Opini

Pentingnya Skeptisisme: Menavigasi Komunikasi Gen Z di Era Ambiguitas dan Pemilu

Keterbukaan dalam proses pemilu membantu mengurangi skeptisisme dan membangun fondasi yang kuat untuk demokrasi. Ilustrasi. Foto : republika

 Geofakta Razali

Departemen Ilmu Komunikasi dan Pusat Studi Urban, Universitas Pembangunan Jaya

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Apakah Anda merasakan dunia begitu sibuk? Banyak informasi bising yang tak pernah berhenti? Gelombang teknologi yang tidak henti-hentinya? Zaman postmodern membuat kita berdiri di persimpangan jalan antara tradisi dan inovasi, antara kepastian dan keraguan. Cara pikir skeptisisme, sebuah warisan pemikiran yang telah berumur ribuan tahun, kini tampaknya menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Sebagai seorang komunikolog, saya sering mempertanyakan: Bagaimana peran para pemuda kita memanfaatkan skeptisisme untuk memilah dan memilih informasi yang mereka terima setiap hari? Apakah skeptisisme benar-benar menjadi alat penting dalam era di mana kebenaran sering kali tersamar di balik lapisan-lapisan komunikasi yang ambigu?

Baca Juga: UNY akan Terima 18 Ribu Mahasiswa Melalui Jalur SNBP, SNBT, dan Selekeksi Mandiri

Di era digital ini, skeptisisme bukan lagi sekadar pilihan filosofis, melainkan kebutuhan praktis. Rene Descartes, dengan keraguan metodologisnya, mengajarkan kita untuk mempertanyakan segala sesuatu hingga kita menemukan kebenaran yang tak terbantahkan. Dalam konteks saat ini, ini berarti mempertanyakan setiap berita, setiap klaim, setiap informasi yang kita terima melalui media sosial, internet, bahkan dari lingkungan sekitar kita.

Sebut saja Aria. Sore-sore, Aria sering ditemukan di kafe, buku filsafat di satu tangan dan kopi di tangan lainnya. Ia membaca Plato, Descartes, dan Kant, seraya membandingkan pemikiran mereka dengan masalah kontemporer. Ia belajar bagaimana prinsip-prinsip filsafat kuno masih relevan dalam menangani masalah-masalah modern. Apa yang Aria pelajari tidak ia simpan sendiri. Ia mulai berdiskusi dengan teman-temannya, menantang mereka untuk berpikir lebih dalam tentang apa yang mereka lihat dan dengar.

Baca Juga: Pakar UGM Ingatkan Resiko Banjir Bandang di Awal Musim Penghujan

Diskusi ini seringkali berubah menjadi debat yang hidup, tetapi selalu diakhiri dengan tawa dan pengertian yang lebih dalam. Suatu hari, di kampus, terjadi perdebatan hangat tentang sebuah topik politik kontroversial. Aria, dengan skeptisismenya, tidak langsung terlibat. Ia mendengarkan, menganalisis, dan kemudian berbicara dengan suara yang tenang namun yakin. Ia tidak menawarkan jawaban yang mudah, melainkan lebih banyak pertanyaan, mendorong orang lain untuk berpikir lebih kritis dan lebih dalam.

Cerita Aria adalah cerita tentang bagaimana Generasi Z, dengan bantuan skeptisisme dan filsafat, bisa mengatasi banjir informasi dan propaganda. Dengan mata yang terbuka dan pikiran yang tajam, Aria dan teman-temannya tidak hanya mempersiapkan diri mereka untuk masa depan yang tidak pasti, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih baik, satu pertanyaan kritis pada satu waktu.

Baca Juga: Pelajar Indonesia Raih Satu Perak dan Lima Perunggu di Olimpiade Sains Internasional di Thailand

Generasi Z, lahir dan dibesarkan di tengah era postmodern, menghadapi tantangan yang unik. Mereka harus menemukan jati diri dalam dunia yang serba cepat dan penuh dengan pesan-pesan yang sering kali kontradiktif.

Bagi mereka, skeptisisme menjadi alat untuk menavigasi lautan informasi yang tak terbatas, sebuah cara untuk mempertahankan otonomi pemikiran di tengah arus opini yang tak henti-hentinya. Ambiguitas dalam komunikasi, terutama di media digital, sering kali menimbulkan kesalahpahaman dan konflik. Di sini, skeptisisme membantu para pemuda untuk tidak langsung menerima informasi pada nilai nominalnya. Mereka belajar untuk mengejar konteks, untuk memahami nuansa, untuk mencari sumber dan bukti sebelum menerima informasi sebagai kebenaran.

