner Arc), sebuah rangkaian gunung api aktif yang terbentuk akibat penekanan lempeng Samudera Australia di bawah lempeng Samudera Asia.
Wilayah ini juga terletak di zona konvergensi lempeng, sehingga pulau ini terkepung dan tertekan dari berbagai arah. Tekanan yang terjadi secara terus-menerus menyebabkan retakan dan patahan pada batuan, yang kemudian terasa hingga ke permukaan sebagai gempa bumi dan dapat memicu tsunami jika proses geologi tersebut terjadi di bawah laut.
Gempa pada tanggal 17 Februari 1674 merupakan salah satu bencana gempa paling merusak dalam sejarah Ambon. Gempa ini menyebabkan kerusakan besar di hampir seluruh wilayah dan diikuti oleh megatsunami.
Ahli geologi Indonesia, Awang Satyana, menyatakan bahwa laporan mengenai peristiwa ini merupakan catatan tertua dan paling rinci mengenai tsunami di Indonesia hingga saat ini (Satyana, 2021). Laporan ini ditulis oleh Georg Eberhard Rumphius, seorang ahli botani Jerman yang juga salah satu korban selamat dalam peristiwa tersebut.
Dalam laporannya, Rumphius menceritakan bahwa gempa yang terjadi pada malam hari ini diawali dengan guncangan tipe gerakan bergelombang yang kuat secara tiba-tiba dari bawah tanah, disusul dengan runtuhnya bangunan-bangunan hingga tak bersisa. Tak lama setelah itu, gelombang tsunami menghantam sebagian besar pesisir Ambon dengan tinggi dan kekuatan yang bervariasi.
Tsunami tertinggi tercatat di pantai utara Pulau Ambon, mencapai ketinggian sekitar ±100 meter dan menyebabkan desa-desa serta bukit-bukit di sekelilingnya tenggelam (Rumphius, 1675). Diperkirakan sekitar 2.465 orang menjadi korban dari peristiwa tersebut (Satyana, 2021).
Gempa ini juga menyebabkan tanah longsor atau longsoran batuan (Pranantyo dan Summins, 2019), berdampak pada hilangnya tanjung dan pantai di Lebahelu serta pantai antara Seyt dan Lima, serta menghancurkan perkebunan dan tambang kapur di Mamala, Eli, Senali, Kaitetu, Seyt, Lebelehu, dan Lima. Hanya daerah Husihol, Hitu Lama, dan Wakol yang terkena dampak cukup ringan dan selamat dari amukan ombak tsunami karena berada di daerah yang lebih tinggi (Rumphius, 1675).
Gempa besar lainnya yang pernah melanda Ambon adalah gempa pada tahun 1898. Pada tanggal 6 Januari, gempa ini menghancurkan Ambon dalam waktu hanya 20 detik. Guncangan ini menyebabkan aliran sungai tertutup oleh longsoran tanah dan gunung-gunung runtuh akibat guncangan yang sangat kuat.
Gempa tersebut juga diikuti oleh tsunami setinggi 27 meter yang menghantam pesisir Ambon. Menurut surat kabar Rotterdamsch Nieuwsblad edisi 14 Januari 1898, badai besar juga menyertai peristiwa ini, menambah kekengerian di Ambon.
Dalam menanggapi bencana mematikan ini, Pemerintah Kolonial membentuk sebuah komite untuk mengoordinasikan upaya bantuan kepada masyarakat yang terdampak dan melakukan evakuasi korban. Komite ini juga bertugas menggalang dana bantuan.
Menurut laporan surat kabar De Locomotief pada 25 Mei 1898, hingga 24 April, sudah terkumpul dana sebesar 13 ribu gulden yang akan didistribusikan untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak serta mendukung upaya pemulihan dan rekonstruksi daerah yang terkena dampak.
Gempa kembali melanda Ambon pada 15 April 1938 dengan kekuatan mencapai 8,4 skala Richter. Surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 16 April tahun yang sama melaporkan peristiwa besar ini. Berdasarkan informasi dalam surat kabar, gempa terjadi tengah malam dan membuat banyak orang terbangun dalam suasana mencekam.
Guncangan kuat ini juga mengakibatkan jam-jam berhenti berdetak. Gempa berlangsung selama 1 menit, menyebabkan banyak rumah batu runtuh dan menimbun orang-orang yang tidak sempat melarikan diri.
Berbagai catatan dan surat kabar lama di atas menunjukkan kerentanan Ambon terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Sejak masa Pemerintah Kolonial, Ambon memang sudah dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan bencana alam di Hindia Belanda.
Beberapa surat kabar bahkan memberitakan hal ini dan menjadikannya pembelajaran bagi daerah lain yang juga rentan terhadap bencana. Sebagai contoh, Surat Kabar Sumatra Courant edisi 4 November 1899 menulis artikel tentang dampak gempa di Ambon dan menyarankan menjadikannya sebagai pembelajaran untuk Pesisir Barat Sumatra, termasuk penggunaan kayu sebagai bahan utama untuk membangun rumah yang tahan gempa.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat dan pemerintah yang seakan melupakan peristiwa tersebut dan kembali membangun rumah-rumah dari batu. Pada gempa Ambon tahun 1938, pemerintah bahkan sempat melarang pembangunan rumah berbahan tembok sepenuhnya. Rumah dibangun dengan tembok setinggi 1 meter dari tanah dan dilanjutkan menggunakan kayu. Namun, kenyataannya, jumlah bangunan dari batu semakin banyak dan mendominasi dibandingkan bangunan berbahan kayu.
Meskipun berbagai bencana gempa bumi dan tsunami telah mengguncang Ambon sepanjang sejarahnya, menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana alam, implementasi kebijakan dan pemahaman masyarakat mengenai konstruksi tahan bencana masih belum sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih berkelanjutan dan terintegrasi dalam meningkatkan kesadaran, edukasi, dan penerapan standar pembangunan yang tahan gempa untuk memitigasi risiko bencana di masa depan. (*)