Opini

Opini : Mahasiswa

Ilustrasi Opini Mahasiswa. Foto : republika

Dr Encep Saepudin, SE, MSi

Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Tidak semua orang bisa menjadi mahasiswa. Namun semua orang ingin menjadi mahasiswa, kecuali yang ngga mau.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mahasiswa adalah siswa yang maha. Kelebihan siswa yang maha ini dirancang dapat mengangkat derajat diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bahkan negara. Yang normatifnya tertuang dalam Perpres No 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Tempat belajarnya dinamakan kampus. Diambil dari bahasa Yunani, campus, yang berarti lapangan luas. Lapangan itu merupakan tempat mahasiswa melahirkan gagasan brilian, merisetnya, mempraktekannya, serta mewujudkannya.

Kesemuanya itu terangkum dalam bingkai Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran, riset, dan pengabdian

Pembelajaran. Mengasah intelektual dan kompetensi dalam pembelajaran di dalam dan luar kampus. Muaranya untuk diri sendiri.

Riset. Mengasah penalaran dan melahirkan gagasan brilian demi perubahan semesta alam. Muaranya untuk kemaslahatan masyarakat dan lingkungan.

Pengabdian. Membaur di tengah masyarakat dan industri untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah masyarakat. Muaranya untuk inovasi dan kolaborasi.

Sayangnya, kagak semua masyarakat dan bahkan mahasiswa itu sendiri yang memahami Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut. Ospek belum optimal mengubah transisi individu dari siswa menjadi mahasiswa.

Jadilah ke kampus hanya pembelajaran, sekadar meraih nilai A, B, C, D, E, dan K. Sedangkan riset dan pengabdian diabaikan sebagian mahasiswa. Sungguh, ini kesalahan fatal.

Mayoritas masyarakat dan orang tua pun kurang memahami perbedaan sekolah dan kampus sehingga pertanyaan pada mahasiswa sama, yaitu berapa nilai IPK-nya? Padahal selayaknya pertanyaan pada mahasiswa adalah:

1. Ngapain aja selama kuliah di kampus?

2. Kamu ikut organisasi apa selama di kampus?

3. Apa mahakarya inovasimu pada masyarakat?

4. Apa kegiatan kamu kalau kagak aktif di kampus?

5. Pokoknya tanyakan seputar aktivitasnya dalam riset dan pengabdian.

Tri Dharma Perguruan Tinggi selaras dengan firman Allah Swt dalam QS Al Imran : 191, yang berbunyi: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka".

Mahasiswa adalah siswa yang maha pemikir dimana pun. Lagi diri. Lagi duduk. Lagi bengong. Lagi berbaring. Bahkan lagi merem pun masih harus berpikir!

Begitulah ciri khas civitas akademika, yaitu berbudaya ilmiah (berpikir nalar). Mahasiswa berperan menyingkirkan mitos dan sajen untuk perubahan, dan mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Memikirkan inovasi yang akan diciptakan untuk perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Itulah kenapa mahasiswa disebut agen perubahan (agent of change).

Ini beneran, lho. Berbagai perubahan di berbagai negara di dunia justru dipelopori dan digerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa menjadi isu panas di berbagai negara Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika sejak dulu kala hingga sekarang. Bermula dari menuntut kebebasan kampus, isu geopolitik, isu lingkungan, bahkan hingga isu apa pun yang membuat masyarakat makin berkemajuan.

Tiada yang ditakutkan mahasiswa. Sebab idealisme, pengetahuan, teknologi, dan relijius menjadi pondasi dan pegangannya.

Belanda saja yang sudah mencengkram Nusantara selama ratusan tahun ditendang mahasiswa yang bergabung dalam Budi Utomo. Mahasiswa pula yang menginisiasi Kongres Pemuda 1928 sehingga berkumandang Sumpah Pemuda. Yang muaranya adalah melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

UNESCO melaporkan sebanyak 254 juta mahasiswa terdaftar di sejumlah universitas di seluruh dunia per 2024. Jumlah kampus terbanyak di Asia, sedangkan populasi mahasiswa terbanyak terdapat di negara-negara maju.

APK perguruan tinggi Indonesia 30% (artinya hanya 30% usia 19-23 tahun yang sedang menyandang mahasiswa, BPS 2024). Kalau mau ideal dan menyambut Indonesia Emas selayaknya APK PT-nya minimal 50%.

Merujuk data Dirjen Dukcapil, populasi sebanyak 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Ternyata rasio populasi yang pernah mengenyam pendidikan tinggi (D3-S3) hanya 6,41%.

Berarti masih jauh dari rasio ideal. Sebab biangnya, katanya, SPP Mahal! Itulah fakta dan suatu kenyataan pahit.

Tapi jangan karena biaya mahal itu lantas kampus mau ajukan kelola tambang. Kagak nyambung banget. Apa kagak punya gagasan brilian yang lebih masuk akal demi makin banyak anak bangsa menyandang mahasiswa? (*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan mengirimkan tulisan, menyampaikan masukan, kritik, dan saran melalui e-mail : kampus.republika@gmail.com.

Baca juga :

Pilih Rumah Doraemon atau Shinchan? Yuk, Kita Analisis Bareng!

Efek Disinhibisi Daring: Kebebasan Komentar dan Militansi Netizen Indonesia

Janji Pemberantasan Korupsi Prabowo | kampusiana.id

Opini : Pengusaha

Perempuan dan Politik : Kinerja yang Tak Mengenal Gender | kampusiana.id

Berita Terkait

Image

Perpustakaan Unand Jajaki Kerja Sama Strategis Perusahaan BUMN

Image

LKKS PP Muhammadiyah Selenggarakan Program Kepemimpinan Mahasiswa Muhammadiyah Lintas Iman Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiah

Image

Opini : Pengusaha

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image