Baca Juga: Jadwal SNBP dan UTBK-SNBT 2024, Resmi dari Panitia SNPMB

Skeptisisme bukan Sinisme

Sekptisisme tidak berarti sinisme. Penting untuk membedakan antara keraguan sehat dan penolakan total. Sebagai pemuda postmodern, ada kebutuhan untuk menggabungkan skeptisisme dengan empati dan kemampuan untuk berdialog. Seperti yang dikatakan oleh filsuf kontemporer seperti Martha Nussbaum, kemampuan untuk berempati dan memahami perspektif orang lain adalah kunci untuk membangun masyarakat yang adil dan inklusif.

Menjelang Pemilihan Presiden Indonesia pada tahun 2024, suasana politik negara ini sedang mengalami dinamika yang intens. Di tengah kegembiraan demokrasi, muncul pula gelombang skeptisisme dari berbagai lapisan masyarakat. Skeptisisme ini tidak semata-mata negatif; sebaliknya, ia bisa menjadi alat vital untuk membentuk masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Baca Juga: Pendaftaran Calon Anggota KPPS Dibuka Hari Ini, Segini Honornya

Dalam konteks pemilihan presiden, skeptisisme sering kali dipandang sebagai respons terhadap ketidakpercayaan terhadap politik dan proses demokratis. Namun, skeptisisme juga bisa diartikan sebagai bentuk kehati-hatian yang sehat, sebuah prinsip yang mendorong kita untuk mempertanyakan klaim dan janji-janji politik, serta memeriksa track record para kandidat secara kritis.

Transparansi dan keadilan dalam pemilihan presiden adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mendorong partisipasi yang lebih luas. Keterbukaan dalam proses pemilu membantu mengurangi skeptisisme dan membangun fondasi yang kuat untuk demokrasi. Dengan demikian, masyarakat dapat memastikan bahwa suara mereka didengar dan dihargai.

Salah satu tujuan utama dari pemilihan presiden adalah untuk memilih pemimpin yang tidak hanya memahami kebutuhan rakyat, tetapi juga berkomitmen untuk membangun masyarakat yang adil dan inklusif. Ini berarti memilih pemimpin yang mampu mengatasi ketimpangan sosial, menjamin hak-hak minoritas, dan memperjuangkan keadilan bagi semua. Masyarakat memiliki peran penting dalam proses ini. Dari skeptisisme muncul kesadaran dan tanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam proses demokrasi. Ini bukan hanya tentang memilih, tetapi juga tentang terus mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari mereka yang terpilih.

Baca Juga: 20 Kampus Terbaik di Indonesia Versi QS Sustainability Rankings 2024, ITB, IPB, dan UI Memimpin

Optimisme di Tengah Skeptisisme

Maka, seetiap kali ia membaca berita, melihat iklan, atau menelusuri media sosial, sudah sepatutnya kita bertanya, "Apakah ini benar? Apakah ada agenda tersembunyi di balik ini?" Kita tidak lagi menerima informasi pada nilai nominalnya; ia mencari bukti, mencari konteks, mencari kebenaran.

Memang, skeptisisme bisa menjadi dua sisi mata uang; di satu sisi, ia menunjukkan ketidakpercayaan, namun di sisi lain, ia juga menunjukkan keinginan kuat untuk memperbaiki dan memajukan. Dalam konteks pemilihan presiden Indonesia 2024, mari kita gunakan skeptisisme ini tidak hanya sebagai bentuk pengawasan, tetapi juga sebagai landasan untuk membangun harapan dan optimisme menuju masyarakat Indonesia yang lebih adil dan inklusif.

Baca Juga: Lulus SNBP 2024 Tidak Dapat Mendaftar di SNBT dan Jalur Mandiri, Ini Ketentuan Barunya

Sebagai akhir dari refleksi ini, saya memandang skeptisisme bukan sebagai halangan, melainkan sebagai alat penting bagi generasi muda untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Dengan skeptisisme yang konstruktif, mereka dapat menjadi pencipta perubahan yang tidak hanya kritis terhadap dunia di sekitar mereka, tetapi juga penuh dengan harapan dan visi untuk masa depan yang lebih baik. (*)


Ikuti informasi penting dan menarik dari kampus.republika.co.id. Silakan menyampaikan masukan melalui e-mail : [email protected].
Kampus Republika partner of @republikaonline
kampus.republika.co.id
Instagram: @kampusrepublika
Twitter: @kampusrepublika
Facebook: Kampus Republika
Email: [email protected]