Serba Serbi

Percobaan Bunuh Diri Lebih Banyak Pada Pelajar Laki-Laki, Harus Dilakukan Langkah Preventif

 

Secara global kematian akibat bunuh diri paling tinggi pada usia 25 tahun. Ilustrasi. Foto :  factretriever

Kampus— Ide bunuh diri lebih tinggi pada perempuan, namun percobaan bunuh diri lebih banyak pada laki-laki. Hal tersebut diungkap dalam data Global Shool-based student Health Survey (GSHS) 2015 tentang ide bunuh diri pada pelajar SLTP dan SLTA.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa dr H Marzoeki Mahdi Bogor Nova Riyanti Yusuf mengatakan secara global kematian akibat bunuh diri paling tinggi pada usia 25 tahun. Karena itu menurutnya untuk melakukan preventif harus sebelum usia 25 tahun.


“Dari berbagai referensi menunjukkan bahwa bunuh diri itu bisa dicegah. Bunuh diri menjadi emergensi dari kesehatan masyarakat, ini merupakan isu yang signifikan. Perlu Upaya preventif dengan pencegahan secara primer yang meliputi, intervensi sebelum efek kesehatan terjadi,” kata Nova pada Webinar Kesehatan Jiwa Remaja bertema Meningkatkan Kesadaran, Menyelamatkan Masa Depan di Gedung BJ. Habibie Jakarta, pada Selasa (21/11/2023).

Baca Juga: 19 Kampus Teknik Terbaik di Indonesia Versi THE WUR by Subject 2024, Ada 16 PTN dan Tiga PTS

Novi yang melakukan penelitian desertasi tentang deteksi dini faktor risiko bunuh diri pada remaja mengatakan pengukuran risiko bunuh diri, terdiri dari peningkatan pencegahan bunuh diri, yang didasarkan pada identifikasi dan penilaian warning signs. Sekaligus juga adanya faktor risiko dan faktor protektif.

“Partisipasi lebih nyaman untuk mengungkapkan informasi tentang topik bunuh diri melalui pengisian instrument self-report yang anonim daripada berbicara empat mata dengan pewawancara. Pengukuran self-report bukan pengganti untuk wawancara klinis yang terstruktur. Upaya penapisan skala besar harus bergantung kepada pengukuran self-report sebagai langkah pertama mengidentifikasi remaja berisiko,” paparnya seperti dilansir laman resmi BRIN.

Baca Juga: Ditjen Diktiristek Buka Pendaftaran Beasiswa S3 di Austria, Cek Syaratnya


Herni Susanti Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan UI memaparkan, berbagai upaya pelayanan kesehatan jiwa untuk remaja berbasis komunitas di Indonesia, dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang dihadapi remaja secara efektif dan holistik.
“Peran komunitas dalam pelayanan kesehatan jiwa remaja melalui beberapa upaya, seperti pendekatan holistik. Komunitas memberikan dukungan sosial, edukasi, dan keterlibatan, yang dapat meningkatkan kesehatan jiwa remaja. Kemudian, komunitas dapat memberikan pemahaman tentang kesehatan jiwa dan membantu mengatasi stigma di kalangan remaja,” jelasnya.

Herni menerangkan lebih jauh, upaya berikutnya mengadakan kegiatan dan pelatihan yang melibatkan remaja untuk membangun kesehatan jiwa yang lebih baik. Membangun jaringan dengan pelayanan kesehatan jiwa untuk memudahkan remaja mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Baca Juga: Ditjen Diktiristek Buka Pendaftaran Beasiswa S3 di Austria, Cek Syaratnya

“Layanan kesehatan jiwa remaja berbasis komunitas dapat diselenggarakan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah, melalui puskesmas, kerja sama beberapa kementerian. Selanjutnya, dengan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan jiwa, dan tempat ibadah,” katanya.

Sedangkan untuk jenis pelayanan kesehatan jiwa, tambah Herni, dengan melalui edukasi dan promosi kesehatan jiwa. Deteksi dini masalah kesehatan jiwa, penanganan awal masalah kesehatan jiwa, dan rujukan ke layanan kesehatan jiwa yang lebih lanjut.

“Upaya lainnya yaitu memasukkan beberapa indikator mental untuk sekolah yang sehat dengan memberikan pendidikan keterampilan hidup sehat atau kompetensi psikososial. Membuat wilayah kawasan tanpa rokok, tanpa narkoba, dan tanpa kekerasan,” tegasnya.

Gerakan Global

Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irmansyah mengatakan bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting dan telah menjadi gerakan global. Tantangan di Indonesia, menurutnyaperhatian pemerintah hanya pada Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Padahal menurutnya justru Rumah Sakit Umum (RSU) memiliki potensi yang lebih tinggi untuk kejadian bunuh diri.

Mereka banyak merawat pasien kronis, dengan kejadian traumatik yang akut, serta berbagai masalah yang sebetulnya memicu tindakan-tindakan bunuh diri. Sehingga perlu peningkatan surveilens bunuh diri di RSU.

“Bunuh diri tidak termasuk sebagai layanan yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan ini memperkuat stigma beban ganda bagi individu dan keluarga, serta tidak diakui oleh negara yg dianggap sebagai sesuatu yang lebih berat. Kita juga kehilangan data penting untuk program pencegahan,” ungkapnya.

Baca Juga: Bantu Penurunan Stunting, Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Deteksi Berbasis AI

Menurutnya, ada beberapa tantangan bunuh diri dalam layanan kesehatan, yaitu mengidentifikasi individu yang berisiko bunuh diri dapat menjadi sulit, beberapa orang mungkin tidak memberikan petunjuk atau mencari bantuan. Ketidakpastian prediksi seperti faktor-faktor individu yang kompleks, dan sulit diprediksi akurasinya.

“Stigma terhadap pikiran atau niat bunuh diri membuat individu enggan mencari bantuan atau terbuka. Ketakutan kepada penyedia layanan, khawatir membuat kesalahan dalam merawat pasien yang berisiko bunuh diri. Fasilitas kesehatan mental terutama di daerah tertentu, memiliki keterbatasan sumber daya untuk menangani pasien perawatan intensif,” urainya.

Menurutnya, akses terhadap layanan darurat pasien menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bantuan dengan cepat. Tenaga kesehatan kurang terlatih dalam menangani krisis bunuh diri sehingga perlu pendidikan dan pelatihan tambahan. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tidak siap untuk menangani kesehatan mental dan risiko bunuh diri.

Baca Juga: 12 Madrasah Aliyah (MA) Terbaik di Indonesia, Masuk 100 Besar Sekolah Terbaik Versi UTBK

“Keterlibatan keluarga dan dukungan sosial juga sangat penting. Isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial dapat menjadi faktor risiko yang signifikan. Kemudian, kepatuhan pasien terhadap perawatan, karena ada beberapa pasien yang sulit mematuhi rencana perawatan atau merasa pesimis terhadap efektivitasnya. Kepatuhan terhadap obat juga bisa menjadi masalah dan menimbulkan frustasi,” tambahnya.(*)

Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan melalui e-mail : [email protected]

Kampus Republika partner of @republikaonline
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika
Email: [email protected]

Berita Terkait

Image

Pelajar Indonesia Perkenalkan Budaya Nusantara Melalui Unity Fest di Rusia